PENGANTAR HERMENEUTIK
I. Pendahuluan
Pengertian
Hermeneutik berasal dari kata
“Hermeneutics (Inggris), dan kata ini berasal dari “hermeneuo” (Yunani). Arti
kata ini adalah menginterpretasi, menjelaskan, atau menterjemahkan. Kata ini
berhubungan dengan cerita mitos Yunani yaitu dewa Hermes yang bertugas sebagai
penyambung berita dari para dewa kepada manusia. Dengan demikian dari sejak semula
penggunaannya kata ini tidak dipakai untuk penafsiran Alkitab saja.
Secara umum arti kata ini
menunjukkkan penggunaannya pada peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk
mencari arti sesunguuhnya misalnya kesenian, sejarah, literatur, purbakala dan
penerjemahan. Bahkan dalam hidup sehari-hari untuk cara-cara tertentu kita
harus menfsirkan sesuatu untuk memahami apa yang dlihat dan didengar oleh
seseorang. Ketika kita mengendarai mobil dan di sebuah tikungan ada tanda “awas
ada lobang 200 meter!”, seseorang pasti langsung menafsir tanda itu. Apakah
rambu itu masih berlaku dan lupa dicabut, Apakah dalam jarak 200 ada lobang di
depan atau apakah ada lobang sepanjang 200 meter? Dll. Dalam mennetukan arti
yang sebenarnya dari rambu inilah yang bersangkutan harus mempergunakan metode
penafsiran.
Dalam dunia teologi kata
“hermeneutik” berarti menunjuk seluruh proses penafsiran yang membawa pembaca
modern mengerti akan berita yang disampaikan Alkitab. Hermeneutik tidak hanya
ternyata juga bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi juga adalah kesenian. Sebagai
ilmu pengetahuan hermeneutik menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari arti
yang sesungguhnya dari Alkitab, prinsip yang dipergunakan merupakan satu sistem
yang masuk akal, dapat diuji dan dipertahankan. Tetapi pada pihak lain sebagai
suatu kesenian hermeneutikpun harus menghasilkan sesuatu yang indah, harmonis,
bahkan pada kasus tertentu ia menuntut pendekatan yang berbeda dengan
pendekatan ilmiah.
Hal ini berarti bukan setiap orang yang menghafal
peraturan-peraturan hermeneutik, kemudian secara otomatis akan menjadi seorang
penafsir yang ulung. Seorang penafsir Alkitab yang baik memerlukan sesuatu
seperti rasa seni yang sanggup menyalami perasaan penulis, melihat keindahan
bahasa penulis dan merubah karya penafsirannya menjadi sesuatu yang indah
dibaca dan didengar.
Dengan demikian kesimpulannya
dari hermeneutik: Suatu bagian teologi yang bersifat ilmiah dan seni, yang memperhatikan
hukum tertentu bahkan melibatkan diri penafsir sepenuhnya, dengan tujuan mencari
maksud yang disampaikan oleh penulis Alkitab.
Penafsiran:
Kebutuhan yang Nyata
Orang awam sering berkata kepada
Pendeta, pengajar atau guru yang berhubungan dengan keprofesionalan bidang
Alkitab yaitu “Kita tidak perlu menafsir Alkitab tetapi baca saja dan lakukan”.
Menurut mereka Alkitab bukanlah buku yang tidak jelas artinya dan mereka
membantah bahwa sesungguhnya orang yang tidak punya kecerdasan otak sekalipun
dapat membaca dan memahaminya. Hal ini ada kebenarannya karena terlalu banyak
pendeta atau pengkhotbah terlalu banyak menggali sekitarnya sehingga
menegruhkan air yang ada. Apa yang sebenarnya jelas waktu dibaca dibuat mereka
menjadi tidak jelas.
Kita jelas percaya bahwa dengan
hanya membaca, percaya dan taat seharusnya memang Alkitab tidak menjadi buku
yang sulit dipahami kalau dipelajari dengan seksama. Masalah manusia yang
terutama bukanlah kesulitan memahami misalnya Filipi 2:14 “Lakukanlah segala
sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantah” bukanlah dalam
pengertiannya, tetapi dengan hal mentaatinya. Dari sisi yang lain tentu kita
menyetujui pandangan kaum awam tadi bahwa seringkali para pengkhotbah dan guru
Alkitab terlalu sering cenderung menggali dahulu baru kemudian melihat. Dengan
demikian jelas ia menutupi pengertian yang jelas dari teks itu, yang sering
justru terdapat di permukaannya.
Selanjutnya perlu juga dipahami
bahwa menafsirkan Alkitab bukanlah bertujuan untuk mencari sesuatu yang unik
yang sebelumnya belum pernah dilihat oleh orang manapun. Penafsiran yang bertujuan
demikian biasanya dapat dihubungkan dengan kesombongan untuk melebihi kemampuan
manusia yang lain. Maksudnya bukan mengatakan bahwa pemahaman yang tepat
mengenai suatu ayat Alkitab tidak akan nampak unik bagi seorang yang baru
mendengarnya untuk kali pertama. Akan tetapi maksudnya keunikan bukanlah tujuan
utama dari sebuah penafsiran.
Berarti secara sederhana dapat
diungkapkan tujuan penafsiran adalah: Menemukan pengertian yang jelas dari teks
itu. Dan faktor terpenting yang dapat disediakan untuk tugas itu adalah pikiran
sehat yang sudah diterangi Tuhan. Patokan untuk penafsiran yang baik adalah
ialah bahwa penafsiran itu membuat teks tersebut dapat dimnegerti dengan baik.
Oleh karena itu, penafsiran yang tepat akan melagakan pikiran dan sekaligus
menempelak atau menneguhkan hati.
Namun kalau hanya bertujuan
memperjelas arti teks mengapa harus menafsir? Apakah tidak cukup jelas kalau
hanya dengan membaca saja? Dalam satu sisi hal ini memang benar, tetapi dalam
arti yang tepat alasan itu kurang realaistis karena dua faktor yaitu: Sifat si
pembaca dan sifat Firman Tuhan
1. Sifat Pembaca:
Sebagai Penafsir
Mau atau tidak mau, suka atau tidak seorang
pembaca pada waktu yang sama juga adalah seorang penafsir. Untuk alasan inilah
diperlukan usaha menafsir ketika seseorang membaca Alkitab. Pada waktu
seseorang membaca tentu saja ia mengharapkan memahami apa yang sedang
dibacanya. Dengan demikian kita juga cenderung ketika membaca Alkitab kita
berfikir bahwa pengertian kita sama dengan maksud Roh atau maksud pengarang
mula-mula Alkitab. Namun masalah datang segera karena ternyata kita menghayati
suatu teks sesuai dengan keadaan kita, pengalaman kita, budaya kita, gagasan
kata-kata yang telah kita miliki sebelumnya. Jelas saja penghayatan yang
demikian tanpa disengaja akan menyesatkanatau menyebabkan kita
menginterpretasi bermacam-macam gagasan
yang sebenarnya tidak terdapat dalam teks itu.
Kebanyakan orang Kristen
sekarang ketika membaca teks tentang jemaat yang beribadah, secara otomatis
membayangkan orang-orang dalam gedung duduk di bangku gereja yang sama seperti
milik gereja mereka sendiri. Kata yang lain seperti “keinginan tubuh” bisa
langsung diartikan sebagai tubuh yaitu tubuh jasmani, tetapi sebenarnya tubh di
sana artinya adalah masalah rohani yaitu tabiat berdosa, dll. Itulah sebabnya,
tanpa bermaksud demikian, pembaca sedang menafsirkan sementara ia membaca, dan
sayang sekali terlalu sering seseorang menafsirkan secara tidak tepat.
Sehingga jelas sekarang bahwa
bagaimanapun juga pembaca Alkitab sudah terlibat dalam penafsiran. Karena
terjemahan Alkitab bahasa apapun sudah merupakan suatu bentuk penafsiran. Apapun
terjemahan yang dipakai, yang merupakan titik permulaan bagi diri seseorang,
sebenarnya merupakan hasil akhir dari banyak karya ilmiah. Para penerjemah
biasanya diminta untuk mengadakan pilihan tentan arti dan pilihan mereka itu
akan mempengaruhi pengertian kita. Oleh karena itu, penerjemah yang baik
mempertimbangkan masalah perbedaan bahasa kita.
Perbedaan-perbedaan arti dalam
gereja Kristen sekarang ini pun jadi berbeda misalnya ada yang percaya baptisan
kanak-kanak tetapi sebagian lain lagi tidak. Sebagian gereja percaya baptisan
selam tetapi sebagian lain percaya baptisan percik, sebagian gereja mengizinkan
wanita untuk naik mimbar tetapi sebagian lainnya tidak. Masing-masing teks
diangkat untuk mendukung pandangan mereka. Bagaimanakah hal ini bisa terjadi?,
jelas karena semua pembaca Alkitab pada saat yang sama juga menjadi seorang
penafsir. Apa yang gamblang dari teks tidak semuanya gamblang bagi para
pembaca.
Selain perbedaan yang muncul di
kalangan Kristen, ternyata perbedaan yang tajam ditunjukkan oleh para bidat
yaitu selain patuh pada Alkitab ternyata juga patuh pada kekuasaan /otoritas
yang lain. Dalam hal ini mereka membengkokkan kebenaran melalui cara mereka
memilih ayat-ayat dari Alkitab sendiri, misalnya Saksi Yehovah yang menyangkal
keilahian Kristus, Pembabtisan orang mati oleh Mormon, Penggunaan ular dalam
ibadah oleh kelompok Appalachian, menegaskan bahwa ajaran mereka “didukung”
oleh ayat Alkitab.
Dengan adanya keanekaragaman
ini, baik di dalam maupun di luar gereja, dan semua perbedaan di antara semua
ahli sekalipun, yang seharusnya mengetahui “ketentuan-ketentuan” itu, tidaklah
mengherankan jika ada orang yang menganjurkan supaya tidak ada penafsiran, hanyalah
membaca. Tetapi sebagaimana yang terlihat, hal itu adalah pilihan yang keliru.
Pencegah pada penafsiran yang buruk bukanlah tidak ada penafsiran, melainkan
penafsiran yang baik, didasarkan pada pedoman pikiran sehat.
2. Sifat Firman
Tuhan: Manusiawi dan Ilahi
Alasan terpenting untuk
kebutuhan menafsir terletak dalam sifat Firman Tuhan itu sendiri yaitu
manusiawi dan ilahi. Alkitab adalah Firman Allah yang diberikan di dalam bahasa
manusia dalam sejarah. Sifat rangkap inilah yang menuntut kita melakukan
penafsiran.
Karena Alkitab adalah Firman
Allah, maka ia selalu relevan, yaitu Alkitab berbicara kepada seluruh umat
manusia, dalam segala zaman dan dalam segala kebudayaan. Oleh karena Alkitab
itu adalah Firman Allah, maka harus didengarkan dan ditaati. Akan tetapi karena
Allah memilih untuk mengucapkan firman-Nya melalui bahasa manusia dalam
sejarah, maka setiap buku dalam Alkitab juga memiliki keistimewaan historis.
Setiap dokumen dibatasi oleh bahasa, waktu dan kebudayaan di mana dokumen itu
pada mulanya ditulis. Penafsiran Alkitab dibutuhkan karena “ketegangan” yang
ada di antara relevansi kekekalan dengan keistimewaan historisnya.
Tentu saja ada orang tertentu
yang melihat Alkitab hanyalah sebuah buku karangan manusia saja, dan bagi orang
semacam ini penyelidikan Alkitab dibatasi dari sisi historisnya saja. Minat
mereka adalah pada gagasan-gagasan agama Yahudi, Yesus atau gereja mula-mula.
Itulah sebabnya tugas itu hanyalah tugas historis semata-mata. Sebaliknya ada
orang yang berfikir mengenai Alkitab dari sisi relevansi kekekalannya saja,
maka mereka cenderung memikirkan hanyalah sekumpulan dasar pikiran yang harus
diyakini dan perintah-perintah yang harus ditaati (walalupun mereka memilih
dengan teliti diantara berbagai dasar dan perintah itu). Contohnya Ul 22:5
“seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki” didesak secara
harafiah. Tetapi mengabaikan hal yang lain secara harafiah seperti “jangan
menanam dua jenis benih di kebun anggur” (22:9).
Bagaimanapun juga Alkitab
bukanlah serangkaian dasar pikiran dan perintah. Alkitab bukanlah hanya
sekumpulan perintah dari Atas dari Pemimpin Agung untuk ditaati sampai detail
bahkan titik, koma. Bukan cara demikian Allah berbicara kepada manusia tetapi
Ia lebih suka mengutarakan kebenaran-kebenaran-Nya yang kekal di dalam keadaan
dan peristiwa khusus dalam sejarah manusia. Ini juga tentunya yang memberikan
pengharapan kepada kita. Justru karena Allah memilih untuk berbicara dengan
lingkup sejarah manusia yang nyata, kita dapat meyakini bahwa perkataan yang
sama ini akan berbicara berulang-ulang dalam sejarah kita sendiri yang “nyata”
sebagaimana yang terjadi sepanjang sejarah manusia. Mengingat faktor kedua ini
mengapa kita perlu penafsiran?
- Ketika berbicara melalui orang-orang yang nyata,
dalam berbagai keadaan, selama lebih 1500 tahun, Firman Tuhan diungkapkan
dalam pola kosa kata dan pikiran orang-orang itu dan dibatasi oleh
kebudayaan pada zaman dan keadaan itu. Artinya firman Allah kepada kiat,
pertama-tama adalah firman-Nya kepada mereka. Jika mereka akan
mendengarkan firman Allah, itu hanya bisa terjadi melalui
peristiwa-peristiwa dan dalam bahasa yang dapat mereka mengerti. Masalah
kita adalah bahwa zaman mereka begitu jauh dengan zaman kita, dan kadang-kadang
pikiran merekapun sangat jauh dengan pikiran kita.
- Segi penting lain dari penafsiran adalah sisi
manusiawi Alkitab ialah bahwa untuk menyampaikan firman-Nya kepada semua keadaan
manusia. Allah memilih untuk menggunakan hampir setiap macam komunikasi
yang ada: cerita sejarah, silsilah keturunan, macam-macam hukum, aneka
jenis syair, nubuat, teka-teki, drama, riwayat hidup, perumpamaan,
khotbah, wahyu. Untuk menafsirkan dengan benar teks Alkitab “pada waktu
itu” kita tidak hanya harus mengakui beberapa kaidah umum yang berlaku
untuk semua perkataan Alkitab, tetapi mengerti secara khusus mengapa
memakai gaya-gaya itu, sehingga bermanfaat secara benar bagi kita sekarang
II. Pentingnya
Hermeneutik
Hermeneutik adalah ilmu
penafsiran, penafsiran dalam hal ini adalah Alkitab. Dengan demikian terlihat
pentingnya hermeneutik yang dihubungkan langsung dengan Alkitab. Maka
hermeneutik berhubungan erat dengan Alkkitab, sehingga perlu diketahui
pentingnya hermeneutik yang berhungan erat dengan Alkitab tadi
1. Firman Allah
yang menyelamatkan manusia
Hermeneutik sebagai upaya dari
penafsiran yang berhubungan dengan
Alkitab karena firman Allah yang menyelamatkan manusia. Dalam Roma 10:13-14
dituliskan: “Barangsiapa berseru kepada Tuhan akan diselamatkan, tetapi
bagaimana seseorang bisa menyerukan nama Tuhan jika mereka tidak percaya, dan
bagaimana bisa percaya jika tidak mendengar tentang Tuhan, dan bagaimana bisa
mendengar tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya?
