PENCERAHAN MENUJU TUHAN
(Kajian Filsafat Komunikasi Intrapersonal Dalam Islam)
(Kajian Filsafat Komunikasi Intrapersonal Dalam Islam)
Oleh : Muhammad Khairil
ABSTRAK
ABSTRAK
Kajian Komunikasi intrapersonal dalam perspektif Islam merupakan
introspeksi spiritual dalam proses pencerahan umat manusia mencari dan
menemukan agama dan Tuhannya. Hikmah yang terpetik dari proses pencarian hakekat
ketuhanan hingga menemukan jalan menuju Tuhan menurut para sufi tidak akan
terlepas dari tiga proses utama yaitu pertama takhalli yaitu berjihad dan
bermujahadah untuk mengosongkan jiwa dari segala sifat dan perbuatan yang
tercela. Proses kedua adalah tahalli yaitu upaya pengisian dan penghiasan diri
dengan sifat-sifat yang terpuji. Proses yang ketiga dan terakhir adalah tajalli
yaitu tidak lagi menjadikan amal sholeh sebagai tempat berpijak tetapi lebih
banyak melakukan kontemplasi. Pada fase inilah tempatnya seorang ber-ittihad
(menyatu) dengan Tuhan, ber-hulul (Tuhan menempati dan memilihnya) dan
ber-wahdatul wujud (Kesatuan eksistensi Tuhan dengan hamba).
Kajian dalam tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dan
komparatif interpretatif terhadap perjalanan spiritual umat manusia khususnya
umat Islam, hingga kegelisahan ruhaniah pada aspek ontologis, proses meniti
jalan menuju pencerahan hakekat ketuhanan pada aspek epistimologis dan nilai
aksiologis terbangun dari pancaran kasih sayang Tuhan melalui hamba-hamba-Nya
yang senantiasa melakukan mujahadah (Kesungguhan) menuju Insan Kamil. Nama
Tuhan yang kekal dan abadi di dalam lubuk jiwa manusia memang lebih mengesankan
daripada bumi dengan segala isinya. Kehadiran Tuhan menyertai manusia dalam
segala tindakan, bukan dimaksudkan sebagai alat untuk melemparkan kesalahan dan
menghindari tanggung jawab, melainkan sebagai doa dan pengharapan yang tulus
agar sang hamba selalu terdorong untuk berbuat kebaikan dan terlepas dari
jeratan hawa nafsu yang acapkali menguasai nurani ummat manusia.
Kata Kunci : Filsafat, Intrapersonal dan Tuhan
A. Pendahuluan.
“We cannot not
communicate!” diungkap oleh Watzlawick, Beavin dan Jackson.
Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dengan komunikasi, manusia mengekspresikan
dirinya, membentuk jaringan interaksi sosia, dan mengembangkan kepribadiannya.
Kegagalan dalam berkomunikasi akan berakibat fatal baik secara individul maupun
sosial. Secara individual, kegagalan komunikasi menimbulkan frustasi,
demoralisasi, alienasi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Secara sosial,
kegagalan komunikasi dapat menghambat saling pengertian, kerja sama, toleransi
dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial.
Nilai sosial yang dibangun melalui proses komunikasi diungkap dalam sistem
komunikasi interpersonal, sistem komunikasi kelompok hingga sistem komunikasi
massa. Secara individual proses komunikasi diungkap dalam sistem komunikasi
intrapersonal yaitu proses penerimaan informasi, mengolah, menyimpan dan
menghasilkannya kembali.
Terkait dengan proses komunikasi intrapersonal ini, diungkap lebih mendetail
oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya psikologi komunikasi bahwa sistem
komunikasi intrapersonal meliputi empat aspek yaitu sensasi, persepsi, memori
dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli melalui indrawi manusia.
Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh
pengetahuan baru (persepsi mengubah sensasi menjadi informasi). Memori adalah
proses menyimpan informasi dan menghasilkannya kembali. Berpikir adalah
mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan
respon (Rakhmat, 2000).
