Pendahuluan
Saat ini, ditengah suasana kehidupan
bangsa yang belum mampu keluar dari krisis, di tengah upaya penegakan
hukum yang terseok-seok, ditengah kecenderungan degradasi moral melandasi
bangsa ini, khususnya sebagian generasi muda, serta di tengah kepungan pengaruh
kehidupan global; lantas orang berpaling kepada pentingnya pendidikan.
Didunia ini tidak ada masyarakat
manusia yang tidak mengenal lembaga maupun kegiatan pendidikan yang
mempersiapkan generasi mudanya untuk memainkan peran-peran sosial dan
beradaptasi dengan lingkungan secara aktif (Budhisantoso, 1992:2). Dimanapun
masyarakat itu berada dan betapapun sederhananya kehidupan mereka, pendidikan
telah dikenal sebagai lembaga sosial yang penting dalam mempersiapkan mereka
untuk menghadapi tantangan masa depan.
Perkembangan pendidikan dewasa ini
menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama dalam rangka menghadapi
tantangan daya saing nasional maupun internasional yang semakin tinggi.
Tantangan pendidikan pada era industrialisasi, teknologi dan globalisasi
mengakibatkan terjadinya gap antara lulusan lembaga pendidikan dengan dunia
usaha. Ini dapat dilihat dari lulusan lembaga pendidikan yang belum siap
menjadi tenaga ahli yang profesional yang mempunyai karakteristik khusus dalam
setiap bidangnya.
Belum terjadinya keselarasan antara
dunia pendidikan dan dunia usaha yang diakibatkan oleh pelaksanaan pendidikan
yang jauh ketinggalan dari perkembangan dunia, maka perlu dibuat terobosan baru
dapat mengembalikan lembaga pendidikan pada rel semestinya, sehingga fungsi dan
tujuan pendidikan dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna jasa hasil
pendidikan.
Dunia pendidikan di Indonesia telah
mengalami berbagai perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan-kebijakan lama yang tidak akomodatif digantikan dengan
kebijakan-kebijakan baru yang dapat menyesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan.
Lantas timbul pertanyaan mungkinkah
sektor pendidikan di negara kita diserahkan sepenuhnya kepada pasar yang
bergerak menurut hukum permintaan dan penarawan? Kemudian dapatkah sektor
pendidikan ini mengikuti ajaran-ajaran utama Mazhab Marjinalis?. Inilah
kajian ilmu ekonomi pendidikan yang diharapkan membawa perubahan dalam dunia
pendidikan untuk menciptakan peserta didik sebagai agen
pembangunan.
Ilmu Ekonomi Pendidikan dan Pembelajaran
Walaupun
lebih lambat kemunculannya dibanding dengan lapangan studi yang lain dalam ilmu
ekonomi, ekonomi pendidikan atau ‘education economics’ atau ‘economics
of education’ tumbuh dan berkembang pesat secara mandiri dengan memusatkan
perhatiannya pada investasi sumber daya manusia.
Definisi
mengenai ilmu ekonomi pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin
Sastradipoera (2004) yang menyatakan bahwa : “Ilmu ekonomi pendidikan adalah
suatu ilmu yang mengkaji bagaimana manusia, baik secara perseorangan maupun
sebagai anggota masayrakat, membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya
pembangunan agar dapat menghasilkan pelbagai bentuk pembelajaran yang dapat
mengembangkan peserta didik menjadi agen pembangunan sehingga mereka mampu
mempengaruhi dan membawa perubahan sosial.”
Berdasarkan
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi pendidikan berupaya
untuk memberikan motivasi kepada manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat
agar menggunakan sumberdaya pembangunan dalam rangka menciptakan berbagai
bentuk pembelajaran yang dapat mengembangkan peserta didik untuk menjadi agen
pembangunan dan membawa perubahan sosial.