Maka secara langsung dapat
diketahui yaitu pemberitaan firman akan terjadi jika ada penyelidikan terhadap
Alkitab terelebih dahulu, dengan demikian dibutuhkan penafsiran atau
hermeneutik. Mengapa penafsiran dibutuhkan? Jelas sekali yaitu supaya firman
itu dipahami secara benar dan secara tepat. Dengan penafsiran yang tepat maka
seseorang akan memahami Allah baik pribadi-Nya maupun karya-Nya.
Dengan mengenal Allah secara
benar melalui pemahaman Alkitab yang benar sudah tentu dimungkinkan seseorang
dikaruniai iman yang olehnya dia dapat diselamtakan. Dalam hal ini harga
matinya adalah melalui Roh Kudus yang turun kepada seseorang melalui firman
Allah datang ke hatinya.Tanpa gerakan Roh Kudus dan firman Allah yang
menghasilkan iman keselamatan, manusia yang terhilang selamanya tidak dapat
mengenal keadaan diri mereka. Betapa hebatnya malapetakan akibat dosa dan
betapa hebatnya akibat kasih karunia hanya dapat dipahami seseorang dengan baik
melalui pemahaman yang benar dalam penafisran yang benar pula.
2. Firman Allah
sebagai makanan Rohani
Hermeneutik berhubungan dengan
Alkitab dan Alkitab atau firman Allah adalah sebagai makanan Rohani sebagai
kenyataannya. Yoh 6:63, 17:17 adalah fakta bahwa setiap pengikut Yesus
memerlukan makan rohani untuk menguatkan hidup kerohaniannya. Masalahnya sekarang
adalah sering orang mengabaikan kebutuhan rohani dan sangat mementingkan
pemenuhan kebutuhan jasmaninya, padahal kesehatan tubuh jasmani sangat
tergantung pada makanan jasmaninya dan hal yang sama juga pada kebutuhan rohani
seseorang.
Bukti yang dapat terlihat dari
fakta bahwa banyak orany yang kurang memperhatikan kebutuhan rohaninya adalah
banyak orang Kristen yang tidak rutin, tekun apalagi dengan teliti menyelidiki
firman Allah yaitu Alkitab sebagai upaya penafsiran.Padahal “kesehatan” hidup
rohani seorang Kristen berhubungan erat dengan kepentingan orang Kristen.
Serbab dengan kerohanian yang makin kuat dan dewasa, pada satu pihak orang
Kristen dapat menahan segala serangan, godaan, pukulan dari sijahat dan dunia.
Di lain pihak dapat menjalankan perintah dan kehendak Tuhan. Ini sangat
penting. Karena orang Kristen tidak hanya ditebus untuk hidup suci atau tidak
melakukan hal-hal yang kurang baik, tetapi orang Kristen juga ditetapkan untuk
melakukan kehendak Allah, hal-hal yang baik (Yoh 4:34).
Hanya dengan kerohanian yang
sehatlah, kehidupan orang Kristen dapat lebih bermakna dan produktif.
3. Firman Allah: petunjuk
Allah untuk hidup Kristen
Kehidupan etis sebagai sesuatu yang harus
dijalani semua orang baik orang percaya maupun yang tidak percaya. Kehidupan
etis ini berarti penuh dengan pilihan-pilihan dalam keputusan-keputusan. Namun
terdapat suatu perbedaan antara orang Kristen dan Non Kristen: Orang Kristen
dapat memperoleh petunjuk-petunjuk Tuhan melalui firman Allah. Firman Allah
menjadi pelita dan terang dalam perjalanan mereka (Mz 119:105). Mencari
kehendak Allah adalah hal yang sangat penting, sebab tanpa petunjuk Allah, kita
akan sering melakukan kesalahan, mendatangkan kerugian bagi diri kita dan orang
lain, dan tidak dapat dapat menjalankan rencana Allah.
Ini berarti kita tidak dapat
memperoleh bahagia, damai sejahtera dan berkat dari Allah. Bahkan ini juga
berarti kita menyakiti hati Allah. Sudah tentu tidak seorangpun ingin semua
terjadi. Untuk mencegah semuanya ini, orang Kristen harus setia menyelidiki
Alkitab.
4. Firman Allah: Senjata
rohani orang Kristen
Dalam kisah “Pencobaan Tuhan
Yesus” setelah berpuasa dan lapar (Mat 4:1-13) terlihat suatu kenyataan bahwa
iblispun sangat menguasai Alkitab. Tetapi tujuan dari iblis memakai Alkitab
adalah hendak menjatuhkan Tuhan Yesus. Hal yang sama juga terjadi dalam hidup
orang percaya segala zaman termasuk zaman sekarang ini.
Si jahat dalam hal ini
menjatuhkan orang percaya dengan pelbagai cara, dan salah satu diantaranya
adalah dengan menyalahtafsirkan Alkitab. Dengan demikian tidaklah mengherankan,
jika pada setiap zaman pengikut Kristus selalu berhadapan dengan begitu banyak
pengajaran bidat, yang katanya juga berdasarkan Alkitab. Selain ini seorang
Kristenpun diserang oleh iblis dengan pelbagai godaan dan dosa. Ditambah orang
Kristen juga harus menghadapi si Aku yang lama dan godaan dari dunia.
Jadi demi melawan segala
serangan iblis, demi membedakan pengajaran yang benar dan salah, demi menolak
bermacam godaan, orang Kristen harus berpegang teguh pada firman Allah, senjata
rohani mereka (Ibr 4:12, Ef 6:12,17).
5. Firman Allah:
Dasar teologi
Alkitab tidaklah sistematis,
sehingga dibutuhkan usaha mensistematiskan Alkitab segabai dasar iman
kepercayaan yang mudah dipahami dan dipertahankan. Hasil dari penyusunan secara
sistematik ini adalah teologi. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa tidak semua
orang Kristen memiliki teologi yang persisi sama. Berdasarkan kebutuhan zaman
dan latar belakang yang berbeda , terutama penafsiran yang berlainan, gereja
telah menghasilkan teologi-teologi yang berbeda. Dengan demikian orang yang
berada di luar dan di dalam gereja gereja, menemui suatu kesulitan besar untuk
menentukan mana teologi yang benar atau lebih tepat mana teologi yang
berdasarkan firman Allah.
Dengan kenyataan ini tidak
mengherankan pada akhirnya ada pemimpin gereja yang berpendapat bahwa
perselisihan dan perbedaan teologi adalah perselisihan dan perdebatan
penafsiran Alkitab. Jadi jelaslah jika ingin menjadi seorang Kristen yang baik,
mau tidak mau kita harus dengan aktif dan teliti menafsirkan Alkitab.
Penafsiran yang tepat terhadap Alkitab menjadi dasar untuk membangun teologi,
bukan sebaliknya. Tugas ini akan terlihat makin penting pada saat oknum-oknum
tertentu mencoba memutarbalikkan Firman Allah dengan sengaja atau tidak
sengaja.
6. Firman Allah:
Dasar pengajaran dan khotbah
Dalam hal ini setiap pekerja
Tuhan, bahkan semua orang percaya yang mencintai Tuhan dan pekerjaan-Nya dengan
segenap hati, perlu menguasai hermeneutik, karena hermeneutik membantu
menafsirkan arti sesungguhnya dari Alkitab. Hal ini memungkinkan pemberian
pengajaran yang murni dalam jemaat Allah. Pastilah semua orang percaya setuju
bahwa pelayanan dengan penafsiran yang murni ini sangat diperlukan.
Diharapkan melalui pengajaran
sedemikian jemaat dapat maju dalam kebutuahn moral, rohani dan pelayanan. Dan
pada suatu hari jemaat akan bertumbuh menjadi bait Allah yang kudus (Ef
2:19-22), tempat manusia bertemu dengan Allah dan juga tempat Allah menyatakan
kemuliaan-Nya kepada manusia
7. Firman Allah:
Dasar pengharapan Kristen
Jemaat mula-mula terkenal karena
pola hidup mereka yang berbeda dengan perilaku hidup masyarakat secara umum
zaman itu. Perbedaan prilaku hidup itu selain mendapat sorotan dengan upaya
menyindir ternyata lebih jauh dari itu mereka juga dianiaya baik secara
lokal/insidentil sampai secara global/sistematis yang dikoordinasi oleh
pemerintah saat itu. Dalam 1Pet 1:6,7 mereka disamakan dengan emas yang diuji
oleh api.
Bukan saja demikian, sama dengan
orang lain, orang Kristen juga diancam oleh kesulitan hidup, problema dalam
pelayanan bahkan bayang-bayang maut. Jadi bagaimana orang Kristen dapat
bertahan dalam penganiayaan? Bagaimana orang Kristen dapat bersyukur menghadapi
tantangan dalam pelayanan dan menghadapi maut? Jawabannya sederhana yaitu
mereka percaya akan janji dan berkat yang diberikan oleh Allah dalam Alkitab.
Sehingga iman kepercayaan ini membangkitkan pengharapan yang tidak akan padam,
pengharapan akan kebangkitan yang mulia dan bagian di surga yang tidak dapat
binasa (I Pet 1:3-4)
8. Firman Allah:
Buku yang paling terkenal
Alkitab dicetak dalam jumlah
yang sangat besar dari tahun ke tahun, dalam berbagai bahasa dan
didistribusikan ke hampir setiap pelosok dunia. Tahun 1980 saja Alkitab telah
diterjemahkan ke dalam 1668 bahasa, dan dicetak sebanyak 36 juta jilid. Dalam
sejarah manusia, Alkitab sudah membuktikan pengaruhnya yang tidak terhitung
banyaknya.
Tetapi kenyataan di samping itu
adalah ada banyak juga pihak lain yang tidak senang dengan Alkitab. Mereka
sebagian berpandangan bahwa Alkitab itu penuh dengan kumpulan mitos, yang
dianggap sebagai penghalang kemajuan manusia itu sendiri. Ada juga yang
berpandangan bahwa Alkitab telah dipakai sebagai senjata kolonialis, ada juga
yang memandangnya sebagai kumpulan cerita yang tidak praktis, kurang bermnoral
dsb.
Menghadapi dua pandangan yang
sangat berbeda ini, adalah merupakan kewajiban setiap orang Kristen untuk
berbicara tentang kebenaran. Tetapi perlu tetap diingat tugas ini tidaklah
mudah namun harus dilakukan. Untuk meyakinkan mereka yang menganggap Alkitab
itu baikdan memeberi penjelasan yang memadai kepada mereka yang menganggap
Alkitab itu jelek, orang Kristen sendiri harus terlebih dahulu menguasai isi
Alkitab. Disinilah terlihat kepentingan hermeneutik
9. Firman Allah:
Kitab yang sulit dimengerti
Firman Allah adalah perkataan
Allah yang sempurna yang disampaikan kepada manusia yang tidak sempurna.
Perbedaan ini jelas membuat banyak sekali jurang pemisah yang olehnya terjadi
banyak kesulitan pemahaman dari pesan ke pada penerima pesan. Alkitab sulit
dimengerti, bukan saja karena ia adalah sebuah kitab suci, tetapi di dalamnya
terdapat banyak faktor yang menyebabkan ia memang sulit dimengerti. Contoh
sederhana adalah masalah penggunaaan bahasa kuno zaman itu yang harus dipahami
oleh bahasa modern zaman kini.
Selanjutnya pengalaman,
kebudayaan, cara berkomunikasi dari pengarang-pengarang Alkitabpun sangat
berbeda dengan kita sekarang ini. Pembaca-pembaca Alkitab hari ini, pada
dasarnya adalah pihak ketiga, bukan pembaca atau pendengar secara langsung dari
penulis Alkitab. Ditambah lagi hari ini kita tidak memiliki naskah-naskah asli
yang ditulis oleh pengarang-pengarang Alkitabm, dan jangan lupa jarak antara
kitab Wahyu (kitab yang termuda) dengan kita sekarang ini hampir 2000 tahun
Dengan
pertimabangan-pertimbangan ini serta kesulitan-kesulitan yang segera terlihat
jelas penafsiran bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Walaupun demikian orang
Kristen tidak perlu merasa kecil hati, sebab jika Allah berkehendak
menyampaikan isi hati-Nya melalui Alkitab, maka Allah yang baik itu pasti
bersedia menolong mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh karena kecintaan
pada sabda-Nya itu.
III. Syarat-Syarat
Seorang Penafsir
Keyakinan dasar
orang Kristen seharusnya adalah bahwa semua orang percaya berhak mambaca dan
menafsirkan Alkitab. Namun perlu diperhatikan bahwa seorang penafsir yang baik
adalah seorang seorang yang sudah memperoleh persiapan yang memadai. Dengan
demikian ada suatu keuntungan lebih dalam hal ini yaitu masalah pendidikan
teologi yang cukup baik, sehingga ia dapat membaca dengan lancar bahkan
menguasai bebarapa bahasa asing. Bahkan ia juga akan lebih mudah mengerti isi
Alkitab jika ia sudah memiliki pengetahuan dasar tentang bahasa-bahasa yang
dipakai oleh pengarang-pengarang Alkitab.
Harus diakui pula untuk
mempelajari dan memahami bahasa asli itu tidaklah perkara yang mudah. Namun
tidak berarti bagi mereka yang tidak berkesempatan mempelajarai bahasa aslinya
tidak dapat mengerti Alkitab. Dan perlu dipahami juga bahwa mereka yang
mengerti bahasa aslipun bukan berarti mereka pasti lebih mengerti Alkitab. Yang
jelas pengetahuan bahasa asli walaupun hanya dasar-dasar saja sangat menolong
upaya penafsiran.
Selain bahasa, pengetahuan yang
lain juga diperlukan dalam penafsiran sepeerti sejarah, adat-istiadat, alam
pikiran penulis, geografis, daerah dan zaman Alkitab juga perlu. Secara mental
dan intelek seorang penafsir harus adalah seorang yang sehat, dapat berfikir
dengan jelas, teratur bahkan sedikit “berfantasi”. Selain itu diharapkan juga
ia seorang yang bersikap obyektif, terbuka, jangan membatasi diri pada
pandangan teologi belaka.
Di samping semua itu yang tidak
boleh dilupakan adalah pengalaman dan pertumbuhan kerohanian seseorang juga
mengambil peranan yang sangat penting. Banyak kebenaran Alkitab yang tidak
dapat dijelaskan sekarang, mungkin suatu hari nanti seiring pertambahan
pengatahuan dan kerohanian seorang penafsir menjadi lebih jelas dan konkrit.
Penafsiran berhubungan erat dengan kesusasteraan, sehingga seorang penafsir
yang ideal adalah seorang yang tertarik kepada pengetahuan dasar tentang
kesusasteraan.
Dengan demikian seorang penafsir
yang baik adalah seorang yang senang membaca dan sensitif terhadap apa yang ia
baca. Selain syarat-syarat ini, masih terdapat yang lain yang perlu dibicarakan
secara khusus.
1. Sudah lahir
baru
Tentu saja seorang yang belum
lahir baru juga dapat mengerti arti kata-kata Alkitab, tetapi ini tidak berarti
ia sudah mengerti Alkitab. Bagi orang yang belum lahir baru segala sesuatu yang
bersifat rohani adalah kebodohan karena tidak masuk akal baginya (I Kor 2:14).
