Panorama Rasionalitas
(Dari Yunani
Hingga Modernitas)
Apakah filsafat? Jika dibahasakan dengan
mudah, filsafat adalah elaborasi relasi saya (manusia) dengan dunia. Filsafat
berada pada rincian aneka kepentingan refleksi pemahaman dunia saya. Dunia di
sini bukan semata dunia fisik, alam, gunung, sungai, sawah. Melainkan dunia
dalam arti yang luas, mendalam, melimpah. Dunia mencakup segala perkara yang
berurusan dengan hidup saya (hidup, mati, makna hidup, Tuhan, kejahatan).
Filsafat menyoal tentang manusia, karena soal manusia adalah soal dunia hidup
saya. Filsafat merefleksikan ‘Siapakah aku,’ karena wacana tentag aku sebagai
manusia yang menyejarah menunjuk langsung kepada dunia hidupku. Dan, demikian,
bahkan filsafat menggaggas tentang Tuhan, karena refleksi ‘Sang Ada Absolut’
mengisi ruang hidupku. Dengan singkat kata, filsafat berupa elaborasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi.
Jika kita melihat secara singkat,
elaborasi relasi manusia dengan dunia dalam sejarah perkembangan filsafat akan
dijumpai suatu alur yang mengalir. Mula-mula, pada zaman sebelum filsafat
(dalam artian umum), manusia memahami dunia dengan segala peristiwanya dalam
mitos-mitos. Hujan, misalnya, merupakan tangisan dewi. Penjelasan hujan sebagai
tangisan dewi merupakan mitos, sebab penjelasan itu tidak menyentuh halnya.
Menurut pemikiran modern, hujan tidak
lain merupakan jatuhnya uap air dari udara setelah mencapai titik suhu
kenisbian tertentu. Namun, harus dipahami bahwa mitos tidak mengatakan salah
benar suatu penjelasan. Dalam pemahaman kemudian, akan dijumpai bahwa mitos sebenarnya
bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan halnya (hujan) atau proses peristiwanya
(berupa air turun dari atas). Melainkan mitos dimaksudkan untuk melukiskan
relasi manusia dengan alam, dengan dunianya, bahkan dengan realitas yang
mengatasi hidupnya. Misalnya, apabila hujan turun berlebihan dan menyebabkan
banjir, orang langsung bertanya apa yang dikehendaki dewa terhadap manusia.
Atau, banjir dimengeri dalam kaitannya dengan bentuk ungkapan kemarahan
dewa/dewi atas hidup manusia yang dirasa tidak memenuhi ketentuan yang
digariskan oleh sang penyelenggara kehidupan. Jadi, mitos bukan penjelasan hal
atau peristiwa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan dunianya.
Periode awal kelahiran filsafat Yunani
ditandai dengan campur baur mentalitas berpikir. Tidak sepenuhnya mitos
ditinggalkan. Tetapi gerakan intelektual yang berusaha menarik garis tegas
antara penjelasan mitologis dan ilmiah juga makin menghebat. Apa yang disebut
sebagai ‘ilmiah’ dalam periode awal filsafat Yunani jelas berbeda dengan periode
modern. Ilmiah dalam Yunani awali berkaitan dengan argumentasi, refleksi,
predikasi. Sedangkan dalam periode modern, keilmiahan menunjuk kepada
metodologi. Apalagi dengan kebangkitan ilmu-ilmu empiris (ilmu yang mendasarkan
diri pada fakta, data, realtias) yang mengalir kepada ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial, pergumulan keilmiahan berarti pergumulan seputar metodologi.
Elaborasi filsafat Yunani awali berkutat pada pencarian arche.
Arche merupakan terminologi filosofis
untuk menyebut prinsip, asal-usul. Dengan menemukan arche, orang bisa
menjelaskan segala apa yang ada dalam suatu cara yang mengesankan. Misalnya,
bagaimana segala yang ada ini hendak dijelaskan? Segala yang ada berasal dari
air. Airlah prinsip ada. Itu pendapat Thales. Filosof lain akan memiliki
pandangan lain, prinsip segala yang ada adalah udara. Ada lagi yang menyebut
tanah. Tapi, ada juga yang berkata ketiga-tiganya, air, udara dan tanah. Dan
seterusnya. Pandangan filsafat Yunani awali – karena menyebut air, udara dan
semacamnya – disebut filsafat alam. Maka, para filosof awali adalah para
filosof alam.