Ketika proses komunikasi intrapersonal dikaitkan dalam nuansa spiritual
khususnya perspektif Islam maka akan menjadi kajian introspektif dalam proses
pencerahan umat manusia mencari dan menemukan agama dan Tuhannya. Hal ini bisa
terlihat ketika Nabiullah Ibrahim dalam kegelisahan jiwanya mencari pencerahan
tentang hakekat ketuhanan yang sesungguhnya. Disaat malam telah menjadi gelap,
Ia melihat bintang, lalu Ia berkata “inilah tuhanku”. Namun, tatkala bintang
itu tenggelam, Ia berkata “saya tidak suka pada yang tenggelam”. Kemudian,
tatkala Ia melihat bulan muncul, Ia berkata “inilah tuhanku”. Namun, setelah
cahaya bulan menghilan, Ia berkata “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.
Kegelisahan jiwa Nabiullah Ibrahim terus berlanjut hingga Ia melihat matahari
terbit, Ia berkata “inilah tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala
matahari terbenam, Ia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan” (Dahlan, 2003).
Kisah yang berbeda namun memiliki substansi yang sama dialami oleh Rasulullah
S.A.W. ketika proses pencerahan mencari hingga akhirnya menemukan hakekat
ketuhanan yang sesungguhnya. Diungkap dalam buku Sejarah Tuhan (Armstrong,
2001) bahwa Rasulullah S.A.W. melakukan penyendirian spiritual selama bulan
suci Ramadhan hingga pada malam ketujuh belas.
Ia dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran Ilahiah
yang maha dahsyat. Ia bercerita bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya
dan memberinya sebuah perintah singkat “bacalah” (iqra’!), Rasulullah menolak
dan memprotes, “aku bukan seorang pembaca!”. Malaikat itu mendekapnya, hingga
Ia merasa seolah-olah nafasnya akan meninggalkan tubuhnya. Pada saat Rasulullah
merasa seakan tak mampu lagi bertahan, Malaikat itu melepaskannya dan kembali
memerintahkan, “bacalah!” (Iqra’!). Rasulullah lagi-lagi menolak dan malaikat
itupun mendekapnya lagi hingga Ia merasa telah mencapai batas daya tahannya.
Akhirnya, diakhir dekapan dahsyat yang ketiga, Rasulullah merasakan kata-kata
pertama dari sebuah kitab suci baru mengalir keluar dari mulutnya :
Bacalah dengan nama Tuhanmu, Yang telah menciptakan manusia dari segumpal
darah! Bacalah, dan Tuhanmulah Yang maha Pemurah, yang mengajarkan manusia
dengan perantaraan kalam. Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Pencarian dan penemuan hakekat ketuhanan sesungguhnya adalah proses pencerahan
manusia menuju Tuhannya. Al-Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki
oleh dunia Islam, akhirnya dihukum pancung oleh algojo Abul Haris atas perintah
Khalifah Bani Abbasiyah karena telah dituduh kafir atas pendapatnya, “Ana
Al-Haq” (aku adalah kebenaran) atau “Ana Al-lah” (Aku adalah Allah). Ucapan
kesufiannya inilah yang menghadapkan Al-Hallaj ke tiang gantungan.
Kasus Al-Hallaj menggores kepedihan mendalam pada nurani sejarah. Kematiannya
memercikkan sentimen publik tentang perebutan makna dan hak istimewa “atas nama
Tuhan” untuk mematikan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat. Seolah menjadi
penguasa, lantas dengan sendirinya memiliki hak istimewa dari Tuhan untuk
menuntun, mengatur dan menentukan jalan hidup orang lain.
Salah satu wasiat sufi Ayatullah Khomeni kepada putranya bahwa “Anakku, jika
engkau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk
tidak menyangkal maqam-maqam keruhanian karena salah satu dari tipuan terbesar
setan dari diri badani, yang menghalangi manusia dari meraih berbagai maqam
kemanusiaan dan keruhanian adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkal
atau bahkan melecehkan perjalanan ruhaniah menuju Allah” (Yamin, 2002).