Penyebabnya jelas karena perhatian utama seorang yang belum lahir baru adalah
hal-hal duniawi, kepentingan pribadi dan selalu menghakimi Firman Allah dengan
pikiran yang sempit.
Contoh sederhana dalam hal ini
adalah Paulus sebelum diterangi Yesus, ia merasa sudah paham Alkitab dan Yesus
Kristus, tetapi barulah setelah lahir baru ia memahami firman Tuhan dalam arti yang
sesungguhnya, dan mengenal siapakah sebenarnya Tuhan Yesus. Hal ini tidak
berarti pendidikan Paulus tidak penting. Yang dimaksud di sini adalah sebelum
lahir baru, mata rohani seseorang belum terbuka untuk melihat kebenaran Allah.
2. Memiliki sikap
dan motivasi yang benar
Kedua kenyataan ini kalau
dimiliki oleh seorang penafsir maka ia akan dapat berkat dari padanya, namun
sebaliknya terjadi jika motivasi dan sikap yang tidak benar dalam menafsir.
Dengan demikian beberapa sikap ini hendaknya dimiliki seorang penafsir antara
lain:
a. Rindu firman
Allah (Mz 119:103)
Jika seseorang mencintai Allah, pasti orang itu mencintai firman-Nya.
Kemudian jika penyelidikan firman tidak didasari dengan suatu kerinduan yang
sungguh-sungguh terhadap firman, maka pekerjaan itu pastilah membosankan dan
tidak mendatangkan berkat. Kerinduan yang sedemikian digambarkan Yesus dalam
Mat 5:6 yaitu sebagai orang yang sedang lapar dan haus akan kebenaran. Ini
merupakan suatu keinginan naluri yang kuat, yang tidak dapat diabaikan begitu
saja. Jika seseorang datang kepada firman Allah dengan kerinduan demikian,
pasti ia akan dipuaskan
b. Sikap seorang
murid (Yes 50:4)
Karena seorang murid adalah
seorang yang sedang belajar, maka seorang murid yang baik adalah seorang yang
bersedia mengakui kekuranganyya dalam banyak hal terutama dalam firman.
Kesediaan mengakui kekurangan inilah yang menyiapkan hati yang bersedia untuk
terus belajar dengan rendah hati. Seorang murid dalam hal ini harus bersedia
membayar harga dalam penuntutannya menuju kebenaran Allah.
Seorang murid yang memiliki
sikap demikian pasti diberkati Allah. Gambaran seperti ini tampak dalam diri
para nabi PL maupun para Rasul di PB yang ketika firman Tuhan datang kepada
mereka, mereka tidak menolak atau membantah, tetapi dengan rendah hati menerima
firman Allah. Jelas , kadang-kadang firman Allah ini tidak enak diterima dan
sulit untuk dijalankan, tetapi sebagai seorang murid dan hamba Tuhan, mereka
bersedia berkorban untuknya. Sikap demikian juga hartus dimiliki oleh orang
yang ingin belajar Alkitab.
c.Memiliki iman
(Ibr 11:6)
Keyakinan mutlak
yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin menafsir Alkitab adalah bahwa
Alkitab adalah firman Tuhan yang tidak bersalah. Walaupn dalam Alkitab terdapat
mujizat-mujizat, ayat-ayat yang sulit dimengerti, tetapi bagi orang yang
beriman, yang percaya pada kebijaksanaan Allahsemua ini tidaklah menjadi soal.
Pembaca Alkitab sebaiknya diingatkan kembali bahwa manusia adalah ciptaan Allah
yang berkemampuan terbatas.
Kemampuan seorang manusia
akan bertambah dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalamannya. Tetapi
bagaimanapun juga manusia adalah tetap ciptaan Allah yang terbatas
kemampuannya. Jika terdapat orang yang ingin mengandalkan kemampuannya yang
sangat terbatas untuk menghakimi firman Tuhan, itu jelas suatu usaha yang pasti
akan gagal. Adalah lebih bijaksana bagi pembaca Alkitab bersikap percaya kepada
firman Allah, dan menantikan pertolongan dari Allah, yang diberi oleh-Nya pada
waktu yang ditentukan, untuk mengerti firman-Nya.
d. Sikap rajin dan
teliti (Kis 17:11)
Seorang awam yang rajin membaca
Alkitab dan teliti dalam penyelidikannya mungkin akan lebih mengerti firman
Allah daripada seorang teolog yang tidak memperhatikan Alkitab. Dengan demikian
dapat dikatakan tidak ada jalan pendek/pintas bagi anak-anak Tuhan. Dalam hal
ini harus bersedia meluangkan waktu , mencari tempat yang tenang dan membaca
firman dengan tekun dan teliti. Seorang
murid yang malas belajar sudah tentu tidak sanggup mengiktui ujian dengn baik.
Seorang pekerja yang malas bekerja tentu tidak akan memperoleh hasil yang
menggembirakan. Begitu juga para penafsir Alkitab, jika mereka ingin mengerti
firman Allah, sikap yang harus dimiliki oelh mereka adalah tekun dan teliti
e. Memiliki tekad
menjalankan firman Allah (Mat 7:24-25; Yak 1:22)
Tekad untuk menjalankan firman
Tuhan adalah sangat penting. Sebab tanpa tekad demikian orang Kristen bagaikan
orang yang membangun fondasi rumahnya di atas pasir, tidak sebaliknya orang
bijaksana yang melakukan firman yang mendirikan rumahnya di atas batu karang
(Mat 7:24-27). Akibat dari ini fatal yaitu sekalipun rumah kelihatan indah dan
megah, tetapi jika hujan, badai, angin datang menerpa akan langsung roboh.
Tanpa menjalankan firman Tuhan, firman itu merupakan pengetahuan yang abstrak,
teori yang tidak berfungsi. Sebaliknya firman Tuhan akan menjadi hidup,
berarti, bermanfaat, jika pembacsanya bersedia menjalankannya. Seorang yang
bersedia menjalankan firman Allah, ia juga akan diberikan penerangan yang baru
dari Allah.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyak
pengkhotbah yang walaupun sering berkhotbah tetapi tidak akan kehabisan
penerangan dari Allah. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, mereka bukan saja
menyampaikan kebenaran Allah tetapi juga menjalankannya. Dengan demikian firman
Allah bagaikan mata air yang hidup, yang terus mengalir tiada henti.
3. Mohon
penerangan dari Roh Kudus (Yoh 16:13)
Alkitab bukan suatu buku manusia
yang biasa, melainkan firman yang diilhamkan oleh Allah. Jadi Roh Kudus adalah
Pengarang yang sesungguhnya dari Alkitab, yang bekerja dalam hati
penulis-penulis Alkitab. Jadi untuk mengerti firman Tuhan, seorang penafsir
harus dengan rendah hati datang kepada Roh Kebenaran dan mohon pertolongan
daripada-Nya. Sudah tentu ini bukan pelajaran mudah, sebab orang Kristen sering
lebih senang bersandar pada diri sendiri dari pada Roh Kudus. Sehingga kita
tidak perlu heran, jika banyak orang Kristen yang menamakan diri mereka
bijaksana, justru tidak dapat menerima barkat dan kuasa dari firman Allah
IV. Metode-Metode
Penafsiran
Tujuan pokok
penafsiran harus diketahui secara jelas oleh orang yang menaruh minat pada usaha ini. Tujuannya sederhana
sekali yaitu menemukan arti yang dimaksudkan oleh sang penulis pada saat dia
menulis. Dalam perjalanan waktu ternyata para penafsir sudah mengembangkan
beberapa metode yang dipakai dalam upaya ini. Metode-metode tersebut sebetulnya
berawal dari berbagai cara pendekatan yang berbeda terhadap penafsiran kitab
suci.
Ketika cara-cara tersebut
dikembangkan, cara-cara itu menjadi aneka sistem penafsiran yang luas, dengan
masing-masing memiliki perangkat aturannya sendiri. Sebagai metode,
masing-masing juga mencakup kelompok prinsip khususnya sendiri-sendiri.
Berbagai metode tersebut antara lain:
1. Metode Alegoris
a. Asal mula
Metode ini dimulai
dari penyatuan antara agama dan filsafat Yunani. Dengan munculnya filsafat,
orang Yunani mulai menyadari bahwa mereka tidak mungkin menafsirkan
tulisan-tulisan agama mereka secara harfiah dan tetap berpegang pada filsafat
mereka. Jika kedua-duanya diambil secara harfiah, maka keduanya akan
bertentangan. Karena kesetiaan baru mereka kepada filsafat, maka untuk membuat
agar agama dan filsafat mereka tidak berbenturan mereka harus menyimpulkan
bahwa tulisan-tulisan keagamaan mempunyai arti agak lain daripada arti
harafiahnya. Metode yang mereka ciptakan untuk maksud tersebut adalah
alegorisme.
b. Definisi
Metode ini
beranggapan bahwa di balik arti yang jelas dan nyata dari kitab suci terdapat
artinya yang sebenarnya. Metode ini yakin bahwa apa yang secara harfiah
dikatakan oleh kitab suci hanya merupakan “kulit” luar yang menyembunyikan
“hal” rohani yang sesungguhnya dari firman. Dalam membuat alegori, sebuah nas
dengan arti harfiah yang jelas ditafsirkan dengan memakai perbandingan pokok
demi pokok , yang memunculkan suatu arti rohani yang tersembunyai yang tidak
jelas dalam bahasa biasa dari nas tersebut. Contoh: Penafsiran kitab Ayub
dikatakan: “Ketiga sahabat Ayub itu merupakan bidat atau orang sesat, ketujuh
anaknya adalah ketujuh rasul, ketujuhribu dombanya adalah umat Allah yang
setia, dan tiga ribu unta dengan punggung berponok ini adalah bangsa-bangsa
non-Yahudi yang bejat akhlaknya” (oleh: Paus Gregory Agung).
c. Evaluasi
Dalam perjalanan
waktu terbukti bahwa metode penafsiran ini tidak memadai. Kesalahan metode ini
bermula pada asumsi dasarnya yaitu bahwa apa yang difirmankan Allah dengan
bahasa yang jelas bukanlah apa yang benar-benar Ia maksudkan. Metode ini
berbahaya karena tidak ada batasan alkitabiah untuk memandu pelaksanaannya. Ini
pasti mengundang pertentangan dan perdebatan antara penganut metode ini.
Melalui metode ini, kitab suci ditafsirkan terlepas dari pengertiannya
berdasarkan sejarah dan gramatika. Apa yang disampaikan secara jelas oleh
penulis pertama kalinya secara nyaris diabaikan dan yang dikedepankan adalah
apa yang penafsir ingin sampaikan.Alegorisme mengaburkan baik unsur harafiah
maupun unsur kiasan dalam kitab suci. Dengan mengutamakan maksud penafsir dan
mengabaikan maksud penulis pertama kalinya jelas metode ini gagal untuk
mencapai tujuan pokok penafsiran.
2. Metode Mistis
a. Asal-usul
Metode ini hampir
sama dengan metode alegoris. Asal-usul metode mistis bisa ditelusuri asalnya
dari metode eksegesa Hagadis yang dikembangkan oleh orang-orang Yahudi Palestina
pada masa intertestamental. Metode ini meliputi baik penafsiran secara alegoris
maupun secara mistis atas Perjanjian Lama. Karena terlalu besar keinginan untuk
menerapkan kitab suci dalam kehidupan orang-orang, para penafsir salah mengira
penerapan itu sebagai penafsiran dan mereka menafsirkan ke dalam arti kitab
suci dengan tidak jelas.
b. Definisi
Metode ini
beranggapan bahwa di balik kata-kata dan penegrtiannya yang biasa itu
tersembunyi aneka ragam arti. Metode ini melangkah lebih jauh daripada metode
alegoris dengan membuka pintu bagi banyak ragam penafsiran. Dengan memakai
metode ini, suatu nas kitab suci dengan arti harfiah yang jelas dapat
ditafsirkan dengan sejumlah arti rohani yang tinggi. Karena mengaku ingin
mencapai bukan hanya yang tersurat, tetapi juga yang tersirat atau spirit dari
firman, maka fungsi dari metode ini juga disebut “spiritualisasi”. Sebagai
contoh penafsiran: “Jangan membunuh” (Kel 20:13), dituliskan: “Waktu memakai
tiga pengertian kitab suci pada perintah ini, ia mengatakan bahwa pengertian
lahiriahnya adalah bahwa membunuh, membenci dan mendendam dilarang; pengertian
rohaniahnya adalah bahwa melakukan kejahatan dan menghancurkan jiwa manusia
dilarang; lalu pengertian surgawinya adalah bahwa bagi para malaikat, membenci
Tuhan dan firman-Nya adalah sama dengan membunuh.
c. Evaluasi
Metode ini jelas
berbahaya dan kurang berguna untuk penafsiran karena dapat menyesatkan.
Kesalahan dalam asumsi pokoknya melebihi
kesalahan dari metode alegoris karena metode mistis menganggap kitab suci bisa
mempunyai sejumlah arti. Dengan kata lain, waktu menulis kitab suci, Allah
mempunyai banyak maksud lain di balik hal-hal yang secara nyata Ia firmankan.
Kitab suci dengan demikian dianggap sebagai alat komunikasi yang jelas dari
Allah menjadi sebuah teka-teki dan membuatnya mengatakan segala macam hal yang
lain daripada hal yang Allah maksudkan. Metode ini tidak menentu dan tidak
terikat apapun. Mereka masing-masing menjadi aturan penafsiran bagi diri mereka
sendiri. Ddngan mengutamakan maksud-maksud penafsir dan mengabaikan arti yang
dimaksudkan oleh sang penulis, metode ini gagal mencapai tujuan pokok dari
penafsiran dan harus dibuang.
3. Metode
Pengabdian
a. Asal-usul
Berasal dari
eksegesa Hagadis zaman intertestimental yaitu dalam usaha menerapkan ayat-ayat
Alkitab pada kehidupan mereka, para ahli Taurat Yahudi mulai menafsirkan
ayat-ayat itu dari segi situasi kehidupan mereka sendiri. Dalam sejarah gereja,
metode ini paling banyak dipraktikkan di antara para orang saleh (pietis) zaman
pasca reformasi. Karena itu metode ini juga dikenal sebagai metode penafsiran
Pietis.
b. Definisi
Metode ini
beranggapan bahwa Alkitab ditulis untuk pembinaan pribadi setiap orang percaya
dan bahwa pengertiannya yang tersembunyi untuk setiap pribadi hanya bisa
diungkapkan dengan cahaya rohani batiniah yang besar (I Yoh 2:20 sering dipakai
sebagai bukti). Metode ini memeriksa Alkitab untuk menemukan arti yang dapat
membangun kehidupan rohani. Dalam menafsirkan hal yang paling penting bukanlah
apa yang Allah katakan kepada orang lain, melainkan apa yang Allah katakan
kepada sang penafsir. Jadi tujuannya mencari di balik arti harafiah yang jelas
dari ayat-ayat itu pengertian rohani yang dapat diterapkan kepada kehidupan si
orang percaya. Contoh: Ketika menafsir Mat 10:9-11 dengan arti bahwa waktu
mereka mengadakan penginjilan mereka tidak boleh membawa perlengkapan materi
dan juga tidak perlu membuat persiapan rohani
c. Evaluasi
Sistem dalam
metode ini sangat berbahaya bagi penafsiran. Bahaya utamanya adalah ketika
berusaha menerapkan Alkitab secara pribadi sang penafsir bisa mengabaikan arti
harafiah yang jelas dari apa yang Allah firmankan kepada orang-orang pada
situasi sejarah tertentu dahulu, sehingga dia menerapkan Alkitab dengan
mengutamakan diri sendiri. Selanjutya bahaya lain adalah penafsiran ini
bergantung pada alegorisasi dan tipologi berlebihan dan bisa menggantikan studi
Alkitab tentang doktrin dan eksegesa yang justru sangat dibutuhkan. Memang seorang
penafsir harus mengetahui bahwa Alkitab dimaksudkan untuk diterapkan secara
penuh pengabdian, tetapi bahwa ini hanya bisa dilakukan secara tepat sesudah
Alkitab ditafsirkan secara harafiah dan secara historis. Penafsiran pengabdian
harus juga diselaraskan dengan penafsiran doktrin
4. Metode Penafsiran
Rasionalistis
a. Asal-usul
Dimulai pasca
reformasi yang berpusat di Jerman dengan
penekanan penelitian pada sejarah dan sastra dan berusaha mengurangi otoritas
Alkitab
b. Definisi
Metode ini
beranggapan bahwa alkitab bukan firman Allah yang diilhamkan dengan otoritas.
