Pada Th 1000
SM sebelum lahirnya para pemikir cina seperti :1 Laow Tze Tao, 2. Hud Tze
Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu , Bangsa Chow dari Hainan bermigrasi ke selatan
sampai ke Kalimantan dan menjadi suku-suku Dayak yang nama sukunya berdasarkan
nama sungai tempat mereka tinggal termasuk Suku Sampit.
Penduduk
Sampit Kalimantan Selatan dilanda wabah penyakit “blarutan” yang menyerang
pencernaan. Mereka menyeberang ke pulau jawa dan mendirikan kampung yang
dipimpin Ki Sendang yang juga dari sampit, dan putrinya Ni Rahki. Tempat itu
sekarang disebut lasem (Pantura Jatim, berbatasan dengan jateng).
Pendatang
dari sampit ini gemar mengunyah buah pinang, dan bersahabat dengan ikan pesut
atau sejenis hiu (lodan) kecil. Sehingga di daerah itu ada teluk lodan.. mereka
juga mengagumi banteng betina sehingga mereka tidak mau makan banteng. Mereka
menganut kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini Dibawa oleh Nabi Djo
So No sekitar tahun 1000 SM. Ajaran ini bersifat Monotheis mereka percaya
adanya "Sedulur Papat" yaitu Djoborolo(Djibril), Mokoholo(Mikhail),
Hosoropolo(Hisropil) dan Hojorolo(Hijroil).
Pada th 230
SM Ki Sendang diwisuda jadi Datu Tanjung Putri. Dan menetapkan kalender jawa
Whuning Sebagai tahun 1. dan membuat arca Ki Sendang dari batu hitam sebesar
orang dewasa.
30 tahun
kemudian pemerintahannya diserahkan pada Ni Rahki dan suaminya Hang lelesi. 75
tahun kemudian terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang kebudayaannya
lebih maju yang ahli dalam pengolahan bermacam-macam logam. Mereka bahkan
adayang saling kawin campur antara jawa Whuning dan Jawa Sampung.
Tahun 1
Masehi gunung Argapura meletus. Pada th 100 M, Tanjung putri kembali ramai
dipimpin oleh Datu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban).
Tahun 110 M
terjadi Gempa besar. Tahun 115 Datu Hang Tsuwan mendeklarasikan Negara Jawa
Dwipa, dengan bersatunya Jawa Whuning dan Jawa Pegon, setelah terjadi kawin
campur antara dua suku tersebut.
Tahun 387 M
Datu Hang Sambadra mendirikan perguruan filsafat Kanung(Whuning) di gunung
Tapa’an , Rembang.
Di taun
Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra membuat plabuhan dan galangan-kapal
(=dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (Bekasnya sekarang menjadi
ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan desa Tulis, Kecamatan Lasem).
perahu-kapal itu sebagai penghubung Pemerintahan Pucangsula dengan
Banjar-banjar wilayanya seurutan pesisir Jawa (Pantura), mulai banjar-Losari
teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), ketimur hingga banjar Rabwan (Kabupaten
Batang) dan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), kemudian banjar Purwata dan
banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), tepian pulau Maura sebelah timur yaitu
banjar-Tayu dan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan
Pucangsula bertempat di timur galangan kapal dibuatkan Gapura menghadap kebarat
menghadap Laut-teluk Kendheng (Sekarang menjadi desa Gepura) dari gapura disana
dibuatkan jalanan sepanjang lereng Pegunungan Argasoka hingga pusat kota
Pucangsula.
Tahun 396
Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Datsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari
Keling/Kalingga(Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi
Agastya Kumbayani, yang juga adalah penyebar agama Hindu. dan lahirlah Arya
Asvendra anak mereka. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan
orang Keling.
Di taun: 412
Masehi ada Pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen(Fa Hian)berlayar
dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok); tiba-tiba
lagi hingga laut Jawa-Dwipa ada angin topan besar, kapalnya kemudian mangkal ke
pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhatu
Hang Sam Badra, setiap hari diajak wawancara bab rupa-rupa pengalamanya Sang
Hwesio olehnya berkelana ke manca-negara. Dhatu Hang Sam Badra dengan adiknya
Pandhita Hang Jana Bandra sepakat sangat mencocokkan intisarinya ajarannya Sang
Buddha itu bercampur-luluh dengan laras Kearifan Jawa-Hwuning.
Di taun
Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra meletakkan jabatan, pemerintahan Pucangsula
diserahkan Dewi Sibah diwisudha ditetepkan menjadi Dattsu-agung (=Prabu-putri).
Rsi Agastya menjadi Kepala banjar Rabwan(Roban) dan banjar Batur hingga
Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula.