Sementara itu
subyek pengamatan dalam ekonomi pendidikan teridiri dari dua hal yang berbeda
tetapi berhubungan, yaitu: Analisis atas nilai ekonomis pendidikan dan Analisis
atas aspek ekonomis institusi pendidikan. Yang pertama berkepentingan
dengan dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam hal
produktivitas tenaga kerja, mobilitas penempatan kerja dan pemerataan
pendapatan. Sedangkan yang kedua lebih berkepentingan dengan efisiensi
internal institusi pendidikan dan implikasi finansial dari biaya pendidikan.
Analisis
aspek ekonomis institusi pendidikan menitikberatkan perhatian pada efisiensi
internal institusi pendidikan dan implikasi finansial dari biaya yang digunakan
untuk pengelolaan pendidikan. Kemudian apakah sektor pendidikan di negara kita
diserahkan sepenuhnya kepada pasar yang bergerak menurut hukum permintaan
dan penarawan? Hal ini dapat kita lihat dalam uraian berikut ini.
Hukum
Permintaan (the law of downward-slopong demand) “Bilamana harga suatu
benda dinaikan, maka jumlah benda yang diminta akan berkurang” atau bilamana suatu
benda ditawarkan dalam jumlah lebih banyak di pasar, maka benda tersebut hanya
dapat dijual dengan harga yang lebih rendah.(Winardi, 1995:347).
Teori
tersebut mengisyaratkan terhadap sektor pendidikan di Indonesia, semakin
banyaknya lulusan lembaga pendidikan di Indonesia akan mengakibatkan semakin
sedikitnya permintaan lulusan lembaga pendidikan terhadap dunia kerja. Hal ini
disebabkan lulusan lembaga pendidikan yang belum siap menjadi tenaga ahli yang
profesional yang mempunyai karakteristik khusus dalam setiap bidangnya.
Sehingga belum terjadinya keselarasan antara dunia pendidikan dan dunia usaha
yang diakibatkan oleh pelaksanaan pendidikan yang jauh ketinggalan dari
perkembangan dunia.
Untuk itu
diperlukan adanya upaya bagaimana menciptakan pembelajaran yang dapat
peningkatkan kreatifitas dan aktifitas peserta didik agar menjadi agen
pembangunan. Pembelajaran (learning) adalah kegiatan pendidikan dengan cara
terprogram, dalam desain intruksional untuk menciptakan suatu kondisi kondusif
yang mendorong peserta didik belajar dengan aktif dan kritis. Pembangunan
kurikulum yang dapat menopang tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan,
sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Sastradipoera (2004) terdapat tiga
jenis kurikulum yang dapat dikembangkan yaitu kurikulum humanistik,
rekontruksional dan sintesis. Kurikulum humanistik mengharapkan peserta didik
memahami bagaimana kurikulum itu digunakan menjadi perangkat yang efektif
sebagai agen pembangunan di masyarakat sekitar. Kurikulum rekontruksional bertugas
untuk mengantarkan peserta didik untuk menjadi agen pembangunan (agen yang
membawa perubahan sosial). Sementara perkembangan kebudayaan mempunyai karakter
evolusivistik, maka pendidikan hendaknya dapat menghasilkan konsep kurikulum
sintesis. Kemudian kurikulum humanistik ini akan terwujud apabila kurikulum
rekontruksi sosial dan kurikulum humanistic ini dipadukan. Oleh karena itu
kurikulum sintesis dilakukan melalui pendekatan konstigental atau situasional.
Dengan
dilaksanakannya pembangunan kurikulum tersebut diharapkan dapat menciptakan
berbagai pembelajaran peserta didik yang kreatif, produktif dan dinamis
sehingga menjadi agen pembangunan.
Kebijaksanaan Manajemen Pendidikan
Perkembangan
manajemen sangat erat kaitannya dengan perkembangan administrasi di
negara-negara maju sebagai akibat revolusi industri. Kebutuhan industri yang
mengharapkan laba (keuntungan yang banyak) menuntut perbaikan dan peningkatan
kerja (kinerja) melalui berbagai studi.