Metode ini menafsirkan Alkitab sebagai dokumen buatan manusia dari segi nalar
manusia. Jika Alkitab bisa diselaraskan dengan pengetahuan sang penafsir maka
Alkitab harus dipahami sebagai apa yang tertulis di dalamnya, tetapi kalau tidak,
Alkitab harus dianggap sebagai mitos atau dongeng, atau digunakan sebagai
bantuan. Dengan demikian daya pikir seorang penafsir menjadi ukuran penafsiran,
maka hal-hal adikodrati pasti disingkirkan. Contoh: Lazarus disebutkan hanya
mengalami koma dan bukan sudah mati, Yesus hanya kelihatan berjalan di atas air
dll.
c. Evaluasi
Metode ini lebih
tepat disebut sebagai metode orang yang tidak percaya. Walalupun disebut
rasional tetapi sebenarnya metode ini paling tidak rasional, karena kebenaran
dianggap sebagai mitos belaka. Metode ini jelas meninggikan nalar melebihi
otoritas firman Allah. Dengan metode ini seorang penafsir menjadikan dirinya
standar kebenaran dan ia hanya melihat manfaat Alkitab untuk membenarkan
kesimpulan-kesimpulannya. Metode ini jelas harus ditolak
5. Metode Harafiah
a. Asal-usul
Metode ini paling
tua dimulai dari zaman Ezra “Bapak Hermeneutik”
b. Definisi
Metode ini
beranggapan bahwa kata-kata dalam Alkitab dalam arti nyatanya yang jelas itu
bisa dipercaya, bahwa Allah memaksudkan agar penyataan-Nya dipahami oleh semua
orang yang percaya, bahwa kata-kata dalam Alkitab menyampaikan apa yang Allah
ingin manusia ketahui, dan bahwa Allah mendasarkan penyampaian kebenaran itu
pada berbagai peraturan biasa yang mengatur komunikasi tertulis, oleh karenanya
Ia ingin agar kata-kata itu bisa ditafsirkan dengan peraturan-peraturan yang
sama. Ini tidak berarti menolak keterlibatan Roh Kudus baik dalam penciptaan
maupun dalam penafsiran Alkitab.Ungkapan “arti harafiah” bisa didefinisikan
sebagai arti yang biasa dan yang diterima masyarakat yang dibawa oleh perkataan
atau ungkapan di dalam konteks tertentunya. Tercakup di dalamnya arti satu kata
tertentu yang dimaksudkan oleh penulis dan pembaca pertamanya. Disadari bahwa
sebuah kata bisa mempunyai arti berbeda dalam konteks berbeda dan karenanya
harus ditafsirkan dari segi penggunaan kontekstualnya. Metode ini berpendapat
bahwa walaupun satu kata kemungkinan mempunyai bebarapa arti, dalam setiap
pemnggunaan khusus kata itu biasanya akan mempunyai hanya satu arti yang
diharapkan.
Menafsirkan secara harafiah
berati menjelaskan arti semula dari si pembicara atau penulis sesuai dengan
penggunaan yang normal dan biasa dari kata-kata dan bahasa. Dengan demikian
dapat disimpulkan:
- Arti harafiah tidak mengesampingkan kiasan.
- Metode harfiah tidak mengesampingkan arti rohaniah
- Penafsiran harafiah tidak mengesampingkan penerapan
- Metode harafiah tidak mengesampingkan kedalaman arti
c. Evaluasi
Metode ini
menonjol di antara metode-metode lainnya sebagai satu-satunya cara pendekatan
yang pantas, aman dan masuk akal untuk menafsirkan Alkitab. Setiap metode lain
terbukti tidak memadai karena metode-metode lain itu kurang mempunyai
batas-batas yang ditentukan Allah dan yang dirumuskan dengan baik.
V. Mengenal Alkitab,
Terjemahan dan Referensi
Apakah Alkitab
Itu?
Mazmur 19:8 menggambarkan
perihal Alkitab sebagai peraturan dan
hikmat Allah. Yakobus menyebut Alkitab sebagai cermin (Yak 1:23-24). Paulus
menggambarkan Alkitab sebagai makanan, sebagai susu bagi bayi dan daging bagi
orang dewasa rohani (I Kor 3:2-3). Pemazmur menambahkannya sebagai emas yang
memperkaya dan madu yang manis (Maz 19:10). Dalam hal ini terlihat dengan jelas
beberapa kenyataan tentang pertanyaan apakah Alkitab itu?
- Alkitab adalah hakim yang mengoreksi (2 Tim 3:16)
- Alkitab adalah pelita dan terang (Maz 119:105).
Yesus adalah terang (Yoh 8:12)
- Alkitab adalah api yang menghanguskan bagi yang
melalaikan kewajibannya (Yer 20:9), bagi yang fasik (Yer 23:25-29)
- Alkitab adalah palu yang menghancurkan hati yang
keras seperti batu (Yer 23:29)
- Alkitab adalah pedang yang memisahkan (Ef 6:17; Ibr
4:12)
Alkitab adalah
firman Allah karena alasan sebagai berikut:
- Karena isinya mencerdaskan (Maz 32:8-9). Karena
dengan Alkitab seseorang dapat diterangi hati dan pikirannya sehingga ia
tahu siapa Allah, apa yang dikerjakan-Nya dan apa yang dikatakan-Nya.
- Karena isinya menjawab kebutuhan manusia (Maz
19:8-9). Alkitab tidak saja berbicara perihal masalah dan pergumulan
manusia, tetapi Alkitab juga berisikan jawaban atas masalah dan kebutuhan
manusia. Keajaiban Alkitab justru terletak pada kuasa-Nya dalam menjawab
masalah manusia (tubuh, jiwa dan roh)
- Karena daya tariknya yang luar biasa (maz 119:77).
Alkitab adalah buku yang sangat kuno tetapi tidak pernah usang. Tahun demi
tahun, abad demi abad. Alkitab tetap digemari dan isinya selalu relevan
dengan situasi yang sedang dihadapi. Dapat dikatakan Alkitab adalah buku
kemarin, hari ini dan buku hari esok, dari generasi ke genarasi yang lain.
Alkitab meninggalkan kesan yang tak terlupakan dan Alkitab digemari semua
orang .
- Karena ketepatan ilmiahnya (Kej 1:1-31). Para
ilmuwan memperkuat dan membenarkan semua urutan dan kejadian penciptaan
bumi selama enam hari seperti yang tertera dalam kitab Kejadian.
Bukti-bukti kuat yang ditemukan menopang kejadian-kejadian dalam Alkitab
perihal pembagian terang dan gelap, pembagian lapisan udara, pemisahan
antara lautan dan daratan dsb. Bagaimana Musa menulis penulis kitab
Kejadian dapat mengetahui peristiwa yang tidak dilihat, namun ajaib ini
secara tepat? Jawaban yang dapat memuaskan kita adalah bahwa Allah
satu-satunya yang memberi petunjuk kepada Musa
- Karena nubuatannya digenapi (Daniel 5:24-28). Banyak sekali nubuatan dalam Alkitab dan
nubuatan itu adalah hak sepenuhnya Allah. Tidak seorangpun manusia yang
dapat menyingkapkan keadaan hari depan. Kalaupun ada yang mencobanya itu
adalah usaha sia-sia. Ternyata lebih dari 25% semua bahan yang terdapat
dalam Alkitab adalah nubuatan. Ada bebarapa nubuat yang ditulis 1500 tahun
sebelum itu digenapi, yang lain ada yang 700 tahun dan ada juga yang 1000
tahun. Tetapi sebagian besar nubuatan-nubuatan itu telah digenapi dengan
sempurna.
- Karena terpelihara dari masa ke masa (Yes 40:8).
Kalau hari ini kita masih memiliki Alkitab jelas itu adalah mujizat,
mengapa? Karena sejarah membuktikan bahwa Alkitab penuh dengan tantangan,
perlawanan dan penganiayaan sepanjang abad. Yang mengkritik Alkitab bukan
saja orang jahat tetapi Alkitab juga sangat dibenci oleh iblis dan kuasa
kejahatan. Kebencian manusia terhadap Alkitab semakin menggila sehingga
ada keinginan yang kuat untuk melenyapkan Alkitab, tetapi kenyataannya
Alkitab tetap jaya sepanjang masa. Itu berarti ada Allah di balik Alkitab.
Alkitab adalah buku di atas segala buku
- Karena kuasanya yang mengubah hidup manusia (Maz
19:8-9). Alkitab memiliki kuasa untuk mencapai lapisan yang paling bawah
dalam masyarakat perampok, pembunuh, pelacur dan pelaku kejahatan diubah
menjadi orang suci, jujur, terhormat
- Karena isinya bersifat kristosentris (Yes 53:3). 700
tahun sebelum Mesias datang sudah dinubuatkan oleh Yesaya. Sepertinya nabi
ini menyaksikan dengan mata kepala sendiri penyaliban Kristus di atas kayu
salib. Ungkapan perihal Yesus bukan hanya di kitab Yesaya ini tetapi juga
dari kitab lainnya seperti Kejadian sampai Wahyu. Alkitab ceritakan
perihal kehidupan-Nya, pribadi-Nya, perbuatan-Nya, dan nasib-Nya. Bahkan
setiap halaman dari Alkitab membicarakan Dia, Ia mempersatukan setiap
bahagian Alkitab secara sempurna. Yesus dan Alkitab tidak dapat dipisahkan,
karena Ia adalah benar-benar Yesus yang ditulis dalam Alkitab, dan Alkitab
selama-lamanya merupakan kitab mengenai Yesus Kristus. Ia adalah firman
Allah yang hidup dan Alkitab adalah firman Allah yang tertulis.
Alkitab dan Permasalahan
Terjemahan
Mula-mula Alkitab
ditulis dalam tiga bahasa yaitu Ibrani kuno, Aram (setengah dalam Daniel dan
dua bagian Ezra), dan Yunani. Sebagian besar pembaca Alkitab sekarang ini tidak
mengerti bahasa itu, sehingga bagi kita sekarang yang paling diperlukan adalah alat
untuk membaca serta mempelajari Alkitab adalah terjemahan Alkitab yang baik
dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Membaca Alkitab yang telah
diterjemahkan berarti seorang pembaca telah terlibat dalam suatu penafsiran,
entah dia mau atau tidak, suka atau tidak karena itu bukanlah hal yang buruk,
tetapi hanya tidak terelakkan.
Satu hal yang harus diingat
ketika seseorang membaca Alkitab terjemahan sebenarnya ia telah berada di bawah
“kekuasaan” para penerjemah, dan para penerjemah seringkali mengadakan
pemilihan kata tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh teks bahasa Ibrani
atau bahasa Yunani asli. Dengan demikian menggunakan hanya satu terjemahan yang
baik tentu saja kita berada dalam satu pilihan penafsiran. Dan tentu bisa saja
benar tetapi juga bisa saja salah.
Lalu terjemahan manakah yang
harus kita gunakan dalam penafsiran? Dalam hal ini masing-masing orang harus
menetukan pilihannya sendiri. Namun pulihan kita jangan hanya karena menyukai
terjemahan yang satu atau karena terjemahan ini mudah dibaca. Dengan demikian
utuk membuat pilihan yang bijaksana kita perlu mengetahui beberapa hal, baik
tentang ilmu penerjemahan itu sendiri maupun tentang beberapa di antara
berbagai terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris.
Ilmu Penerjemahan
Ada dua macam pilihan yang harus
dibuat oleh seorang penerjemah yaitu tekstual dan linguistik. Jenis tekstual
berkenaan dengan susunan kata-kata yang sebenarnya dari teks asli, yaitu
seorang penerjemah memastikan bahwa teks Ibrani atau Yunani sedekat mungkin kepada
susunan kata asli yang ditulis oleh tangan-tangan penulisnya. Sedangkan jenis
linguistik adalah berkenaan dengan teori penerjemahan seseorang.
Yang akan kita bahasa berikut
ini adalah yang kedua yaitu pertanyaan tentang bahasa (linguistik) dengan asumsi
kita sudah memahami jenis tekstual yaitu dengan mengembanagkan metode kritik
apparatus.
Pertanyaan tentang
bahasa
Persoalan yang
muncul adalah berkenaan dengan pemindahan kata dan gagasan dari bahasa yang
satu ke bahasa yang lain. Untuk itu kita harus kenali beberapa istilah teknis
terkait:
- Bahasa asal: Ibrani, Aram dan Yunani (bahasa yang
darinya orang menterjemahkan)
- Bahasa penerima: Bahasa Indonesia (bahasa yang
digunakan untuk menterjemahkan bahasa asal)
- Jarak historis: Berhubungan dengan perbedaan yang
ada di antara bahasa asal dengan bahasa penerima (kata, tata bahasa,
idiom, budaya, sejarah)
- Teori penerjemahan: Berhubungan dengan soal sampai
ke tingkat manakah kita ingin berusaha untuk menghilangkan perbedaan di
antara kedua bahasa tersebut. Mis: haruskan “pelita” diterjemahkan “obor”
atau “senter”, di dalam kebudayaan mana benda-benda penerang itu melakukan
fungsi pelita dulu? Atau haruskah orang menterjemahkannya tetap “pelita”
dan membiarkan pembaca menghilangkan perbedaan itu sendiri?. Kemudian
apakah “cium kudus” dapat diterjemahkan “jabatan tangan” dalam kebudayaan
di mana mencium di depan umum merupakan perbuatan tidak sopan?
Ada tiga istilah
diterapkan pada teori penerjemahan dasar:
- Harfiah: usaha untuk menterjemahkan sedapat mungkin
menggunakan kata-kata dan penyusunan yang tepat sama dengan yang digunakan
dalam bahasa asal, namun masih mempunyai arti dalam bahasa penerima.