Kajian dalam tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dan
komparatif interpretatif terhadap perjalanan spiritual umat manusia khususnya
umat Islam, hingga kegelisahan ruhaniah pada aspek ontologis, proses meniti
jalan menuju pencerahan hakekat ketuhanan pada aspek epistimologis dan nilai aksiologis
terbangun dari pancaran kasih sayang Tuhan melalui hamba-hamba-Nya yang
senantiasa melakukan mujahadah (Kesungguhan) menuju Insan Kamil.
B. Atas Nama Agama dan Tuhan
Dalam sejarah Kristiani, para teolog kristen dan bapak-bapak gereja di Barat
pernah memperoleh serangan yang amat keras dari para filosof dan Ilmuan ketika
mereka mengatakan bahwa agama telah usang dan telah kehilangan kredibilitasnya
untuk menyelenggarakan kehidupan yang berkeadaban, damai dan mampu melindungi
hak-hak asasi manusia. Puncak perlawanan dan pengingkaran peran sosial agama
ini secara lantang diproklamasikan oleh Friendrich Wilhelm Nietzche dengan
diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh
dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan
sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih
sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama
sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Agama sering diposisikan sebagai objek kajian metafisis yang hasil dan tingkat
kebenarannya dianggap spekulatif, namun secara sosial kenyataannya dampak
kehadiran agama merupakan sumber peradaban yang cukup besar dalam sejarah
kemanusiaan, namun agama juga merupakan sumber konflik sosial yang amat kejam
dan berkepanjangan.
Bagi para penguasa yang tiran, konsep keyakinan untuk memperoleh keselamatan
eskatologis (ukhrawi) sering dimanfaatkan sebagai peluang untuk menindas
rakyatnya atas nama agama. Pada zaman Orde Baru, agama dibatasi ruang geraknya
agar tidak menjadi identitas politik atau tujuan politik. Agama dianggap oleh
penguasa sebagai ancaman yang harus dijinakkan dan kalau perlu dipinggirkan.
Elit politik atau massa yang menggunakan simbol agama untuk melawan hegemoni
negara selalu dituding sebagai ekstrim kanan, seperti juga penggunaan ideologi
komunis atau sosialis untuk tujuan yang sama dituding sebagai ekstrim kiri.
Berbagai konflik sosial bernuansa agama baik antar sesama pemeluk ajaran satu
agama maupun yang berbeda keyakinan seringkali mewarnai kehidupan setiap insan
beragama. Manusia saling menyalahkan satu sama lain, klaim kebenaran sebagai
kebenaran mutlak, hakim menghakimi hingga saling membunuh satu sama lain atas
nama agama. Akar persoalan yang sesungguhnya adalah hanya karena keberagamaan
yang bersifat subjektif, menonjolkan nilai-nilai egoisme dan arogansi, sehingga
perspektif nilai kebenaran dalam beragama hanya dipandang dari satu sudut
pandang.
Di Maluku dan di Poso, masyarakatnya sibuk saling membunuh atas nama Tuhan
mereka masing-masing. Di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya yang ada di
Indonesia, pencopet, penodong maupun maling ayam dibakar hidup-hidup oleh massa
yang marah, disamping karena alasan keamanan publik juga karena atas nama Tuhan
yang melarang melakukan perbuatan yang merugikan orang banyak. Ironisnya,
ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan
sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian melainkan Tuhan
dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen politik
untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu
sendiri.
Perbincangan tentang agama seringkali berakhir dengan perbedaan yang meruncing
hanya karena masing-masing memandang agama dari dimensi-dimensi yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika satu pihak memandang bahwa kesadaran agama sedang
bangkit, karena melihat pengunjung mesjid yang sedang melimpah dan peringatan
keagamaan yang meriah. Pihak yang lain menunjukkan mundurnya perasaan beragama
dengan meningkatnya tindakan kriminal, perilaku anti sosial dan kemerosotan
moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan pada mereka bahwa
nilai agama yang mereka bicarakan adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan
dalam dimensi ritual dan pihak kedua dalam dimensi sosial.