Perkembangan filsafat Yunani mencapai
puncak sistematis pada pemikiran Aristoteles. Plato dari sendirinya perlu juga
disebutkan di sini. Tetapi, elaborasi tentang relasi dunia dengan manusia
ditemukan dalam cara yang mengesankan pada Aristoteles, tanpa mengecilkan peran
hebat dari filsafat Plato juga. Bagi Aristoteles, relasi manusia dengan dunia
identik dengan relasi rasio (akal budi) dan realitas. Artinya, pengetahuan
manusia tentang dunia adalah pengetahuan rasional tentang realitas. Dalam Aristoteles, untuk pertama kalinya
dalam sejarah filsafat, apa yang disebut dengan pengetahuan adalah soal relasi
kesesuaian antara apa yang ada dalam akal budi dengan objek real yang diketahui
(di luar akal budi). Plato tidak memikirkan demikian. Kesejatian
pengetahuan platonis menunjuk dan merujuk pada Forma atau Idea. Kesejatian
maksudnya keuniversalan.
Berbeda dengan Aristoteles yang realis,
Plato adalah seorang idealis. Kembali kepada Aristoteles. Dalam Aristoteles,
pengetahuan itu memiliki makna, jika pengetahuan itu benar, sahih, valid. Dan
apa yang dimaksudkan dengan soal kebenaran, kesahihan, kevalidan adalah soal
verifikasi apa yang ada dalam rasio dengan objek realnya di luar rasio. Jika
suatu pengetahuan akal budi benar, itu maksudnya pengetahuan itu sesuai dengan
objek real (objek nyata sehari-hari seperti kuda, meja, dll). Dan,
kebalikannya, jika pengetahuan salah, artinya pengetahuan itu tidak sesuai
dengan objeknya. Contoh, Indonesia terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Ini
benar hanya apabila memang ada sekian jumlahnya dalam kenyataan. Bila ternyata
tidak sampai tujuh belas ribu pulau, berarti pengetahuan itu salah. Dengan
demikian, kebenaran suatu ilmu pengetahuan – dalam cara berpikir Aristotelian –
ialah kebenaran objektif. Kebenaran
objektif berarti kebenaran yang menunjuk kepada realitas objeknya. Dalam
filsafat Aristotelian, kebenaran objektif adalah kebenaran universal. Berbeda
dengan Plato, kebenaran universal tidak pernah menunjuk kepada objek real.
Sebab objek real adalah percikan (model) dari realitas universal, Idea. Gagasan Aristoteles menjadi semacam pondasi
metodologi untuk ilmu pengetahun modern. Maksudnya, ilmu pengetahuan
bertumpu pada objek realnya. Suatu pernyataan ilmiah ditarik dari realitas
objektifnya. Inilah sebabnya seringkali filsafat Aristoteles disebut sebagai
filsafat esse. Artinya, filsafat
Aristotelian bertolak dari ada, dari
realitas, dari segala apa yang ada.
Dalam konteks epistemologis, filsafat Aristotelian
terus berlangsung sampai Descartes muncul. Descartes adalah pendobrak gaya
justifikasi model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari objek, melainkan dari
subjek. Apa artinya bertolak dari subjek? Artinya bertolak dari apa yang paling
melukiskan subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat
Descartes seringkali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena ia
melucuti pengetahuan dari dimensi objektifnya. Pengetahuan itu urusan
kesadaran. Urusan apa yang paling menentukan subjektivitas seseorang. Orang
mengetahui kapal, misalnya, itu berarti akal budi orang itu sedang ‘menyadari’
kapal. Descartes berkata dengan benar, cogito ergo sum (saya
berpikir maka saya ada). Kesadaran mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari,
berpikir) mendahului sum (realitas ada saya). Filsafat
Descartes juga disebut filsafat Cogito, filsafat ‘saya berpikir’, atau dengan
kata lain filsafat kesadaran. Ergo Sum
(maka saya ada) lantas mengalir dari kesadaran. Pada poin ini, saya
berpikir/menyadari mendahului realitas ada saya. Ketika saya berpikir, setan
pun tidak dapat menyangkalnya atau bahkan ketika saya bertanya, apakah saya
sedang berpikir, justru itu menunjukkan bahwa saya sedang berpikir/menyadari.