Terjemahan harafiah akan menjaga keutuhan jarak historis dalam segala
segi. Contoh terjemahan ini adalah KJV, NASB, sebagian RSV
- Bebas: usaha untuk menterjemahkan gagasan-gagasan
dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dengan kurang memperhatikan
pemakaian kata-kata yang tepat dari bahasa asal, coba menghilangkan
sebanyak mungkin jarak historisnya. Contoh terjemahan ini adalah PHILIPS,
LB
- Kesesuaian Dinamis: usaha untuk menterjemahkan
berbagai kata, idiom dan susunan tata bahasa dari bahasa asal ke dalam
padanan yang tepat dalam bahasa penerima. Terjemahan ini menjaga jarak
historis dalam semua hal yang berhubungan dengan sejarah dan dalam
kebanyakan hal yang berdasarkan fakta, tetapi “memodernkan” soal-soal
bahasa, tata bahasa dan gaya bahasa. Contoh terjemahan ini adalah NIV,
NAB, GNB, JB, NEB.
Teori penerjemahan
terbaik adalah Kesesuaian Dinamis. Terjemahan harafiah sering bermanfaat
sebagai sumber kedua yang memberi keyakinan mengenai bagaimana sebenarnya rupa
naskah Yunani dan Ibrani. Terjemahan bebas juga bermanfaat untuk merangsang
pemikiran tentang kemungkinan arti suatu teks. Maka NIV adalah terjemahan dasar
untuk belajar yang baik.
Cara berbagai
terjemahan menangani persoalan “jarak historis”
1. Kata “bobot”,
“ukuran”, “uang”.
Apakah kita
menyalin huruf-huruf berbagai istilah Yunani dan Ibrani (“ephah”, “homer” dsb),
atau kita coba menemukan padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia? Jika
kita putuskan untuk mencari padanan dalam berat dan ukuran, apakah kita gunakan
standar “pounds” dan “feet” untuk bahasa Inggris atau kita melihat ke masa
depan dan meneterjemahkannya “liter” dan “meter”? Dalam beberap tahun saja
inflasi dapat mempermainkan padanan moneter. Persoalannya diperparah dengan
fakta bahwa ukuran dan uang sering dipakai untuk menyarankan pertentangan atau
hasil-hasil yang mengejutkan, seperti Mat 18:24-28, Yes 5:10. Untuk menyalinnya
saja dalam hal ini kemungkinan menyebabkan pembaca Inggris/Indonesia tidak
mengerti maksud ayat-ayat itu.
Lihat perbandingan beberapa
terjemahan untuk menterjemahkan kata itu:
- KJV diikuti RSV tidak konsekuen dalam hal ini.
Sebagian terbesarnya menyalin huruf-huruf dari abjad bahasa asal, dan hal
ini juga terdapat dalam Alkitab Indonesia Terjemahan Baru sehingga kita
temukan kata-kata “bat”, “efa”, “homer”, “syikal”, dan “talenta”. Namun
kata Ibrani “ammah” diterjemahkan “hasta”, “zereth” menjadi “jengkal”
danb kata Yunani “mna” (mina) di salin ke bahasa Indonesia menjadi “uang
mina” sedangkan kata “denarius” menjadi “dinar”
- Terjemahan NASB menggunakan kata “cubit” (hasta)
dan “span” (jengkal). Cara ini juga dipakai oleh NIV, kecuali untuk
“cubits” yang diubah menjadi “feet” (kaki) dan semua catatn pinggir
diberikan baik dalam standar Inggris maupun dalam padanan metrik.
- Alkitab Living Bible, sebagaimana dapat diharapkan
mengubah segala sesuatu menjadi padan kata, tetapi sering mereka tidak
teliti. Mengubah dinar menjadi dollar dengan kurs tahun 1960 paling
banter adalah suatu produk yang sulit.
Coba bandingkan betapa jauhnya
terjemahan yang diberikan oleh BIS dengan Terjemahan Baru untuk Yes 5:10 dan
Mat 18:24-28
2. Eufeminisme
(ungkapan pelembut)
Penggunaan kata yang berhubungan
dengan toilet dan seks diungkapkan secara lembut. Ada tiga pilhan untuk itu:
- menerjemahkan secara harfiah, tetapi mungkin pembaca
yang berbicara bahasa Inggris/Indonesia itu akan menerka-nerka artinya
- menerjemahkan padan-kata yang harfiah, tetapi
mungkin menyingggung perasaan atau mengejutkan pembaca
- menerjemahkan dengan suatu padanan ungkapan
pelembut.
Diantara ketiga
itu barangkali yang terbaik adalah pilihan yang ketiga, jikalu ada eufeminisme
yang sesuai. Jikalu tidak, lebih baik mengikuti pilihan kedua khususnya untuk
perkara-perjkara yang pada umumnya tidak lagi menuntut eufeminisme dalam bahasa
Indonesia.
Contoh kata “aku sedang haid”
(Kej 31:35, ATB,NIV) adalah lebih baik dibandingkan terjemahan harfiah “adat
perempuan sedang berlaku atas hamba” (NASB,KJV)
Pilihan sutau
Terjemahan
Kalau demikian, terjemahan mana yang harus
kita baca? Yang pertama NIV sebagai terjemahan yang amat baik. GNB (BIS/KABAR
BAIK) dan NAB juga baik sekali. Sebaiknya gunakan dua dari terjemahan tersebut
atau ketiganya di samping Alkitab LAI yang biasa kita pakai.
Sejarah Singkat
Hermeneutik
Pentingnya
mengetahui sejarah hermeneutik adalah untuk menunjukkan asal-usul , kemajuan
dan perkembangan prinsip-prinsip hermeneutik. Di samping itu sejarah menunjukkan
tekanan apa, baik dari luar maupun dari dalam yang harus dihadapi oleh seorang
penafsir ayat-ayat Alkitab. Orang bisa melihat pada penelitian yang dilakukan
oleh umat Allah selama berabad-abad untuk menemukan apa sebenarnya yang Allah
maksudkan dengan firman yang Ia sampaikan. Hal ini dapat menjadi suatu
perlindungan yang berharga dan juga dapat sebagai pedoman untuk menolong
seorang penafsir menghindari berbagai masalah yang dihadapi oleh
penafsir-penafsir terdahulu. Semakin seseorang mengerti penafsiran yang tepat
semakin ia memenuhi syarat untuk menangani firman Allah sebagai seorang
penafsir komunikasi dari Tuhan itu.
Manusia pada dasarnya telah
menjadi bodoh secara mental dan spiritual sejak jatuh dalam dosa (Yer 5:21, Luk 24:45). Dosa memutuskan hubungan
Allah dengan manusia, sehingga terjadi miskomunikasi. Dalam hal ini Allah
mengambil inisiatif untuk menjembatani komunikasi tersebut dengan cara
memberikan firtman-Nya. Pesan itu harus ditafsirkan oleh manusia. Sejarah
hermeneutik memperlihatkan kepada kita usaha manusia untuk menerima komunikasi
dari Tuhan.
I. Hermeneutik
Yahudi
a. Periode (457
SM- sampai sekarang).
Periode ini
membentang dari zaman Ezra sampai sekarang ini, yang disebabkan oleh fakta
bahwa bangsa itu secara keseluruhan menolak Mesias mereka dan karenanya
hermeneutik Yahudi harus dibedakan dengan hermeneutik Kristen
b. Metode.
Dalam hermeneutik
ini yang dominan adalah metode harafiah dan metode alegoris. Pada beberapa abad
terakhir, agama Yahudi modern menekankan metote rasionalistis dalam penafsiran.
c. Sejarah
1. Ezra dikenal
sebagai bapak hermeneutik, karena ia dianggap adalah yang pertama dari penafsir
Yahudi terkemuka dan pendiri penafsiran harafiah Palestina. Orang Yahudi yang
ada di pembuangan harus berpaling kepada tulisan-tulisan suci untuk memperoleh
penghiburan dan kekuatan mengingat bait suci sudah dihancurkan. Saat itu Taurat
dan kitab para nabi menonjol di kalangan mereka. Ketika mereka kembali ke
Yerusalem ternyata bahasa yang diketahui mereka adalah bahasa Aram bukan Ibrani,
sehingga Alkitab harus kembali menterjemahkan
dan menafsirkan kitab tersebut (Neh 8:1-8). Dalam usaha inilah Ezra dan
orang-orang Lewi terlibat pemberitaan firman berdasarkan terjemahan Alkitab
yang merupakan tafsiran serta eksposisi formal atas firman Allah oleh orang
Yahudi. Dalam hal ini Ezra menggunakan metode harafiah dalam tafsiran Taurat
seperti bidang perkawinan campuran, ketaatan perayaan hari raya, serta puasa
secara harafiah.
2. Sinagoge. Tempat
ini sebagai tempat berkumpulnya orang Yahudi untuk beribadah dan belajar agama.
Sinagoge berasal dari masa pembuangan Babel, karena mereka sudah tidak punya
bait suci dan mereka rindu berkumpul dan membaca ayat-ayat Alkitab. Melalui
kebaktian-kebaktian inilah Hukum Taurat tetap hidup dalam hati bangsa itu.
Sinagoge Agung zaman Ezra menetapkan bebarapa perayaan pasca Musa yang mengatur
upacara di Sinagoge, termasuk pembacaan serta eksposisi ayat-ayat Alkitab
secara sistematis. Karena kebutuhan akan pengajaran maka orang Yahudi
menetapkan sinagoge-sinagoge setempat di berbagai kota, yang berfungsi di bawah
Sanhedrin (Mrk 5:22, Luk 4:20).
3. Ahli- ahli
Taurat. Ahli Taurat mula-mula adalah pejabat militer. Mereka adalah penyalin
dan petugas yang sah untuk memberikan penjelasan rinci tentang ayat-ayat
Alkitab. Pada zaman Kristus mereka telah terkenal sebagai ahli Taurat.
Penafsiran dan penjelasan mereka diakui secara resmi atas hukum taurat. (Mat
22:35)
4. Berbagai aliran
penafsiran
4.a. Kaum Yahudi
Palestina. Pimpinannya adalah Ezra, orang Yahudi menerima sepenuhnya bahwa
firman Allah itu diilhamkan dan memiliki otoritas . Tujuan terbesar mereka
adalah menafsirkan hukum Taurat. Sementara mereka berusaha melindungi isi dari
hukum itu, ternyata mereka juga mengumpulkan sejumlah tradisi yang mereka tempatkan
di samping hukum tersebut. Tradisi ini timbul dari keinginan mereka untuk
menerapkan hukum Taurat dalam berbagai keadaan hidup mereka yang terus-menerus
berubah. Terkenallsah istilah hukum lisan dan menjadi hukum tertulis dengan
otoritasnya yang diakui . Untuk itulah Kristus menegur mereka sebab
tradisi-tradisi lisan membuat “firman Allah tidak berlaku” (Mrk 7:13). Pada
abad 2 dibuat himpunan tertulis dari semua hukum lidsan yang ada yang terkenal
dengan sebutan Misynah yang artinya “ajaran lisan dan penelaahannya”. Dan untuk
mengakui otoritasnya diciptakan Yahudi tradisi palsu yang mengatakan bahwa
hukum tersebut diterima oleh Musa di gunung sinai. Dalam Misynah terdapat dua
jenis penafsiran yaitu:
-Halakah: Membahas
peraturan-peraturan hukum itu. Tujuannya untuk mengurangi berbagai peraturan
dari Taurat
-Hagadah: Dipakai
terutama membahas bagian-bagian non hukum dari Alkitab, seperti sejarah, nubuat
dan puisi. Tujuannya supaya mendorong orang Israelk hidup saleh
4b. Kaum Yahudi
Aleksandria.
Ketika koloni Yahudi di Alexandria dipengaruhi
helenisme maka mereka mengembangkan suatu sistem hermeneutik yang berbeda
dengan yang dikembangkan oleh kaum Yahudi di Palestina. Keterkaitan Kaum ini
dengan penafsiran Palestina adalah mereka sama-sama menerima prinsip hagadah,
yaitu sama-sama menerima apokrif dan Septuaginta. Ketika orang Ibrani dipenuhi
kebudayaan Yunani akhirnya cocok jika Alkitab Ibrani diterjemahkan ke bahasa
Yunani. Disinilah tugas itu dilakukan yaitu kebebasan Hagadah dengan
menambahkan filsafat, fiksi dan legenda ke dalam Alkitab.
4c. Kaum Karaites
Suatu sekte Yahudi
yang ditemukan tahun 800 M oleh Anan ben David. Mereka dianggap kaum
“protestan” agama Yahudi. Mereka menolak otoritas hukum lisan dan metode
mengajar eksegesaHagadah. Kaum ini penganut sistem harafiah: dimana mereka
menerima sebagai dasar cara penerjemahan teks Alkitab secara secara harafiah,
kecuali jika berdasarkan sifat kalimatnya hal ini tidak mungkin.
4d. Kaum Cabalist:
Gerakan abad 12
ini mengembangkan sistem pementingan apa yang tertulis dan alegorisme melalui
senam eksegesis, sebetulnya suatu aliran yang sangat harafiah.
4e. Kaum Yahudi
Spanyol
Di Spanyol abad
12-15 mengembangkan suatu metode penafsiran yang lebih sehat. Pendapat
penganjur sistem ini adalah “jika penafsiran yang jelas tentang suatu nas tidak
bertentangan dengan nalar untuk apa kita harus mencari penafsiran yang lain?”.
Sebagai imbangan,
ia mengakui bahwa ada beberapa kalimat yang berisi arti harafiah dan juga arti
simbolis.
4f. Kaum Yahudi
Prancis
Metodenya adalah
memberikan penjelasan harafiah atas teks Alkitab bahasa Ibrani. Akan tetapi
penghargaannya kepada Talmud membuat dia menggabungkan eksegesa Hagadah dengan
metode harafiah
4g. Kaum Yahudi
modern
Kecenderungan kaum
ini adalah pada rasionalisme. Dalam memberi eksposisi tentang ayat-ayat
alkitab, mereka mengacu pada nalar dan hati nurani. Mereka menolak penyataan
Allah dalam Kristus, tidak menantikan adanya Mesias, atau pemulihan Musa.
II. Hermeneutik
Rasuli
A. Periode: (26-95
M): Mulai dari pelayanan Kristus smapai kematian Yohanes
B. Metode: Yang
berlaku adalah metode harafiah. Dengan ilham Roh Kudus, para penulis Perjanjian
Baru secara tidak mungkin salah menafsirkan Perjanjian Lama dalam tulisan
mereka.
C. Sejarah:
1. Yesus Sang
Penafsir sempurna: Karena Ia adalah firman yang hidup, maka Ia bisa tanpa salah
menafsirkan firman tertulis itu. Pribadi-Nya adalah wujud dari penafsiran atas
Perjanjian Lama (Yoh 5:39). Ia membuka pengertian kepada murid-murid-Nya. Pada
masa pelayanan-Nya Ia menafsirkan ayat-ayat Alkitab bagi para murid-Nya, yaitu
berbagai hal tentang diri-Nya. Karena murninya penafsiran Yesus, Ia mampu
menyingkapkan semua penafsiran yang tidak benar. Ia mengutuk tradisi Hagadah
dan Halakah yang dipergunakan oleh para tua-tua karena tradisi itu membuat
firman Allah tidak berlaku (Mat 15: 1-9). Ia mencela para Farisi dan ahli
Taurat yakni para penafsir resmi hukum Taurat, karena penafsiran mereka yang
bersifat terlalu mementingkan pelaksanaan hukum (legalistis) atas ayat-ayat
Alkitab, yang membuat orang-orang sama sekali terbelenggu (Mat 23:1-33). Bahkan
karena kesalahan hermeneutik inilah yang membuat pada akhirnya mereka
menyalibkan Sang Mesias sendiri yang kedatangannya sudah diberitakan terlebih
dahulu dalam Alkitab mereka (Kis 13:27).