Sesungguhnya moralitas agama yang paling mengesankan dalam kehidupan manusia
adalah menolak kejahatan dengan kebaikan. Etika ketuhanan yang selalu tulus
memberikan “air susu” disaat orang suka melempar “air tuba”. Kendati setiap
hari orang beragama disakiti, tetapi ajaran agamanya memintanya untuk bersabar
dan kalau perlu memaafkan. Dengan keyakinan bahwa sikap sabar dan memaafkan itu
justru akan mendekatkan dirinya dengan cinta kasih Tuhan dan menjauhkan musuhnya
dari kasih sayang-Nya.
Ajaran Islam memberikan kesempatan bagi setiap orang yang diperlakukan secara
tidak manusiawi (zhalim) untuk mengadakan perlawanan demi membela diri. Bahkan,
apabila yang bersangkutan mau membalas kejahatan orang itu pun agama membenarkannya,
asalkan setara dengan kejahatan yang diterimanya. Membalas kejahatan dengan
kejahatan yang sama, tidak dikenakan sanksi dosa, karena dosa itu hanya berlaku
bagi orang-orang yang berbuat aniaya (zhalim) tanpa berpijak pada logika
kebenaran.
Dalam pandangan Islam, benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap
kebenaran, keindahan dan kebaikan (Shihab, 1993). Manusia pertama yang
diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi, diberi pesan agar mengikuti
petunjuknya, jika petunjuk tersebut sampai kepadanya (Q.S. 2: 28). Petunjuk
pertama yang melahirkan agama adalah ketika Adam dalam perjalanannya di bumi
ini menemukan kebenaran, keindahan dan kebaikan.
Keindahan yang ditemukan adalah terkait dengan alam raya, bintang yang
gemerlap, kembang yang mekar dan berbagai fenomena alam lainnya. Nilai kebaikan
ditemukan pada angin sepoi yang menyegarkan di saat Ia merasa gerah kepanasan
atau pada air yang sejuk dikala Ia sedang haus. Ditemukannya nilai kebenaran
dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri.
Gabungan ketiga hal itu melahirkan kesucian. Manusia yang memiliki naluri ingin
tahu, berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar dan baik ?
Jiwa dan akalnya mengantarkannya bertenmu dengan yang Maha Suci dan ketika itu
Ia berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha mencontoh
sifat-sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan
proses beragama sebagai upaya manusia mencontoh sifat-sifat yang Maha Suci.
Nama Tuhan yang kekal dan abadi di dalam lubuk jiwa manusia memang lebih
mengesankan daripada bumi dengan segala isinya. Kehadiran Tuhan menyertai
manusia dalam segala tindakan, bukan dimaksudkan sebagai alat untuk melemparkan
kesalahan dan menghindari tanggung jawab, melainkan sebagai doa dan pengharapan
yang tulus agar sang hamba selalu terdorong untuk berbuat kebaikan dan terlepas
dari jeratan hawa nafsu yang acapkali menguasai nurani ummat manusia.
C. Jalan Menuju Tuhan
Bagi Albert Einstein, tidak terbayangkan olehnya ada para ilmuan yang tidak
punya keimanan mendalam. Makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar
kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan. Ketika Einstein ditanya apakah Ia
percaya kepada Tuhannya Spinoza, filosof Yahudi dari Belanda, Ia berkata :
Aku tak bisa menjawabnya dengan sederhana; ya atau tidak. Aku bukan ateis dan
aku tidak juga dapat menyebut diriku panteis. Kita ini mirip seorang anak yang
masuk kesebuah perpustakaan besar, penuh dengan buku dalam berbagai bahasa.
Anak itu tahu bahwa pasti ada orang yang telah menulis buku-buku itu. Secara
samar-samar, si anak menduga adanya keteraturan misterius dalam penyusunan
buku-buku itu, tetapi Ia tak tahu bagaimana. Bagiku, itulah sikap yang
sesungguhnya dari bahkan orang yang paling cerdas sekalipun terhadap Tuhan.