Dengan demikian, dalam Descartes, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat
dari kesadaran.
Karena kesadaran memiliki karakter
subjektif, maka juga soal pengetahun benar atau salah sangat berurusan dengan
subjektivitas. Artinya, dalam cara berpikir demikian, objektivitas (kebenaran
yang berkaitan dengan objeknya) mulai ditinggalkan. Nanti Descartes akan
menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh
manusia menyadari. Pengetahuan manusia adalah ‘bawaan’ sejak lahir. Mengenal
atau mengetahui berarti mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut.
(Mirip gagasan Plato, but let’s go on)
Dikatakan bahwa Descartes mendobrak
filsafat Aristotelian, di mana letak pendobrakkannya? Di sini, bahwa sejak
Descartes peran rasio makin mengemuka dan menghebat. Maksudnya, akal budi
manusia benar-benar hampir menjadi segalanya dalam tataran filsafat.
Rasionalisme, dalam konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat
Descartes. Kepastian ilmu pengetahuan
bukan lagi perkara relasi atau kaitan rasio dengan realitas, melainkan perkara
kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara sesuai atau tidaknya
antara akal budi dengan objek realnya ditinggalkan. Ide tentang subjektivitas
atau subjektivisme (kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat
Cartesius (Rene Descartes).
Rasionalisme Cartesian mengalami puncak
elaborasi pada filsafat Immanuel Kant. Dalam Kant, ilmu pengetahuan bukan ingatan (Descartes), bukan pula kesesuaian antara rasio dan
realitas (Aristoteles), melainkan sintetis
apriori. Artinya, pengetahuan itu ada dalam akal budi sendiri yang memiliki
struktur kategoris. Seakan-akan akal budi itu sendiri yang memproduksi
pengetahuan. Kant menulis buku Critique Of Pure Reason, buku yang
menggariskan filsafatnya tentang akal budi murni. Murni artinya tidak tercampur.
Tak tercampur apa? Tak tercampur pengalaman. Pengetahuan itu disebut sintetis apriori sebab pengetahuan itu
tidak mengandaikan pengalaman. Bagi
Kant, realitas itu tertutup. Akal budi kita tidak mungkin menembusnya.
Mengenai realitas, Kant membedakan dua hal: realitas dalam dirinya sendiri dan
dalam dalam penampakkannya. Suatu pengetahuan tentang realitas dalam dirinya
sendiri tidak mungkin (misal, tentang Tuhan). Kesadaran kita tertutup sama
sekali mengenai suatu realitas dalam dirinya sendiri. Pengetahuan kita adalah
seputar penampakkannya. Karena tesis filosofis yang demikian, maka dalam Kant,
manusia sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Maksudnya, bukan tidak peduli, tapi
skema pengetahuan manusia tentang realitas sudah ada dalam akal budinya. Bukunya
yang sangat terkenal itu diberi judul Critique,
bukan karena mengemukakan kritik-kritik tapi buku itu menjadi semacam diskursus
final dan tuntas tentang pengetahuan manusia. Disebut Critique juga lantaran
akal budi atau rasio perlu didisiplinkan. Mengapa perlu didisiplinkan? Karena
rasio atau akal budi memiliki batasan-batasannya. Filsafat Kant membuat krisis
metafisika Aristotelian dan itu berarti juga teologi Kristiani (karena teologi
Kristen bergerak dari model berpikir Aristotelian). Mengapa? Karena dengan
Kant, Esse atau realitas seakan
tidak diperlukan lagi. Pengetahuan sudah tercakup dalam akal budi manusia
sedemikian rupa. Critique of pure reason menisbikan pengalaman akan realitas.