Adapun prinsip yang digunakan
Yesus dalam penafsiran antara lain:
a. Prinsip konteks
(Mat 22:41-46)
b. Prinsip
penyabutan pertama (Mat 19:3-9)
c. Prinsip
pemilihan (Mat 12:15-21)
d. Prinsip
perjanjian (Mat 12:1-4)
e. Prinsip
pembagian etnis (Mat 10:5,6)
f. Prinsip
kronometris (pegukuran waktu secara tepat) (Luk 21:20-24)
g. Prinsip moral
(Mat 24:36-39)
h. Prinsip
simbolis (Mat 21:42-44)
i. Prinsip
perumpamaan (Mat 13:1-9)
j. Prinsip tanda
khas (Luk 11:29)
2. Para Rasul,
para penafsir yang diilhami: Tuhan Yesus mencurahkan Roh-Nya ke atasa para
rasul-Nya. Mereka penafsir yang tidak mungkin salah karena pemahaman mereka
karena pencerahan dari Roh Kudus (Luk 22:27). Mereka menolak penafsiran
alegoris sebagaimana dilakukan penafsiran Aleksandria. Paulus menganggap semua
itu menolak pengetahuan mengenai Allah dalam Kristus (Kol 2:8). Prinsip yang
digunakan para rasul dalam menafsirkan antara lain :
a. Prinsip konteks
(I Pet 2:4-10)
b. Prinsip
penyebutan pertama (Ibr 6:20)
c. Prinsip
penyebutan pokok secara komparatif (Rm 3:1-20)
d. Prinsip
penyebutan pokok secara progresif (Ibr 10:37)
e. Prinsip
pemilihan (Rm 9:6-13)
f. Prinsip
perjanjian (Ibr 8-10)
g. Prinsip
pembagian etnis (Gal 3:1-29)
h. Prinsip
kronometris (II Pet 3:1-13)
i. Prinsip
kristosentris (Ibr 10:1-14)
j. Prinsip moral
(I Kor 9:9-12)
k. Prinsip
simbolis (I Pet 2:4-8)
l. Prinsip tanda
khas (I Kor 10:1-11)
m. Prinsip
alegoris (Gal 4:21-31)
III. Hermeneutik
para bapak gereja (Patristik)
A. Periode:
Dimulai sejak akhir periode rasuli Perjanjian Baru sampai abad pertengahan
B. Metode-metode:
Seringkali yang digunakan adalah campuran antara metode harafiah dengan metode
alegoris, tetapi yang paling dominan adalah alegoris.
C. Sejarah:
1. Tahun 202 dari
Klemens sampai Irenius. Pada umumnya mereka terlalu sibuk mempertahankan
doktrin Kristologi terhadap ajaran sesat sehingga tidak ada perkembangan yang
berarti dalam metode penafsiran Alkitab.
2. Tahun 202-325
Sekolah Aleksandria. Pada abad ke 3 ini penafsiran sangat dipengaruhi oleh
sekolah katekisasi Aleksandria yang menjadi tempat bercampurnya filsafat Yunani
dengan Yudaisme. Tujuannya adalah menyelaraskan agama dengan filsafat Yunani
melalui penggunaan metode alegoris
3. 325-600 Sekolah
Antiokhia: Pada sekitar abad 4 sebuah sekolah didirikan di Antiokhia di mana
orang percaya pertama kali disebut Kristen disini. Sekolah ini menetang
pelajaran eksegesa alegoris dari sekolah Aleksandria. Metode yang mereka pakai
dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab lebih terhormat, lebih ilmiah dan
menguntungkan. Kesimpulan hermeneutik mereka adalah:
a. Mengakui
Alkitab sebagai suatu penyataan progresif
b. Percaya pada
kesatuan Alkitab karena penekanan kristologinya
c. Menghindari
pementingan apa yang tertulis (letterism)
d. Menentang
alegorisme Aleksandria
e. Menekankan
egsegesa harafiah dan historis
f. Menggantikan
alegori dengan tipologi
g. Menghindari
eksegesa dogmatis
Dengan menghindari penafsiran
alegoris dan mengikuti eksegesa harafiah berarti memberikan arah yang benar
untuk proses hermeneutik.
Waktu merangkum
periode hermeneutik Patristik (hermeneutik bapak gereja), jelas telah
berkembang dua aliran nutama yaitu sekolah Antiokhia dan Aleksandria. Aliran
yang pertama ditandai oleh penafsiran harafiah, yang berawal dari Ezra,
diselewengkan oleh kaum Yahudi Palestina, diperbaiki oleh Yesus dan para rasul,
lalu diproklamirkan di sekolah Antiokhia. Aliran yang kedua ditandai oleh
penafsiran alegoris yang diawali dengan munculnya para filsuf Yunani, dipinjam
oleh kaum Yahudi dan diteruskan oleh kaum Yahudi di sekolah Aleksandria.
IV. Hermeneutik
Abad Pertengahan
A. Periode:
600-1517 dimulai permulaan abad 7 sampai Martin Luther
B. Metode: Ada 4
metode yang dipakai selama periode ini yaitu:
- Arti Harafiah:
arti nyata yang jelas
- Arti Alegoris:
arti teologis yang tersembunyi
- Arti Moral: arti
praktis yang tersembunyi
- Arti
Eskatologis: arti menyangkut masa yang akan datang
Namun jelas sekali
yang paling dominan pada periode ini adalah alegoris
C. Sejarah.
Selama abad i ni terdapat
stagnasi dalam bidang hermeneutik dan tidak ada prinsip-prinsip penafsiran baru
yang dirumuskan. Karena penekanan-penekanan yang berlebihan pada tradisi maka
tulisan-tulisan pada periode ini cenderung hanya merupakan pengulangan dari
ajaran-ajaran bapak gereja mula-mula. Ini menunjukkan adanya keadaan
terbelenggu pada otoritas dan tardisi gereja.
Dalam masa ini ketidaktahuan dan
ketakhyulan merupakan hal yang umum. Umumnya para pemimpin rohani dan awam
tidak memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Alkitab, karena disimpan di
biara-biara dan akhirnya dihormati secara takhayul. Alkitab dipandang sebagai
suatu benda misteri dan hanya pakar gereja yang dianggap mampu untuk
menyingkapkan pengertian mistisnya. Ketidaktahuan ini menyebabkan sebagian
orang melihat takhyul pada ayat-ayat Alkitab sebagai ramalan gaib untuk
dijadikan pedoman pribadi.
V. Hermeneutik
Reformasi
A. Periode:
1517-1600 dimulai dari publikasi 95 dalil Martin Luther sampai akhir abad 16.
B. Metode: Secara
bertahap mulai lepas dari metode rangkap empat dari abad Pertengahan. Alegoris
mulai ditinggalkan dan metode harafiah-gramatikal yang digunakan
C. Sejarah
Zaman Renaissance di Eropa
membuat gereja terlepas dari takhyul periode Abad Pertengahan. Ketika
dicetuskan Sola Scriptura (hanya berdasarkan Alkitab saja) terbukalah suatu
babak baru dalam penafsiran Alkitab. Ketika Alkitab diakui sebagai satu-satunya
penyataan ilahi yang tidak mungkin salah yang tersedia bagi manusia. Alkitab
ditinggikan di atas semua nalar manusia, termasuk kekuasaan gerejawi yang bisa
salah. Karena alasan ini maka Alkitab banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa
di dunia selama abad 16.
Sekalipun banyak penggerak
reformasi yang hebat, ada dua orang teladan yang menonjol: Luther dan Calvin:
1. Martin Luther:
Hermeneutik Luther dapat diringkas sbb:
a. Prinsip psikologi.
Ilham memerrlukan pencerahan, sehingga harus bergantung pada Roh Kudus untuk
hidupkan kemampuan mental yang diberikan Allah kepadanya
b. Prinsip
otoritas. Alkitab di atas segala persoalan teologi dan otoritas gereja
c. Prinsip
harafiah. Alegoris tidak sah, bahasa asli dan historitas serta gramatika
diperhatikan
d. Prinsip cukup.
Alkitab jelas dan setiap orang percaya dapat menafsirkannya
e. Prinsip
tarurat-Injil. Taurat diberi untuki menjatuhkan hukuman sedang Injil untuk
menebusnya
f. Prinsip kristologi.
Fungsi utama penafsiran adalah untuk menjumpai Kristus
2. John Calvin:
Calvin adalah penafsir ilmiah pertama dalam sejarah gereja Kristen. Ia
mempertahankan prinsip-prinsip dasar Luther, tetapi ia mengungguli Luther dalam
penggunaan prinsip-prinsip tersebut. Ia menganggap metode alegoris sebagai
metode iblis, tetapi ia mengakui keabsahan tipoligi Perjanjian Lama.
VI. Hermeneutik
Pasca Reformasi
A. Periode:
1600-1800 dimulai dari permulaan abad 17 sampai akhir abad 18
B. Metode:
Sebagian besar menganut dan mengembangkan hermeneutik Reformasi, yaitu metode
harafiah. Juga pada periode ini metode pengabdian dalam penafsiran menjadi
paling utama.
C. Sejarah
1. Dogmatisme:
Sebagai suatu masa kontroversi dan dogmatisme teologi, periode pasca Reformasi
ada sebagai suatu era yang suram dalam sejarah gereja. Cahaya reformasi
dibayangi oleh suasana pertikaian dan kepahitan diantar para teolog. Sementara
menolak otoritas gereja katolik, mereka masuk dalam belenggu standar-standar
pengakuan iman dari gereja Protestan
2. Pietisme:
Pietisme muncul sebagai reaksi terhadap dogmatisme teologis dari masa pasca
reformasi. Dogmatisme Prostestan memakai Alkitab sebagai pedang yang tanpa
belas kasihan sehingga menghancurkan kehidupan rohani. Para penganut pietisme
memasukkan pedang itu pada mata bajak, dengan keinginan untuk memakianya dalam
menghasilkan kehidupan. Mereka mempelajari Alkitab untuk pembangunan pribadi
serta makanan rohani. Prinsip penafsirannya adalah:
a. Alkitab
dipelajari dalam bahasa aslinya
b. Latar belakkng
kitab dipelajari sungguh-sungguh
c. Roh Kudus yang
mencerahkan sebuah pemahaman
d. Alkitab
dipelajari dengan penuh pengabdian dan diterapkan secara praktis
3. Metode
Penelitian: Karena melihat kelemahan serta tidak memadainya metode pengabdian,
banyak penafsir beralih pada pendekatan skolastik terhadap studi Alkitab.
Dengan menganggap cara penganut dogmatisme yang mengabaikan latar belakang
sejarah Alkitab untuk menemukan ayat-ayat buktinya itu sebagai tidak memadai,
maka banyak pakar mempelajari ayat-ayat Alkitab secara analitis. Untuk pertama
kalinya berbagai naskah diperbandingkan dan dinilai. Riset yang luas atas
bahasa-bahasa asli menghasilkan berbagai tata bahasa.
4. Rasionalisme:
Dengan mengikuti metode penelitian, banyak pakar melangkah melampaui cara
pendekatan skolastik dan meninggikan nalar manusia melebihi otoritas ayat-ayat
Alkitab
VII. Hermeneutik
Modern
A. Periode 1800-
sekarang.
B. Metode. Metode
paling menonjol adalah metode harafiah.
C. Sejarah: Dari
sisi negatif rasionalistis telah menurunkan kewibawaan Alkitab, namun dari sisi
positif banyak penafsir terkemuka berduyun-duyun membela Alkitab dan membuat
otoritas Alkitab berkembang secara penuh
II. Perumpamaan
Perumpamaa-perumpamaan
Yesus dalam Perjanjian baru adalah cerita yang menarik dan sederhana, tetapi
cerita perumpamaan ini telah sering disalahtafsirkan dalam gereja. Alasannya
sesuai dengan perkataan Yesus dalam Markus 4:10-12, bahwa maksud Yesus dalam
perumpamaan yang diketengahkan-Nya mengandung rahasia bagi orang-orang kalangan
dalam, sedangkan mengeraskan hati orang-orang kalangan luar.
Memfungsikan
Perumpamaan
Petunjuk-petunjuk
terbaik mengenai apa perumpamaan itu terdapat pada fungsinya.
Perumpamaan-perumpamaan cerita bukan untuk menghiasi ajaran Yesus yang tidak
mengkhayal-khayal itu dengan kata-kata kiasan. Sebaliknya
perumpamaan-perumpamaan cerita berfungsi sebagai sarana untuk membangkitkan
tanggapan dari pihak pendengar. Perumpamaan itu sendiri adalah suatu pesan.
Perumpamaan itu diceritakan untuk berbicara kepada pendengar serta memikat
perhatian para pendengar, agar mereka berhenti melakukan perbuatan mereka, atau
menjadi penyebab agar mereka menanggapi Yesus dan pelayanan-Nya.
Sifat “mengharapkan tanggapan”
dari perumpamaan inilah yang menyebabkan masalah besar bagi kita untuk
menafsirkannya. Karena dalam beberapa hal, menafsirkan suatu perumpamaan dapat
merusak bentuknya yang asli. Hal itu sama seperti menafsirkan suatu lelucon.
Tujuan suatu lelucon dan apa yang menyebabkannya lucu ialah bahwa si pendengar
langsung mengerti lelucon itu sementara lelucon itu diceritakan. Lelucon itu
lucu karena si pendengar terjebak di dalam cerita itu dan ia mengerti
pokok-pokok acuanya. Tetapi jika lelucon itu ditafsirkan kembali jelas tidak
lucu lagi karena sipendengar tidak terjebak dalam cerita itu. Pengaruh lelucon
yang diceritakan langsung dengan yang ditafsirkan tidaklah sama kuatnya.
Demikian pula halnya dengan perumpamaan. Perumpamaan itu diucapkan dan kita
dapat menganggap bahwa kebanyakan pendengar langsung mengerti sehingga
menyebabkan mereka menangkap maksudnya atau terjebak olehnya.
Jadi tugas hermeneutik kita
sehubungan dengan perumpamaan-perumpamaan ini adalah bagaimana menangkap
kembali “ketajaman maksud ”perumpamaan-perumpamaan” dalam masa kita dan dalam
lingkungan kita sendiri.
Penafsiran
Perumpamaan:
Ada bebarapa unsur
terkait yang perlu diperhatikan:
1. Temukan
pokok-pokok acuan
Hal yang mengundang gelak tawa terhadap
suatu lelucon adalah ketika pendengar mengerti pokok-pokok acuan yang saling
terkait satu dengan yang lainnya dan perubahan yang tidak terduga dalam cerita
tersebut. Jadi kunci untuk mengerti adalah pokok-pokok acuan, yaitu berbagai
bagian dalam cerita yang dengannya kita dapat menyatukan diri kita sewaktu
cerita itu diceritakan. Jika kita tidak mengenali pokok-pokok acuan dalam suatu
perumpamaan, maka kekuatan dan maksud perkataan Yesus juga tidak akan
dimengerti.