Manajemen
pendidikan meliputi empat hal pokok, yaitu perencanaan pendidikan,
pengorganisasian pendidikan, penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau
pengawasan pendidikan. Secara umum terdapat sepuluh komponen utama pendidikan,
yaitu: peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, paket instrusi
pendidikan, metode pengajaran (dalam proses belajar mengajar), kurikulum
pendidikan, alat instruksi & alat penolong instruksi, fasilitas pendidikan,
anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan. (Soebagio Atmodiwirio, 2000)
Perencanaan
pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen pendidikan, agar
dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam penyelenggaraan
pendidikan dalam mencapai sasaran keluaran pendidikan seperti yang diharapkan.
Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk menghimpun semua potensi komponen
pendidikan dalam suatu organisasi yang sinergis untuk dapat menyelenggarakan
pendidikan dengan sebaik-baiknya. Penggiatan pendidikan adalah pelaksanaan dari
penyelenggaraan pendidikan yang telah direncanakan dan diawaki oleh organisasi
penyelenggara pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan
dalam perencanaan dalam rangka mencapai hasil keluaran pendidikan yang optimal.
Pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan
pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua komponen pendidikan
digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran menghasilkan keluaran secara
optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan.
Model tersebut di atas menekankan kepada manajemen proses institusional.
Institusi termasuk pendidikan, menghasilkan produksi atau jasa melalui
proses-proses pendidikan dan administrasi fungsional-silang (‘cross
sectional’). Efektifitas ditentukan oleh kemampuan proses fungsional silang
tersebut yang memfokuskan kepada klien (‘customer’), perbaikan mutu
berkelanjutan, dan mengimplementasikan strategi yang menghasilkan pembelajaran
dan pengembangan anak didik, dan kemampuan adminstrasi yang mantap. Hal yang
mendasar dalam manajemen proses institusional adalah:
Setiap orang menciptakan/menghasilkan sesuatu jasa atau produk semua jasa atau produk dihasilkan
oleh suatu proses atau rangkaian proses-proses tiap jasa atau produk dibuat
untuk seseorang semua proses mempunyai pemasoknya masing-masing Dalam
pengelolaan atau manajemen pendidikan, interaksi dan interrelasi sepuluh
komponen pendidikan merupakan suatu proses yang akan menghasilkan keluaran
pendidikan yang diharapkan.
Perubahan
dari sektor manufaktur ke sektor pelayanan, bukan saja menyangkut jenis
pekerjaan yang dibutuhkan, tetapi akan mengubah kepemimpinan konvensional
menjadi kepemimpinan pelayanan. Kepemimpinan pelayanan menekankan kepada
semakin meningkatnya pelayanan kepada orang lain sebuah cara pendekatan
holistic kepada pekerjaan, rasa kemasyarakatan dan kebersamaan pembuat
keputusan.
Ilmu Ekonomi Pendidikan dalam memecahkan
Pengangguran
Bruce
Herrick, yang dikutip oleh Prijono Tjipto Herianto (1982:243) mengemukakan 3
alasan untuk memeriksa masalah pengangguran :
1. Pengangguran
berarti kerugian keluaran untuk masyarakat secara keseluruhan. Di negara-negara
miskin, pemakaian sepenuhnya sumber daya, termasuk tenaga kerja tampaknya lebih
disukai untuk menaikan keluaran.
2. Pengangguran
menyebabkan kerugian pendapatan bagi para penganggur. Di negara berpenghasilan
rrendah tunjangan pengangguran dapat dikatakan tidak ada, kerugian pendapatan
berarti kehilangan fisik besar yang tidak dikenal dalam masyarakat makmur.
3. Hilangnya status
atau rasa sejahtera yang disebabkan oleh pengangguran. Yang ciri-cirinya rasa
prustasi para pencari kerja yang tak dapat memperoleh jenis pekerjaan
atau tambahan yang mereka anggap beralasan atau dapat diharapkan oleh
pendidikan mereka.