Padahal Thomas Aquinas misalnya, kalau memberi kuliah tentang pembuktian
eksistensi Tuhan berangkat dari pengalaman akan realitas. Umpamanya dalam jalan
pertama bukti eksistensi Tuhan, Aquinas menyebut pengalaman bahwa segala apa
yang ada ini bergerak. Nah, gila bukan itu filsafat Kantian. Ia benar-benar
membuntu secara telak diskursus tentang Tuhan dari pengalaman.
Ilmu-ilmu empiris memiliki jalur yang
lain lagi. Para ahli ilmu empiris (natural
scientist) menggagas keilmiahan dalam suatu cara yang baru sama sekali. Keilmiahan berurusan dengan metodologi.
Metodologi ilmiah bagi para ilmuwan ilmu-ilmu alam berarti metodologi
penelitian yang memiliki komponen karakteristik: eksperimental, kalkulatif,
matematis. Segala apa yang tidak bisa dihitung, dikalkulasi, distatistikkan itu
omong kosong belaka. Cuma ilusi. Para punggawa ilmu-ilmu empiris tidak
main-main. Sebab, memang siapakah yang dapat membuktikan bahwa dalil-dalil
matematis tidak abadi. Tidak ada yang dapat melampaui kepastian kebenaran
matematis.
Gaya berpikir yang mengedepankan
cara-cara perhitungan semacam ini – dalam perkembangan filsafat selanjutnya –
disebut positivisme. Artinya
sebagaimana dimaksudkan dalam terminologinya sesuatu itu disebut sahih, valid,
benar kalau bisa ‘diletakkan’. Maksudnya, sesuatu itu meyakinkan bila dapat
dihitung, dikalkulasi, dieksperimentasikan. August Comte adalah tokoh
positivisme untuk bidang ilmu sosial, yang kemudian akan dikenal dengan sebutan
sosiologi. Warisan positivisme Comte diteruskan oleh para ahli sosial yang
hampir semuanya meninggalkan cara-cara berpikir yang spekulatif, bawaan
semangat abad pertengahan.
Comte di sosiologi. Di bidang psikologi
(dimulai oleh Wilhem Wundt yang mendirikan laboratoriun untuk penelitian
psikologi yang kemudian dikenal sebagai psikologi eksperimental), model-model
eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif juga sangat dominan. Dalam
ilmu psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad
keduapuluhan disebut sebagai psikologisme. Positivisme dalam psikologi menjadi
puncak kejayaan perkembangan ilmu-ilmu humanistik.
Tetapi, seorang ahli matematika yang
amat tersohor justru gelisah. Gelisah oleh pertanyaan, benarkah sebuah ilmu
pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah menunjukkan hitungan matematis yang
sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu seakan lantas
hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama ilmuwan belaka?
Benarkah kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu statistik,
hitungan aritmatika, geometri? Ahli matematika itu adalah Edmund Husserl.
Husserllah pencetus fenomenologi, meski
Brentano mengatakan terlebih dahulu hal yang kurang lebih sama. Apakah
fenomenologi? Fenomenologi itu filsafat, ilmu pengetahuan sekaligus metodologi.
Fenomenologi membuka horizon cara berpikir baru dalam filsafat sekaligus
menggebrak kesombongan para ilmuwan positivistik dan menjadi sekaligus metode
untuk meraih kebenaran yang mencengangkan.
“Kembali kepada benda-benda itu
sendiri”. Demikianlah emblem fenomenologi Husserl yang diperkenalkannya sebagai
upaya menolak penjelasan psikologisme dan positivisme atas realitas ini.[1]
Menurut Husserl, kita tidak perlu memaksakan kategori-kategori pemikiran kita
atas realitas. Sebaliknya, biarlah realitas menampakkan diri apa adanya.[2]
Apa yang ditampakkan oleh realitas sejauh ia ada, dapat ditangkap oleh
kesadaran. Kesadaran karena itu tidaklah pasif. Pada poin ini, Husserl dapat
berkata bahwa kesadaran adalah kesadaran yang bertujuan.
Struktur kesadaran sebagai
intensionalitas ini memang masih menempatkan manusia tetap sebagai pusat makna.
Karena itu, yang dicari dalam fenomenologi ini adalah apa makna hidup manusia.