Contoh Luk 7:40-48. Dalam
konteks ini Yesus telah diundang untuk makan di rumah seorang Farisi bernama
Simon. Akan tetapi undangan itu bukanlah sebagai penghormatan terhadap
kunjungan seorang guru terkenal yang umumnya. Tujuan Simon dengan jelas
terlihat adalah untuk meremehkan Tuhan. Ketika adalah seorang pelacur terkenal
di kota itu mendapat kesempatan masuk dan bertindak tolol membasuh kaki Yesus
dengan air matanya serta menyekanya dengan rambutnya, maka itu hanya memperkuat
kecurigaan orang Farisi itu. Yesus tidak mungkin sebagai seorang nabi
membiarkan tindakan yang memalukan di hadapan umum ini tanpa dihukum, pikirnya.
Karena Yesus mengetahui pikiran
mereka itulah maka Yesus membentangkan suatu perumpamaan. Cerita perumpamaan
itu adalah cerita sederhana yaitu tentang Dua orang yang berutang kepada
seorang pelepas uang. Yang seorang berutang lima ratus dinar (satu dinar upah
satu hari) yang lain lima puluh. Karena kedua orang itu tidak sanggup membayar,
maka sipelepas uang menghapuskan utang kedua orang tersebut. Maksudnya: Siapa
diantara kedua orang itu yang akan menanggapi tindakan pelepas uang itu dengan
menyatakan kasih yang lebih besar?
Cerita ini tidak membutuhkan
penafsiran, karena Yesus langsung menjelaskan maksudnya sejelas-jelasnya. Ada
tiga pokok acuan, yaitu sipelepas uang dan dua orang yang berutang.
Identifikasi Yesus jelas sekali yaitu pelacur itu dan Simon adalah dua orang
yang berutang. Perumpamaan itu langsung menuntut tanggapan kedua orang itu.
Bagi Simon perumpamaan itu semacam sindiran karena tidak mungkin ia tidak
mengerti maksud perumpamaan tersebut, sehingga ia merasa malu. Disinilah
kekuatan perumpamaan itu (menemplak). Bagi pelacur bukanlah sindiran tetapi
penegasan bahwa Yesus dan karenanya juga Allah sudah menerima dirinya dan sudah
diampuni.
Maksud cerita itu disimpulkan
dengan nyata oleh Yesus pada ayat 47
2. Kenali
Pendengar
Dalam penafsiran perumpamaan ada
tiga hal yang perlu dilakukan yaitu:
-
Baca perumpamaan berulangkali
-
Kenali pokok-pokok acuan Yesus yang pasti ditangkap oleh
pendengar yang mula-mula
-
Tentukan bagaimana para pendengar mula-mula menempatkan
diri dalam cerita itu dan dengan demikian menetapkan apa yang telah mereka
dengar
Contoh cerita:
Orang Samaria yang Murah hati (Luk 10: 25-37).
Perumpamaan ini diceritakan kepada pendengarnya yaitu seorang ahli
Taurat. Ahli Taurat ini ingin membenarkan dirinya dengan bertanya “Dan siapakah
sesamaku manusia?” Perumpamaan itu sama sekali tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, tetapi dengan cara yang lebih jitu perumpamaan itu
mengungkapkan kebenaran diri ahli Taurat itu yang sudah merasa puas dengan
dirinya. Ia sebenarnya tahu apa yang dikatakan Taurat tentang mengasihi sesama,
namun tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa ia telah menaati Taurat sebagai
orang saleh.
Ada dua pokok acuan dalam cerita
ini yaitu orang yang terluka dan orang Samaria. Ada dua perkara dalam cerita
itu yaitu (1) kedua orang yang lewat di seberang jalan adalah golongan imam.
Golongan agama ini berlainan dengan para rabi dan orang Farisi yang menjadi
ahli di bidang Taurat. (2) Pemberian sedekah kepada orang miskin merupakan hal
yang utama bagi orang Farisi. Beginilah cara mereka mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri. Lalu perhatikan perumpamaan ini telah menjebak ahli
Taurat tersebut.
Dalam perumpamaan itu ketika
Yesus menyebutkan imam tidak menghiraukan orang yang terluka itu, dalam hatinya
ia menunggu reaksi ahli Taurat yang pasti menolong orang itu, namun tidak
demikian perumpamaan itu karena, betapa
malunya ahli Taurat karena orang Samarialah yang lewat berikutnya dan melakukan
pertolongan. Harus dipahami bahwa orang Farisi sangat menanggap rendah orang
Samaria (perhatikan bahwa ia sendiri tidak mau menggunakan kata Samaria pada
akhir cerita itu).
Apakah sebenarnya yang dilakukan
Yesus kepada orang ini? Hukum kedua yang terbesar adalah mengasihi sesama
manusia seperti mengasihi diri kita sendiri. Ahli Taurat itu mempunyai sistem
kecil yang rapi yang memungkinkan ia mengasihi dalam lingkungan yang terbatas.
Yang Yesus lakukan adalah mengungkapkan prasangka serta kebencian di hatinya,
dan karena itu ketidaktaatannya yang sebenarnya kepada perintah ini. “Sesama
manusia” tidak dapat lagi didefinisikan dengan istilah-istilah yang membatasi.
Ketiadaan kasihnya bukanlah bahwa ia tidak mau menolong orang yang berada dalam
kesukaran itu, tetapi bahwa ia membenci orang Samaria itu.
Jadi mengenali pendengar dalam
sebuah perumpamaan dapat mendeteksi maksud dari perumpamaan Yesus
Perumpamaan
Tentang Kerajaan
Rupanya tidak semua perumpamaan
Yesus perihal perselisihan Yesus dengan orang Farisi. Ada sekumpulan besar
perumpamaan tentang kerajaan, yang sengaja mengatakan “Hal Kerajaan Sorga
seumpama...”
Pertama, kata
tersebut jangan disamakan dengan unsur pertama yang disebutkan dalam
perumpamaan itu. Maka Kerajaan Sorga tidaklah sama dengan biji sesawi, atau
seorang pedagang atau harta yang terpendam di ladang, tetapi arti secara
harafiah adalah “sama seperti inilah kerajaan Allah itu”. Perumpamaan itu
berarti memberitahukan kepada kita mengenai sifat kerajaan itu.
Kedua, Perumpamaan itu
benar-benar merupakan wahana pengajaran yang mengharapkan tanggapan pada undangan
dan panggilan Yesus agar menjadi murid-Nya dan bukan cerita-cerita yang hanya
mengharapkan tanggapan biasa semata.
Oleh karena
perumpamaan-perumpamaan ini sesungguhnya mengenai kerajaan, kita dapati bahwa
perumpamaan-perumpamaan ini mengumumkan kerajaan sebagai “yang sudah ada/yang
belaum ada”. Kerajaan itu sudah datang; waktu Allah sudah dekat. Berarti ada
dua hal penting dalam perumpamaan-perumpamaan kerajaan yaitu:
1.Penghakiman akan
terjadi, bencana dan malapetaka sudah di ambang pintu
2. Tetapi ada
kabar baik, keselamatan ditawarkan Cuma-Cuma buat semua orang.
Lihatlah dua
contoh berikut sebagai keterangan kedua hal di atas:
1. a. Luk 12:16-20
tentang Orang kaya yang Bodoh telah diceritakan dalam suatu konteks tentang
sikap terhadap harta milik dipandang dari sudut kehadiran kerajaan. Perumpamaan
itu cukup mudah. Seorang kaya, oleh karena kerja kerasnya, berfikir bahwa
kehidupannya telah terjamin dan ia beristirahat dengan merasa puas dengan
dirinya. Akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Yesus di tempat lain
“Barangsiapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya”.
Jadi orang itu bodoh dalam pengertian alkitabiah yaitu ia coba hidup tanpa
memperhitungkan Allah. Tetapi bencana tiba-tiba segera akan menimpa ia.
Perhatikanlah bahwa pokok
perumpamaan ini bukanlah kematian yang datang tanpa diduga-duga, melainkan
urgensi waktu. Kerajaan itu sudah dekat. Orang adalah bodoh bila hidup untuk
harta milik, untuk menjamin diri-sendiri, bila akhir hidupnya sudah di ambang
pintu. Menurut pendapat Yesus bahwa keinginan untuk memiliki harta tidak sesuai
mengingat keadaan masa kini.
1. b. Luk 16:1-8
tentang Bendahara yang Tidak Jujur. Cerita ini juga cukup sederhana, dimana
seorang bendahara sedang menggelapkan uang, menghamburkan uang tuannya. Ia
dipanggil untuk memberi pertanggungjawaban, dan karena ia sudah tahu bahwa
nasibnya sudah pasti, maka satu kali lagi ia melakukan pencurian uang
besar-besaran. Ia berkompromi dengan orang-orang yang berutang kepada
majikannya, untuk mengubah surat utang mereka, kemungkinan dengan pengharapan
supaya memperoleh teman-teman di luar. Penekanan perumpamaan ini dan bagian
yang sukar bagi kebanyakan dari kita ialah bahwa para pendengar yang mula-mula
mengharapkan tindakan bendahara itu dicela. Sebaliknya tipu muslihat itu
dipuji.
Apakah maksud Yesus ketika
menceritakan cerita seperti itu? Mungkin sekali Ia menantang para pendengar-Nya
dengan urgensi waktu. Jikalau mereka marah karena cerita sedemikian (suatu hal
yang sudah sepantasnya), maka terlebih lagi mereka itu harus menerapkan
pelajaran itu kepada diri mereka sendiri. Mereka berada pada posisi yang sama
seperti bendaharawan itu yang melihat kebinasaan yang sudah dekat, tetapi
krisis yang mengancam mereka jauh lebih hebat lagi, bendaharawan itu bertindak
(perhatikan bahwa Yesus tidak memaafkan perbuatannya); ia berbuat sesuatu
tentang keadaannya. Yesus mengatakan kepada saudara juga bahwa urgensi waktu
menuntut tindakan, segala sesuatu dipertaruhkan
2. Waktu yang urgen yang menuntut tindakan dan pertobatan
juga menjadi waktu keselamatan. Jadi, kerajaan itu sebagaimana yang ada
sekarang ini adalah kabar baik juga. Dalam perumpamaan Mat 13:44-46 (Harta
Terpendam di Ladang dan Mutiara yang Berharga) penekanannya terletak pada
sukacita penemuan. Dalam keadaan sukacita mereka menjual harta milik mereka
untuk memperoleh harta yang terpendam dan mutiara itu. Kerajaan itu bukanlah
harta itu, dan juga bukanlah mutiara. Kerajaan itu bukanlah karunia Allah.
Penemuan akan kerajaan itu adalah sukacita yang tidak terkatakan.
Jadi, beginilah caranya seorang
perlu belajar membaca dan meneliti perumpamaan-perumpamaan itu. Perumpamaan itu
janganlah dialegorikan. Perumpamaan itu haruslah didengar sebagai panggilan
untuk memberi tanggapan kepada Yesus dan misinya.
Studi Kasus
(Taurat)
Dalam Perjanjian
Lama terdapat lebih dari enam ratus hukum, yang diharapkan Allah supaya ditaati
orang Israel sebagai bukti kesetiaan mereka kepada Allah. Hampir keseluruhan
hukum itu terdapat dalam empat kitab Musa yaitu Kitab Keluaran, Imamat,
Bilangan dan Ulangan. Dalam hal ini kitab Kejadian juga masuk di dalamnya dan
dikenal dengan lima kitab Musa atau Taurat Musa.
Pedoman awal untuk
orang Kristen mengerti hubungannya dengan taurat Perjanjian Lama.
1. Taurat PL
adalah suatu perjanjian.
Allah membentuk taurat PL atas
perjanjian-perjanjian kuno dan membentuk suatu kontrak yang mengikat antara
Yahweh, Tuhan dan hamba-Nya Israel. Sebagai imbalan bagi berbagai keuntungan
dan perlindungan, Israel harus mentaati lebih dari enam ratus peraturan itu
(yaitu perintah-perintah) yang terdapat dalam hukum perjanjian yang ditemukan
dalam Keluaran 20 sampai Ulangan 33.
2. PL bukanlah
wasiat kita
Wasiat adalah istilah lain bagi
perjanjian. Wasiat lama mewakili suatu perjanjian Lama, yang tak perlu kita
laksanakan lagi. Karena itu Perjanjian Lama tidak lagi otomatis mengikat kita
saat ini. Sebenarnya, kita harus menganggap bahwa tak satupun dari ketentuannya
(hukum) mengikat kita kecuali hukum-hukum itu dibaharui dalam PB.PL tidak sama
dengan PB, Allah mengharapkan dari umat-Nya (kita) bukti ketaatan dan kesetiaan
yang agak berbeda dari yang Ia harapkan dari orang Israel di PL. Kesetiaan
masih diharapkan, tetapi yang sudah berubah dalam bebarapa hal ialah caranya
seseorang menunjukkan kesetiaan itu.
3. Ada beberapa
ketentuan PL yang tidak dibaharui dalam PB.
Ada dua kategori hukum taurat
yang sebagian besar tidak berlaku lagi bagi orang Kristen yaitu:
-
Hukum perdata orang Israel
-
Hukum keagamaan orang Israel
Hukum perdata
menetapkan hukuman untuk berbagai kejahatan besar dan kecil yang dapat
mengakibatkan seseorang ditahan dan diadili di Israel. Hukum-hukum itu hanya
berlaku untuk warganegara Israel zaman kuno, dan tak seorangpun yang hidup pada
masa kini menjadi warganegara Israel kuno. Hukum keagamaan merupakan bagian
terbesar dari taurat PL, dan terdapat di seluruh kitab Imamat dan juga di
banyak bagian kitab Keluaran, Bilangan dan Ulangan. Hukum-hukum ini
memberitahukan kepada umat Israel bagaimana menjalankan praktek penyembahan,
merincikan segala sesuatu dari rancangan peralatan penyembahan, tanggungjawab
para imam, jenis bintang yang akan dikorbankan dan bagaimana cara
mempersembahkannya.
4. Sebagian PL
dibaharui dalam PB
Beberapa segi dari hukum etika
PL benar-benar diulang dalam PB sebagai sesuatu yang berlaku bagi orang-orang
Kristen. Sebenarnya hukum-hukum sedemikian berdasarkan fakta bahwa hukum-hukum
itu menopang dua hukum utama dari PB yang padanya bergantung seluruh Taurat
“Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama” (Ul 6:5). Dengan demikian Yesus mengutip
beberapa hukum PL dan membuatnya dapat dipakai lagi (Mat 5:21-48), serta
menjelaskannya lagi sehingga meliputi lebih banyak daripada hidup yang asli.
Jadi, kita mengatakan bahwa segi-segi dan bukannya sekedar hukum-hukum itu
sendiri yang dibaharui dari PL kepada PB, karena hanya segi-segi hukum itu yang
berada langsung di bawah perintah mengasihi Allah dan sesama manusia yang
merupakan kewajiban yang terus-menerus bagi orang Kristen.
5. Semua hukum PL
masih merupakan firman Allah bagi kita walaupun hukum itu tidak lagi merupakan
perintah Allah bagi kita.
Di dalam Alkitab beragam
perintah yang Allah mau kita ketahui, yang tidak secara langsung ditujukan
kepada kita secara pribadi. Contoh dalam Mat 11:4, disitu Yesus memerintahkan
“Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes, apa yang kamu dengar dan kamu lihat”.