Sedangkan W.
Athur Lewis, dalam bukunya yang berjudul ekonomi pembangunan menafsirkan
pengukuran pengangguran sebagai hasil pembangunan dinilai rendah. Kepercayaan
populer bahwa pengangguran itu disebabkan oleh tidak adanya pembangunan dan
pasti akan berkurang dengan adanya pembangunan, jelas tanpa dasar sama sekali.
Sebaliknya pembangunan itu sendiri dalam satu hal adalah penyebab utama dari
pengangguran karena pembangunan sendirilah yang membuka kesenjangan diantara
penghasilan tradisional dan penghasilan modern, mengubah pengangguran
terselubung menjadi pengangguran terbuka dalam mempercepat pertumbuhan
penduduk.
Berbagai
masalah dihadapi dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja, terutama berkaitan
erat dengan permasalahan struktural dan konjungtural perekonomian Indonesia.
Masalah struktural mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dari sisi
penawaran, karena berkaitan dengan kuantitas dan kualitas tenaga kerja. Adanya
fluktuasi di sekitar pertumbuhan ekonomi karena situasi perekonomian secara
makro mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa di satu pihak
kebutuhan tenaga kerja terampil golongan menengah dan keahlian sarjana masih
belum teratasi sementara penawaran kelas tenagakerja tersebut justru berlebih.
Besar kemungkinan ini disebabkan adanya gap yang serius antara dunia pendidikan
dan dunia kerja. Karena itu sangat mendesak perencanaan tenagakerja yang
mengaitkan dunia pendidikan dan pasar kerja. Kurang berkembangnya informasi
pasar tenagakerja menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja.
Masih adanya lowongan kerja yang tidak terisi ini
besar kemungkinan disebabkan dua hal. Pertama, kualitas penawaran tenagakerja
tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Kedua, kurang rapinya lalu
lintas informasi permintaan dan penawaran tenagakerja.
Menyangkut perkembangan di sektor formal dan
informal. Bagaimanapun juga eksistensi sektor informal tidak dapat diabaikan,
bahkan dalam kelesuan ekonomi sektor informal berfungsi sebagai "katup
pengaman" menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor
informal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan
ekonomi nasional.
Ada beberapa permasalahan utama dalam sektor informal ini. Pertama menyangkut
kualitas sumberdaya manusia. Kedua tingkat produktivitas di sektor informal
lebih rendah daripada sektor formal, sehingga pertambahan kesempatan kerja baru
di sektor informal tidak dapat meningkatkan produktivitas. Sebaliknya justru
dapat menurunkan tingkat produktivitas.
Di samping itu, kurangnya dukungan baik dari segi
penataan aturan-aturan yang seringkali merugikan sektor ini, maupun dukungan
finansial dalam membuka peluang perluasan di sektor informal menyebabkan sektor
ini kurang berkembang. Melihat masalah di atas kiranya perlu diupayakan
keserasian pengembangan kerjasama sektor formal dengan informal. Strategi
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kualitas SDM akan banyak
membantu pekerja di sektor informal dalam memperluas pilihan usahanya.
Infrastruktur pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan di
perkotaan di Indonesia lebih baik daripada di pedesaan. Hal ini terlihat dari
out put pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tidak seimbangnya
antara jumlah out put pendidikan dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia menimbulkan masalah sosial yang kompleks. Contoh banyaknya
lulusan perguruan tinggi termasuk juga sekolah menengah kejuruan (SMK) yang
setiap tahun terus bertambah di lain pihak jumlah lapangan kerja terbatas
bahkan yang sudah bekerja pun di PHK karena perusahaan pailit. Untuk
mengatasinya harus diupayakan membuka lapangan kerja baru terutama di
daerah-daerah yang kaya sumber alam. Permasalahan lain dari segi kualitas
banyak para lulusan yang tidak bisa bekerja sesuai dengan tuntutan dunia kerja,
untuk itu para lulusan perlu dibekali dengan kompetensi-kompetensi yang
memungkinkan mereka dapat diterima sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan lebih
jauh lagi mereka dapat membuka lapangan kerja baru.
Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan
instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya perencanaan
ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral antara struktur pasar kerja,
peningkatan pendidikan dan pelatihan serta instrumen kebijakan di sektor
ekonomi dan keuangan.
Pada dasarnya perencanaan tenaga kerja mengandung dua penekanan. Di satu pihak,
memuat perkiraan kebutuhan tenaga kerja untuk berbagai sektor, waktu dan
keahlian tertentu. Di pihak lain, memuat strategi, cara dan langkah-langkah
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, baik melalui sistim pendidikan maupun melalui
program-program latihan.
Manakala kita amati secara cermat kondisi ketenagakerjaan Indonesia, maka
memasuki abad ke-21, masalah-masalah struktural yang menjadi kendala utama
dalam upaya peningkatan kesempatan kerja berkisar pada kuantitas dan kualitas
angkatan kerja. Khususnya dimensi kualitas, tampaknya perlu mendapat pembenahan
serius.
Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu
pengetahuan adalah tidak terelakkan bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan
negara-negara maju. Ini hanya mungkin terwujud jika tenaga kerja memiliki basis
kognitif dan skill di bidang teknologi yang memadai melalui pembelajaran yang
telah dirancang oleh ilmu ekonomi pendidikan. Karenanya, perencanaan tenaga
kerja yang didukung dengan ilmu ekonomi pendidikan yang berorientasi pada
peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi pilihan tepat yang harus
dikembangkan.
Penutup
Ilmu ekonomi pendidikan berupaya untuk memberikan
motivasi kepada manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat agar
menggunakan sumberdaya pembangunan dalam rangka menciptakan berbagai bentuk
pembelajaran yang dapat mengembangkan peserta didik untuk menjadi agen
pembangunan dan membawa perubahan sosial.
Sektor
pendidikan dapat saja diserahkan kepada pasar yang bergerak menurut hukum
permintaan dan penawaran tetapi harus dibarengi dengan keselarasan antara dunia
pendidikan dengan dunia kerja. Berdasarkan teori permintaan dapat dinyatakan semakin banyaknya lulusan lembaga
pendidikan di Indonesia akan mengakibatkan semakin sedikitnya permintaan lulusan
lembaga pendidikan terhadap dunia kerja. Sehingga
kalau tidak dibarengi dengan keselarasan antara lembaga pendidikan dan dunia
usaha akan mengakibatkan pengangguran.
Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu
pengetahuan adalah tidak terelakkan bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan
negara-negara maju. Ini hanya mungkin terwujud jika tenaga kerja memiliki basis
kognitif dan skill di bidang teknologi yang memadai melalui pembelajaran yang
telah dirancang oleh ilmu ekonomi pendidikan. Karenanya, perencanaan tenaga
kerja yang didukung dengan ilmu ekonomi pendidikan yang berorientasi pada
peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi pilihan tepat yang harus
dikembangkan.
Daftar Pustaka
Budhisantoso, 1992, Pendidikan Indonesia Berakar
Pada Kebudayaan Nasional, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Medan:
IKIP Medan.
Komaruddin Sastradipoera, 2001, Sejarah Pemikiran
Ekonomi, Suatu Pengantar Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi. Bandung: Kappa
Sigma.
_______________________, 2004, Sari Perkuliahan:
Ekonomi dan Sumberdaya Pembangunan, Bandung; PPS UPI.
Prijono Tjipto Herianto, 1982, Masalah Ekonomi
dalam Fakta dan Realita, Jakarta : Bina Aksara.
Soebagio Atmodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan
Indonesia, Jakarta: Ardadizya Jaya.
Winardi, 1995, Pengantar Ilmu Ekonomi,
Bandung; Tarsito.