Maka, dalam fenomenologi Husserl, tema sentral diletakkan pada lebenswelt, yakni dunia hidup kita
sehari-hari. Bagaimana Husserl memulai analisa fenomenologisnya untuk sampai
kepada benda-benda itu sendiri (esensi benda itu)? Husserl memperkenalkan sebuah metode yang
disebut reduksi fenomenologis. Reduksi fenomenologis adalah sebuah penundaan (epoche, bracketing) terhadap pandangan sehari-hari untuk sampai kepada
halnya. Ada tiga tahap reduksi.[3]
Pertama, reduksi fenomenologis yang memaksudkan penyingkiran segala sesuatu
yang bersifat subjektif. Kedua, reduksi eidetik yang
[1] Lih. Dermot Moran. An Introduction to Phenomenology.
London: Routledge, 2000. Hal. 9. Bdk. Edmund Husserl. Ideas I. bag. Introduction di mana ia berkata,
“Kritikku terhadap metode psikologi tidaklah bermaksud untuk menolak sama
sekali nilai psikologi itu sendiri….Yang aku kritik adalah bahwa metode
psikologi memberikan kepastian hampa dalam arti metodenya sendiri itu cacat
sehingga cara kerja ini perlu diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Taraf yang
lebih tinggi inilah yang dinamakan Fenomenologi Murni atau Transendental di
mana disiplin ilmu ini berurusan dengan Science
of Essence (as an ‘eidetic’ science).”
(Terjemahan dari penulis sendiri)
[2] Sebagai Contoh, jika
Anda ditanya, “Apakah matahari itu?” Anda mungkin menjawab bahwa matahari
adalah pusat tata surya. Jawaban ini memang tidak salah. Tapi, secara
fenomenologis, jawaban ini belum dapat dikatakan benar. Seorang fenomenolog
adalah seorang pemula dalam arti pemula dalam segala pengetahuan. Seorang
fenomenolog justru mempertanyakan segala hal (pendapat orang, ide, gagasan dan
sebagainya). Seorang fenomenolog tidak mengikuti begitu saja apa yang dikatakan
atau apa yang telah ditetapkan sebagai demikian. Jadi, bagi seorang
fenomenolog, matahari itu pertama-tama adalah panas. Panas karena fenomena atau
gejala pertama yang kita rasakan dari matahari adalah panas.
[3] Mudji Sutrisno &
F Hardiman (eds.). Para Filsuf Penentu
Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 90-91.
memaksudkan penyingkiran sementara
objektivitas yang menyelubungi esensi benda tersebut. Reduksi pada tahap kedua
ini sesungguhnya merupakan penundaan anggapan terhadap struktur-struktur yang
mendasari adanya benda tersebut. Dan ketiga, reduksi transendental yang
memaksudkan penyingkiran terhadap kesadaran yang bukan kesadaran murni. Ketika
kita sampai pada kesadaran murni berarti kita sampai kepada apa (esensi) yang menampakkan diri apa
adanya kepada kita.
Struktur kesadaran yang bersifat
intensionalitas membuat Husserl mampu untuk membuka kembali Cogito tertutupnya
Descartes. Ini terjadi karena pengalaman akan dunia mendahului semua
pengetahuan.[1]
Dunia, karena itu, dalam kerangka fenomenologi tidak berada atau terlepas dari
manusia. Dunia dan manusia adalah satu. Tanpa dunia, segala pemahaman dan
pengetahuan tidaklah mungkin terjadi. Salah satu murid Husserl, Heidegger, akan
melengkapi tapi sekaligus mendobrak pendirian gurunya ini. Bagi Heidegger,
dalam perjalanan selanjutnya, ego transendental Husserl justru identik dengan
realitas murni. Dengan kata lain, ego transendental tidak menambah sesuatu yang
baru.[2]
Mengapa? Bagi Heidegger, pemikiran Husserl masih berorientasi pada kesadaran
itu sendiri. Heidegger melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari persoalan
relasi kesadaran dengan realitas, yakni keber-ada-an.
Dengan bantuan fenomenologi[3],
Heidegger berupaya menggarap permasalahan ini. Dalam Being and Time (buku utama Heidegger), penggunanan fenomenologi
justru menjadikan karyanya tersebut bersifat hermeneutis[4].