Kita melihat alam semesta disusun dengan sangat menakjubkan dan mematuhi
hukum-hukum tertentu. Tetapi, kita kita hanya memahami hukum-hukum itu secara
samar-samar saja. Pikiran kita yang terbatas tak dapat menangkap kekuatan
misterius yang menggerakkan semesta. Aku terpesona dengan panteisme spinoza,
tetapi aku jauh lebih mengagumi lagi sumbangannya bagi pemikiran modern karena
dialah filosof pertama yang memperlakukan jiwa dan badan sebagai satu kesatuan,
bukan dua hal yang berbeda (Rakhmat, 2004).
Ketakjubannya pada penemuan sains membawa Einstin kepada Tuhan. Jika pandangan
agamanya mempengaruhi pemikiran ilmiahnya, pada gilirannya pemikiran ilmiahnya
mewarnai pandangan agamanya. Dalam pandangan Einstin, salah satu intekasi
antara agama dan ilmu pengetahuan adalah agama menyumbangkan ajarannya pada
ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya pada agama.
Meminjam metafora Einstin, maka sesungguhnya antara Agama dan Ilmu pengetahuan
ibarat si buta dan si lumpuh. Ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama, akan
terpaku pada tempat duduknya. Ia hanya mampu melihat apa yang berada
disekitarnya. Suapaya bisa berjalan, ilmu pengetahuan harus meminta bantuan
agama. Agama membawa ilmu pengetahuan pada dunia yang lebih luas, dunia yang jauh
diluar batas-batas empiris.
Dalam pandangan Muthahhari, bahwa sesungguhnya sejarah telah membuktikan
pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa
diperbaiki lagi. Keimanan mesti dikenali lewat sains. Keimanan bisa tetap aman
dari berbagai takhyul melalui pencerahan sains. Keimanan tanpa sains akan
berakibat fanatisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, agama,
dalam diri penganutnya yang naif akan menjadi suatu intstrumen ditangan-tangan
para dukun cerdik (Muthahhari, 1994).
Bagaimanapun bentuk penolakan Nietzche, Freud dan Karl Marx terhadap
nilai-nilai agama dan proses penerimaan Einstin tentang hakekat ketuhanan,
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses pencerahan manusia
menuju tuhan-Nya namun juga sebaliknya, ilmu pengetahuan bisa menyesatkan
manusia dari jalan-Nya. Menurut Ayatullah Khomaeini (Yamin, 2002) bahwa, Kaum
filosof telah membuktikan Kemahahadiran Tuhan dengan argumen-argumen rasional.
Akan tetapi selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tidak
mencapai hati, maka akal itu tidak memiliki kepercayaan kepadanya.
Diungkapkan lebih lanjut oleh Khomaeini bahwa para nabi dan para wali yang
ikhlas, tidak pernah menggunakan bahasa dan argumen filosofis dalam dakwah
mereka, tetapi mengimbau kepada jiwa dan hati orang-orang tersebut. Jiwa dalam
pandangan Plato adalah self initiating motion atau source of motion (F.
Copleston, 1945). Dengan demikian orang-orang yang mereka asuh adalah
pecinta-pecinta yang setia dengan sepenuh hati. Sedangkan para filosof dan
murid-muridnya lebih menyukai argumen dan diskusi dan lalai dari mengurus
dengan baik hati dan jiwa mereka.
Hikmah yang terpetik dari proses pencarian hakekat ketuhanan hingga menemukan
jalan menuju Tuhan menurut para sufi tidak akan terlepas dari tiga proses utama
yaitu pertama takhalli yaitu berjihad dan bermujahadah untuk mengosongkan jiwa
dari segala sifat dan perbuatan yang tercela. Unsur “keterpaksaan” dalam proses
ini, menempatkan amaliah seseorang dalam bingkai ketaatan yang senantiasa
disandarkan atas negosiasi pahala dan dosa. Pada tahap ini seseorang menyesali
segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya, kemudian membuka sejarah
lembaran baru dengan menghiasi diri dengan amalan sholeh.