Orang-orang yang mula-mula mendengar perintah itu adalah murid-murid Yohanes
Pembabtis. Kita membaca tentang perintah itu, dan perintah itu bukan kita.
Demikian pula orang-orang yang mula-mula mendengarkan hukum PL, ialah orang
Israel zaman lampau. Kita membaca tentang taurat itu; itu bukanlah taurat bagi
kita.
6. Hanyalah bagian
yang dengan tegas dibaharui dari taurat PL dapat dianggap sebagai bagian dari
“hukum Kristus” di Perjanjian Baru (Gal 6:2). Dalam kategori sedemikian
termasuk Kesepuluh Perintah, karena hukum-hukum ini dikutip dalam berbagai cara
di PB, sebagai hukum yang masih berlaku untuk orang Kristen, dan dua hukum yang
besar dalam Ul 6:5 dan Im 19:18. Tidak ada hukum PL lainnya yang dapat
dibuktikan masih tetap berlaku untuk orang Kristen, walaupun berharga sekali
bagi orang Kristen untuk mengetahui semua hukum itu.
Peranan Taurat di
Israel dan di Alkitab
Adalah sesuatu yang keliru jika
kita menyimpulkan bahwa Taurat tidak lagi bermanfaat dalam Alkitab. Taurat
berfungsi dalam sejarah penyelamatan sebagai “penuntun bagi kita sampai Kristus
datang” (Gal 3:24), dengan menunjukkan betapa tingginya kaidah kebenaran Allah
dan betapa tidak mungkinnya bagi setiap orang untuk memenuhi kaidah-kaidah itu
tanpa pertolongan ilahi. Taurat itu sendiri tidak meyelamatkan Israel, Allahlah
yang menyelamatkan Israel yaitu menyediakan jalan kelepasan dari Mesir,
penaklukan tanah kanaan, kemakmuran sebagai penduduk di tanah perjanjian itu. Taurat
tidak melakukannya sama sekali, tetapi hanya menunjukkan istilah persetujuan
kesetiaan Israel terhadap Allah.
Dalam arti ini taurat berlaku
sebagai suatu model/pola. Taurat bukan suatu daftar panjang yang lengkap
mengenai segala sesuatu yang harus dan dapat dilakukan untuk menyenangkan hati
Allah pada zaman Israel kuno, sebaliknya taurat lebih banyak memberikan contoh
tentang maknanya berlaku setia kepada Allah.
1. Hukum Umum
(apodiktis)
Contoh Imamat 19:9-14, dimulai
dengan kata “hendaklah atau janganlah”. Hukum-hukum ini merupakan perintah
langsung, yang berlaku umum yaitu memberitahukan kepada orang Israel hal-hal
apa yang mereka harus lakukan untuk memenuhi bagian mereka dalam perjanjian
dengan Allah. Namun jelas sekali hukum-hukum itu tidaklah lengkap karena hanya
suatu model atau pola. Kalau dilihat hukum itu hanya membicarakan anggur lalu
bagaimana buah yang lain seperti zaitun apakah tidak ada kewajiban untuk
membagikannya dengan orang lain? Tentu tidak. Hukum itu bersifat pola yang
menetapkan suatu kaidah dengan memberi contoh. Lalu perhatikan ayat 13b-14,
tujuan dari pernyataan ini adalah melarang penahanan upah para pekerja harian
serta perlakuan yang kasar terhadap orang-orang cacat. Pernyataan-pernyataan
dalam taurat itu dimaksudkan sebagai suatu pedoman yang dapat diandalkan dengan
kegunaan yang umum bukan suatu paparan teknis dari semua keadaan yang mungkin
kita bayangkan. Demikian juga orang buta dan tuli hanyalah contoh-contoh yang
dipilih dari antara segala orang yang kelemahan jasmaniahnya menuntut agar
mereka itu dihormati dan bukan dihina.
Perhatikanlah hukum-hukum yang
umum atau apodiktis dari PL tidak berfaedah bagi seseorang yang ingin
memudahkan ketaatan pada hukum-hukum itu.Sebaliknya hukum-hukum ini walaupun
terbatas dalam kata-katanya, namun sebenarnya sangat luas pengertiannya. Oleh
karena itu, jikalau seseorang hendak melaksanakan maksud hukum PL, pastilah
pada akhirnya ia akan gagal. Tidak seorangpun yang dapat menyenangkan hati
Allah secara tetap menurut kaidah-kaidah yang begitu luas dan tinggi itu (Rm
8:1-11). Pendekatan orang Farisi yang menaati huruf dan angkanya saja hanya
berhasil dalam jasmaniahnya dan sama sekali bukan rohnya. Dengan demikian
keberhasilan mengamalkan ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh sebagimana yang
dikehendaki Allah.
Dalam hal ini taurat menunjukkan
kepada kita betapa tidak mungkinnya orang memperkenankan Allah dengan kekuatan
sendiri. Dengan demikian tatkala kita membaca taurat PL, kita harusnya merasa
rendah hati karena mengerti betapa kita sama sekali tidak layak untuk menjadi
milik Allah. Kita seharusnya tergerak untuk memuji dan berterimakasih
kepada-Nya karena terlepas dari penggenapan taurat PL secara manusiawi, karena
kalau tidak tidak ada pengharapan sama sekali untuk berkenan kepada Dia.
2. Hukum
kasus-demi kasus (Kasuistis)
Contoh Ulangan 15:12-17,
unsur-unsur dalam hukum ini adalah bersyarat, yang hanya berlaku jika
seandainya:
-
Saudara seorang Israel mempunyai sekurang-kurangnya
seorang budak atau
-
Saudara seorang Israel mempunyai seorang budak yang mau
atau tidak mau tetap menjadi budak saudara dengan sukarela sesudah masa
budaknya berakhir.
Jikalau saudara
bukan seorang Israel atau tidak mempunyai budak, hukum itu tidak berlaku bagi
saudara. Jikalau saudara sendiri seorang budak, maka hukum itu hanya berlaku
secara tidak langsung bagi saudara dalam hal hukum itu melindungi hak-hak
saudara. Berarti hukum itu bersyarat didasarkan pada keadaan yang mungkin yang
bisa atau tidak berlaku pada seseorang tertentu pada suatu waktu tertentu.
Hukum kasuistis menunjukkan
bahwa tidak satupun diantaranya yang secara tegas dibaharui dalam PB. Oleh
karena hukum-hukum sedemikian berlaku secara khusus pada kehidupan sipil, agama
dan etis bangsa Israel, maka oleh sifatnya itu hukum-hukum tersebut terbatas
kegunaannya dan sebab itu tidak mungkin berlaku bagi orang Kristen. Kalau
begitu apa yang dapat kita pelajari dari Ul 15:12-17?
Pertama:
Memerdekakan budak-budak sesudah enam tahun memberikan pembatasan penting pada
praktek perbudakan, sehingga praktek itu tidak dapat disalahgunakan melampaui
batas-batas waktu yang pantas. Dengan demikian walaupun secara pribadi kita
tidak memiliki budak, namun kita dapat melaihat bahwa ketetapan Allah bagi
perbudakan di bawah PL bukan suatu peraturan kejam yang kasar.
Kedua: Kita tahu
bahwa Allah mengasihi budak-budak, yang ditampakkan dalam usaha perlindungan
yang ketat yang ditetapkan dalam hukum itu. Tuntutan kemurahan terhadap budak
karena Allah sendiri baik terhadap Israel, umat-Nya yang dahulu adalah budak.
Ketiga: Kita tahu
bahwa perbudakan dapat dipraktekkan dalam suatu cara yang begitu lunak sehingga
keadaan para budak itu lebih baik dalam perhambaan daripada keadaan bebas
mengingat zaman itu di Palestina kehidupan ekonomi cukup sulit.
Keempat: pemilik
budak itu sebenarnya tidak memiliki budak itu sepenuhnya.
Kelima: Pengamatan
ini merupakan pelajaran yang berfaedah bagi kita. Tidak jadi soal apakah hukum
dalam Ulangan ini bukanlah suatu perintah yang ditujukan langsung kepada kita
mengenai kita. Yang penting ialah berapa banyaknya yang dapat kita pelajari
dari hukum itu mengenai Allah, tuntutan-Nya akan keadilan, cita-cita-Nya untuk
masyarakat Israel, dan hubungannya dengan umat-Nya yang terutama berkenaan
dengan “penebusan”. Maka hukum ini memberikan kepada kita:
- sebagian penting dari latar belakang PB mengenai
penebusan
- suatu gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana
perbudakan perbudakan dalam PL itu berlainan sama sekali dengan apa yang
biasanya kita pikirkan tentang perbudakan
- suatu pandangan mengenai kasih Allah yang tidak
dapat kita miliki tanpa hukum ini.
Dengan kata lain,
bagian Alkitab yang menyangkut hukum ini, masih tetap merupakan firman Allah
yang indah bagi kita, walaupun nyata firman itu bukan suatu perintah dari Allah
kepada kita
Manfaat taurat PL
bagi Israel
Kesanggupan Taurat untuk
menyediakan hidup kekal sama sekali tidak memadai, dan Taurat memang tidak
dimaksudkan untuk itu. Maka siapa saja yang berupaya melakukan Taurat untuk
mendapatkan keselamatan pasti akan gagal, karena pada hakikatnya tidak ada
seorangpun yang sempurna mentaati Taurat itu. Dan melanggar satu hukum saja
menyebabkan seorang menjadi “pelanggar hukum” (Yak 2:10).
Walaupun demikian jika tujuan
hukum-hukum itu dipahami dengan semestinya, maka Taurat dapat dianggap sebagai
sesuatu yang bermanfaat bagi orang Israel, yaitu suatu contoh yang luar biasa
tentang anugerah Allah pada umat-Nya.
1. Mengenai
makanan
Contoh Im 11:7, “Demikian juga
babi hutan...haram itu bagimu”. Hukum ini tidak dimaksudkan oleh Allah sebagai
pembatasan yang sewenang-wenang dan aneh pada orang Israel. Tetapi hal itu
sebagai perlindungan yang sungguh-sungguh terhadap makanan yang kebanyakan
dilarang adalah jenis makanan tertentu, karena:
-
Kemungkinan membawa penyakit dalam iklim yang gersang di
padang pasir
-
Kurang ekonomis untuk dipelihara sebagai makanan dalam
lingkungan agraria di padang pasir seperti kesulitan air
-
Makanan yang umumnya disukai untuk ritual keagamaan oleh
kelompok-kelompok yang kebiasaannya tidak boleh diikuti oleh orang Israel.
2. Mengenai
penumpahan darah
Contoh Kel 29:10-12,
Undang-undang seperti ini menentukan suatu norma yang penting bagi orang
Israel. Dosa patut dihukum, karena Allah menyatakan bahwa orang berdosa
terhadap Allah tidak layak untuk hidup. Tetapi, Allah juga menyediakan suatu
prosedur untuk orang berdosa itu agar dapat luput dari kematian, darah
pengganti dapat ditumpahkan. Maka Allah menawarkan untuk menerima kematian
makhluk lain sebagai pengganti kematian orang berdosa di antara umat-Nya.
Sistem itu adalah bagian yang perlu bagi keberlangsungan kehidupan Israel (Ibr
9:22). Yang terutama, hukum-hukum yang menuntut sebuah korban pengganti
menetapkan suatu pola untuk karya penebusan yang dilakukan Kristus sebagai
pengganti. Kematian Kristus memenuhi tuntutan Taurat dan merupakan dasar bagi
Allah untuk menerima kita. Taurat PL menjadi sebagai latar belakang yang hidup
untuk peristiwa yang besar itu di dalam sejarah.
3. Larangan yang
tidak lazim
Contoh Ul 14:21, “Janganlah
engkau masak anak kambing dalam air susu ibu induknya”. Apa salahnya hal ini,
dan beberapa hukum lain seperti “Jangan kawinkan dua jenis ternak”, “Jangan
taburi ladangmu dengan dua jenis benih”, “Janganlah pakaian dibuat dengan dua
jenis bahan” (Im 19:19).
Tidak ada yang salah dengan hukum
itu karena larangan itu dimaksudkan untuk melarang bangsa Israel supaya tidak
terlibat dalam upacara-upacara kesuburan yang bersifat kafir dari bangsa
Kanaan. Orang kanaan percaya gagasan perbuatan-perbuatan yang simbolis dapat
mempengruhi dewa-dewa serta alam. Mereka mengira bahwa merebus anak kambing
dalam air susu induknya secara gaib akan menjamin kesuburan terus-menerus dari
kawanan ternak. Mencampurkan jenis keturunan binatang, benih atau bahan
dianggap “mengawinkan” jenis-jenis itu agar secara gaib pula menghasilkan
“keturunan”, yaitu kelimpahan hasil pertanian di hari yang akan datang. Allah
jelas tidak dapat memberkati umat-Nya jika mereka mengerjakan hal-hal aneh dan
rumit seperti itu.
4. Memberi berkat
kepada orang yang mematuhinya
Contoh Ul 14:28-29, sudah tentu
semua hukum Israel dimaksudkan untuk menjadi sarana berkat bagi umat Allah.
Akan tetapi beberapa hukum secara khusus menyebutkan bahwa hal mematuhi
hukum-hukum itu akan memberikan berkat. Hukum perpuluhan menyatakan berkat
ketaatan. Jikalau orang-orang tidak mempedulikan kaum Lewi, yatim piatu,
janda-janda, maka Allah tidak dapat memberikan kemakmuran. Hukum ini memberikan
keuntungan bagi orang yang membutuhkan pertolongan dan mengutntungkan bagi
mereka yang membantu mereka yang kekurangan. Hukum seperti itu tidak membatasi
ataupun menghukum, sebaliknya hukum itu menjadi suatu wahana bagi perbuatan
baik dan hukum sedemikian mengandung pelajaran untuk kita maupun untuk orang
Israel pada zaman dahulu.
Pedoman
hermeneutik: Yang boleh dan yang tidak boleh
- Lihatlah taurat PL sebagai firman Allah yang
diilhamkan sepenuhnya bagi saudara. Janganlah memandang taurat PL sebagai
perintah Allah yang langsung kepada saudara
- Lihatlah taurat PL sebagai dasar untuk PL dan
karenanya dasar untuk sejarah Israel. Janganlah memandang taurat PL
sebagai hal yang mengikat orang Kristen dalam PB, kecuali bila hal itu
diulang secara khusus
- Lihatlah keadilan, kasih serta norma-norma yang
tinggi dari Allah yang dinyatakan dalam taurat PL. Jangan lupa melihat bahwa
rahmat Allah sepadan dengan kekerasan kaidah-kaidah itu
- Janganlah memandang taurat PL sebagai sesuatu yang
lengkap. Secara teknis taurat itu tidak meliputi segala hal. Pandanglah
taurat PL sebagai suatu model pola yang memberi contoh-contoh untuk seluruh
perilaku yang diharapkan
- Janganlah mengharapkan taurat PL untuk dikutip
seringkali oleh para nabi atau PB. Ingatlah bahwa inti taurat (sepuluh
firman dan dua hukum yang utama) diulang dalam kitab nabi-nabi dan
dibaharui dalam PB
- Pandanglah taurat PL sebagai suatu karunia yang
dermawan kepada orang Israel, yang membawa banyak berkat bila ditaati.
Janganlah pandang taurat PL sebagai sekelompok peraturan yang
sewenang-wenang serta menyebalkan dan membatasi kekesan orang.