Dengan kata lain, Heidegger berupaya melihat seluruh perkembangan sejarah pemikiran filosofis dalam kerangka
hermeneutis. Hal ini terutama menyangkut tema Ada yang merupakan persoalan
utama Heidegger. Karena itu, ontologi harus menjadi fenomenologi tentang Ada.
Selanjutnya, fenomenologi harus menjadi hermeneutika mengenai eksistensi.
Eksistensi di sini merujuk pada eksistensi manusia lantaran hanya manusia yang
dapat mempertanyakan adanya sehingga dapat membuka ruang (kemungkinan) untuk
memahami Ada. Pada poin ini, eksistensi manusia diistilahkan Heidegger dengan
Dasein yang artinya ada (Sein) di sana (Da).
Tidak digunakannya konsep manusia (human
being, man), menurut Heidegger, lantaran konsep tersebut kerap dipahami
sebagai yang sudah jadi, selesai, statis dan dalam arti tertentu cenderung
dilihat sebagai objek (dalam relasinya dengan subjek). Karena itu, terminologi
‘di sana’ hendak menunjukkan suatu proses menjadi, dinamis yang hanya selesai
ketika Dasein mati. Tapi, bagaimana Dasein dapat mengenal dirinya sebagai
demikian? Untuk menjawab ini perlulah memahami apa yang dimaksud Heidegger
dengan dunia. Bagi Heidegger, Dasein haruslah dipahami sebagai berada-dalam-dunia.
Dunia dalam pemahaman Heidegger bukanlah berada dalam pengertian objek.
Artinya, dengan meneliti dunia, kita dapat menghasilkan pemahaman mengenai diri
kita sendiri. Misal, seorang ilmuwan yang mencari data bagi kepentingannya.
Ilmuwan ini dalam usahanya mencari data justru memisahkan diri dengan apa yang
hendak dicari itu. Bahkan tanpa disadari juga kerap ilmuwan menetapkan
kategori-kategori pemikiran atas apa yang diteliti. Karena itu, hasilnya justru
tanpa disadari sudah berada dalam kerangka kesadaran si ilmuwan. Inilah yang
kemudian menjadi kritik terhadap nilai kesahihan dari pengetahuan yang
dihasilkan. Dengan kata lain, dapat ditanyakan, apakah ilmu sungguh-sungguh
bebas nilai (nilai kepentingan, kekuasaan, subjek si peneliti, dan sebagainya).
Dunia adalah tempat Dasein mengada,
tempat penyingkapan Dasein (pengungkapan Ada itu sendiri). Dasein tanpa dunia
adalah tidak mungkin sebab Dasein tidak akan pernah dapat melihat dan memahami
entias-entitas lainnya (seperti benda-benda, manusia lainnya) juga dirinya
lepas dari dunia ini. Lebih lanjut, penggunaan tanda hubung (-), menegaskan
ketakterpisahan Dasein dengan dunia. Dari poin tersebut dapat dimengerti bahwa
bagi Heidegger kesadaran bukanlah semata kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran
pada dasarnya adalah kesadaran dalam atau sebagai sesuatu. Maksudnya, kita
tidak sekedar menyadari sesuatu melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran
kita.
[1] Dalam perjalanan
selanjutnya, Ricoeur akan mengatakan bahwa karena kesadaran adalah kesadaran
akan sesuatu, maka bahasa adalah bahasa mengenai sesuatu. Pemahaman ini
menghantar Ricoeur pada analisanya mengenai diskursus di mana peristiwa dan
makna terkandung di dalamnya dan bersamaan dengan itu siapa subjek dari
diskursus akan diulas olehnya juga. Lih. Ricoeur. The Hermeneutical Function of Distanciation dalam majalah
Philosophy Today (1973).
[2] Dalam kata
pengantarnya terhadap fenomenologi Husserl. Lih. Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception. Colin
Smuth (terj.). London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1962.
[3] Lih. Richard E
Palmer. Hermeneutics. Hal. 128-132.
[4] Secara khusus dapat
dilihat pada Being & Time, bag. 8 yang
berbicara mengenai metode investigasi fenomenologis. Hal. 49-63.