Proses kedua adalah tahalli yaitu upaya pengisian dan penghiasan diri dengan
sifat-sifat yang terpuji. Dalam hal ini seorang hamba tidak lagi tergantung
pada negosiasi surga neraka, melainkan hanya ingin dekat dengan Dzat yang
dikasihi dan dirindukan. Proses yang ketiga dan terakhir adalah tajalli yaitu
tidak lagi menjadikan amal sholeh sebagai tempat berpijak tetapi lebih banyak
melakukan kontemplasi. Pada fase inilah tempatnya seorang ber-ittihad (menyatu)
dengan Tuhan, ber-hulul (Tuhan menempati dan memilihnya) dan ber-wahdatul wujud
(Kesatuan eksistensi Tuhan dengan hamba).
D. Hidup Yang Tercerahkan
Falsafah Man Arafa
Nafsa Fa Arafah Rabbah (Manusia yang mengenal hakekat dirinya, akan
mengenal hakekat Tuhannya) dan ungkapan Socrates "Gnothi Seauthon"
(kenalilah dirimu) menjadi bagian dari pengkajian dan perenungan diri umat
manusia sepajang sejarah untuk dapat mengenal hakekat kehidupan, substansi
kemanusiaan dan nilai Ilahiah. Pada akhirnya manusia mulai mengenal hidup,
kemanusiaan dan Tuhannya. Proses inilah sebagai awal dari pencerahan hidup
manusia atas kemanusiaannya dan manusia atas keyakinan dan agamanya.
Agama, dalam bentuk apapun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat
manusia. Peranan agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia, tanpa
agama tidak dapat hidup sempurna. Manusia sejatinya senantiasa mendambakan
kebahagiaan hidup, bahkan keberlangsungan hidup itu sendiri ada di dalam
kondisi bahagia. Dengan kata lain, hanya bahagialah yang memungkinkan seseorang
dapat melanjutkan hidupnya, bahkan tujuan hidup itu sendiri adalah kebahagiaan.
Orang yang mendapatkan dirinya menderita akan berusaha keluar dari penderitaan
tersebut. Apabila Ia sakit, maka Ia akan mencari dokter atau rumah sakit yang
bisa menyembuhkannya. Apabila Ia miskin maka Ia akan berusaha bekerja keras
agar keluar dari jeratan kemiskinan. Semua itu merupakan respon eksistensial
manusia bahwa mereka tidak bisa dan tidak tahan hidup dalam penderitaan. Untuk
dapat keluar dari berbagai himpitan hidup dengan segala persoalannya maka agama
adalah jalan keluar menemukan pencerahan hidup yang sesungguhnya.
Ilustrasi yang tepat untuk mendeskripsikan hal tersebut adalah apa yang pernah
dialami oleh Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Gazali. Ia
tiba-tiba dilanda keresahan hingga Ia memutuskan meninggalkan karirnya yang
cemerlang dan mencari hal yang didambakannya yaitu jawaban kepada guncangan
batinnya. Ia jatuh sakit, mulutnya membisu, tetapi pikirannya terus bergejolak.
Ia mengasingkan diri untuk menjawab pertanyaan besar yang sedang merisaukan
hatinya yaitu cara apakah yang dapat ditempuh hingga sampai pada pengetahuan
yang benar ?
Pertama, Al-Gazali menganggap bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat
diperoleh lewat pencerapan indera. Sehingga kebenaran adalah apa yang dapat
dilihat, didengar atau diraba. Segera Ia menemukan bahwa persepsi indera juga
tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Matanya melihat bahwa bayangan tongkat itu
tidak bergerak padahal orang tahu bahwa bayangan itu bergerak perlahan sekali
mengikuti bayangan matahari dan matahari kelihatan kecil padahal lewat
perhitungan geometris matahari lebih besar dari pada bumi. Kekeliruan indera
dibetulkan oleh akal.
Al-Gazali segerah mencurahkan perhatiannya pada akal namun dalam pergolakan
batinnya, Ia dihujat oleh persepsi inderawi bahwa kalau tidak ada akal, anda
akan selalu menganggap inderawi benar. Barangkali dibalik pemahaman akal, ada
lagi hakim lain yang bila menampakkan dirinya dapat menunjukkan kesalahan akal
dalam menetapkan keputusan.
Selama berbulan-bulan Al-Gazali merenungkan permasalahan yang dihadapinya dan
pemecahannya tidak datang lewat berpikir dan merenung. Ia bercerita
“penyelesaian masalahku tidaklah datang karena pembuktian yang sistimatis dan
argumentasi yang dikemukakan, tetapi karena cahaya yang dimasukkan Allah Ta’ala
kedalam dadaku. Cahaya itu merupakan kunci menuju bagian pengetahuan yang lebih
besar. Cahaya itu sendiri bukanlah ungkapan kebenaran namun kebenaran harus
dicari” (Otman, 1960).
Al-Gazali telah melewati perjalanan panjang spiritualnya melalui kekuatan
persepsi inderawi dan menguras kekuatan intelektual namun berakhir dengan
keputusasaan hingga sentuhan gaib Tuhan menyelamatkannya. Dorongan mendadak
keimanan ini tampak olehnya berasal dari pencerahan Ilahi sebagai suatu cahaya
pembawa harapan. Baginya, hal itu berarti bahwa Ilham dan wahyu adalah riil.
Perjalanan spiritual manusia dalam perspektif Islam sesungguhnya diawali dengan
sebuah transaksi spiritual “Alastu Birabbikum” Apakah aku ini Tuhanmu ? “Qalu
Bala Syahidna” Kami bersaksi Ya Allah, bahwa Engkaulah Tuhan Kami (Q.S.
Al-A’raf 172). Dalam sejumlah hadits yang disandarkan pada Nabi saw, para
sahabatnya dan mufassir Al-Qur’an awal memaknai ayat tersebut bahwa jauh
sebelum manusia lahir, Allah S.W.T telah mengumpulkan seluruh keturunan Adam dalam
bentuk partikel-partikel kecil (arwah) dan dalam keadaan semacam itu, mereka
menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, sehingga dengan pengakuan ini semestinya
tidak ada alasan bagi manusia untuk mengingkari Tuhan, kapan dan dimanapun ia
berada (Mulyadi, 2003)
Transaksi spiritual tersebut mengingatkan sepatutnyalah setiap Insan dengan
nilai ruhaniahnya mawas diri terhadap tipuan jasad badani dan setan lahir
maupun batin, yang sering menyesatkan orang atas nama Tuhan dan atas nama
pengabdian kepada makhluk-makhluk-Nya, sambil menghalangi dan mendorong menuju
nafsu-nafsu diri sendiri.
Untuk dapat memahami nilai-nilai agama maka Allah SWT memberikan manusia
berbagai instrumen agar dapat senantiasa berada dalam bimbingan, lindungan dan
ridha-Nya. Allah S.W.T menganugerahkan manusia indrawi sehingga nilai sensasi
hidup dalam dirinya. Mata yang indah untuk menatap keindahan. Indra pendengaran
untuk menikmati kicauan burung hingga azan berkumandang. Lisan, sebagai
anugerah dalam penyampaian pesan nilai-nilai Ilahiah dan interaksi melalui
proses komunikasi.
Allah S.W.T. juga menganugerahkan manusia akal pikiran dengan itu manusia mampu
berpikir rasional dan mengembangkan logika berpikirnya. Fungsi berpikir sendiri
terkait dengan dua aspek yang amat penting yaitu wissen dan verstehen. Wissen
adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu sedangkan verstehen adalah
pengetahuan yang telah dimiliki dimenerti dan dipahami secara mendalam
(Effendi, 2003).
Indrawi telah membantu manusia untuk dapat mengetahui berbagai hal dalam kehidupannya
dan berpikir menjadi pijakan manusia dalam mengembangkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, hingga Ia mampu membedakan baik dan buruk, perintah dan larangan,
dosa dan pahala serta menjaga dirinya dari berbagai jeratan dan himpitan
persoalan kehidupan duniawinya.
Hidup yang tercerahkan tidak semata-mata diperoleh hanya dengan optimalisasi
indrawi dan proses berpikir, lebih dari itu pencerahan hidup juga dituntun oleh
Intuisi/ilham dan Wahyu. Ituisi adalah petunjuk dan tuntunan Allah S.W.T bagi
hamba-hamba yang senantiasa taat dengan keikhlasan ibadahnya dan wahyu adalah
karunia Allah S.W.T yang akan membimbing, menuntun, mengarahkan manusia
sehingga memperoleh ridha-Nya. Hal ini hanya diperoleh dengan melakukan
mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam memenuhi kebutuhan al-takamul al-ruhani
yaitu proses penyempurnaan nilai-nilai spiritual yang telah tertanam dalam diri
setiap hamba melalui transaksi spiritualnya.
E. Penutup
Kajian filsafat dalam berbagai perspektif akan selalu terkait dengan nilai ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Nilai ontologis dibangun melalui asumsi metafisis
spiritual yaitu substansi yang terkandung dibalik realitas yang ada dengan
mengacu pada nilai-nilai kejiwaan (ruhaniah) yang dimiliki oleh manusia.
Epistimologis berupa kemampuan metodologis dalam mencari dan menemukan nilai
kebenaran. Aksiologis adalah bentuk implementatif dari nilai ontologis dan
epistimologis yang telah dikaji oleh manusia yang berwujud fisis material.
Nilai ontologis dalam kajian Islam adalah proses pencerahan manusia untuk
menemukan hakekat ketuhanan yang sesungguhnya seperti yang tercermin melalui
kisah Nabiullah Ibrahim a.s. dan Rasulullah Muhammad S.A.W. Nilai Epistimologis
tercermin dari proses berpikir hingga kontemplasi meniti jalan menuju sang
Khalik. Aksiologis merupakan Ruh Ilahiyah (pancaran sinar Ilahi) yang terpancar
melalui cinta kasih manusia terhadap sesamanya maupun cinta kasihnya dengan
segala ciptaan yang diciptakan-Nya.
Daftar Pustaka
Armstong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Mizan. Bandung.
Copleston, Frederick. 1995. A History Of Philosophy. Search Press. London
Dahlan, Mahmudi Arif. Mutiara Kisah Pribadi Menawan Rasul, Sahabat, Ulama dan Hamba Shaleh. Pustaka Gorda. Ponorogo.
Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama Di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.
Mulyadi, Arif. 2003. Tuhan Menurut Al-Qur’an. Al-Huda. Jakarta
Otman, Ali Issa. 1960. The Concept Of Man In Islam, In The Writing Of Al-Gazzali. Daar Al-Maareef. Cairo.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
________________. 2003. Islam Aktual. Mizan Pustaka. Bandung.
________________. 2004. Psikologi Agama. Mizan Pustaka. Bandung.
________________. 2004. Meraih Kebahagiaan. Rekatama Media. Bandung
________________. 2004. Madrasah Ruhaniah. Muthahhari. Bandung
Shihab, Quraish. 1993. Membumikan Al-Quran. Mizan. Bandung.
Yamani. 2002. Wasiat Sufi Ayatullah Khomaeini. Mizan. Bandung.
Copleston, Frederick. 1995. A History Of Philosophy. Search Press. London
Dahlan, Mahmudi Arif. Mutiara Kisah Pribadi Menawan Rasul, Sahabat, Ulama dan Hamba Shaleh. Pustaka Gorda. Ponorogo.
Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama Di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.
Mulyadi, Arif. 2003. Tuhan Menurut Al-Qur’an. Al-Huda. Jakarta
Otman, Ali Issa. 1960. The Concept Of Man In Islam, In The Writing Of Al-Gazzali. Daar Al-Maareef. Cairo.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
________________. 2003. Islam Aktual. Mizan Pustaka. Bandung.
________________. 2004. Psikologi Agama. Mizan Pustaka. Bandung.
________________. 2004. Meraih Kebahagiaan. Rekatama Media. Bandung
________________. 2004. Madrasah Ruhaniah. Muthahhari. Bandung
Shihab, Quraish. 1993. Membumikan Al-Quran. Mizan. Bandung.
Yamani. 2002. Wasiat Sufi Ayatullah Khomaeini. Mizan. Bandung.