Sedang
adiknya Dewi Sibah bernama: Dewi Sie Mah Ha (=Simah), yang menjadi Adipati-anom
Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat menjadi Dattsu,
dipindah ke banjae-gede Blengoh dijadikan Keraton keling/Kalingga.
Orang-orang
yang tidak menjadi tani, diprentahkan bekerja ngumpulkan belerang dari lereng
kawah Dieng; belerangnya sebagai pedagangan negara Baturretna diganjolkan
barang-barang petukangan dan kain sutra dengan Pedagang dari negara China,
melalui plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bersama menjadi besar dan
makmur, Dhatu Rsi Agastya kemudian mrentahkan tukang-tukang ahli pahat batu
orang-orang dari Endrya-Satvamayu, diutus membuat Candhi banyak sekali; setiap
candhi terdapat patung Shiwa Bathara Guru; letaknya candhi ke bumi punggur
Gunung Dieng. Dan dinamakan Pasraman-agung Endrya pra-Astha.
Tahun 436.
Terjadi perang antara Baturretna dan Keling memperebutkan pertambangang
Belerang, dinamakan Perang saudara Endriya pra Astha, dalam perang itu Rsi
Agatsya gugur, dan pihak keling menang.
tahun
Masehi: 450, Gunung Dieng meletus, tahun 470, Gunung Ungaran meletus, taun Masehi:
471, Gunung Maura (Murya) meletus. Bumi Argasoka menjadi hutan belantara.
Taun Masehi:
620, bumi disana itu sudah dihuni orang berkelana dari negara Keling Dattsu
Dewi Simah, orang Pegunungan Ngargapura, dan orang Pegunungan Sukalila. ada
pemuda gegedhug A.L. Keling yang masih Trah-darah turun ke enem dari Hang
Sabura/ Dewi Simah, bernamane: Hang Anggana; miliknya mengajak orang-orang
Pelaut negara Keling dan Petani pokol yang berkelana tersebut, dijak membuka
hutan pejaten membuat desa dan plabuhan yang tepian nggenggeng disebutgkitri
rupa-rupa, bersama sudah menjadi desa disebut: Getas-Pejaten, plabuhane
disebut: Tanjungkarang.
Di taun
Masehi: 645, sebab dari setelah makmur banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana
kemudian mengembangkan tempat itu mekar keutara serta menyediakan pusat kota
memakai bernamane dirinya disebut Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana
bandhol paprangan). Sekarang disebut kota: Kudus
Sabab dari
ekspor kayu jati glondongan, kapas Randu dan minyak kelapa ekonomi bertumbuh
dan banyak orang-orang kaya baru. Akibatnya Orang-orang kaya, pembesar dan kaum
kelas atas di Rananggana itu mulai terpikat meniru Seni Budaya dan agama Hindu
dari Chola; masuknya Kabudayaan Chola ke negara Rananggana menggeser Tata
Budibudaya suci Jawa-Hwuning yang dianggep remeh dan rendah. Karena kalah
gebyar, Tokoh-pengbesar dan orang Muda-kota yang umur 18 taun kebawah merasa
gagah menggunakkan Budayanya orang Cholamandala/Coromandel; lebih-lebih para
Wanitanyapun ikut-ikutan.” tetapi rakyat kecil di pedesaan, tidak terpengaruh
Kabudayan luar negeri yang seperti tersebut.
Dhatu Hang
Anggana , tidak seperti para pedagang kaya yang menganut Hindu Syiwa, Beliau
juga mengikuti ikut masuk Agama-Hindu tetapi bukan Hindu Shiwa, dirinya
beragama Hindhu-Kanung. Maka wujudnya Pamujan utawa Puranya tidak meniru corak
Hindhu Chola atau Hindhu Dieng, dirinya membuat Pamujan Lembu-Nandhi duduk di
Altar melambangkan Kekuatan Rakyatnya, serta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu
besar sangat, melambangkan: Hang Anggana Dhatu Agung yang berbakti pada nenek
moyang serta Dhanhyang Leluhurnya.
1. KERAJAAN
KALINGGA (670 M)
DHATU HANG
ANGGANA (632-648M)
KARTIKEYASINGA
(648-674 M)
RATU SHIMA
(674 – 703)
Ratu Sima
adalah isteri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai
dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga , yang memerintah
antara tahun 632 sampai dengan 648. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal
dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja
– yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M - adalah kakak dari ibunda Prabu
Kartikeyasinga Raja Kalingga .
Kerajaan
Kalingga adalah kerajaan bercorak Hindu. Pusat pemerintahan diperkirakan di
wilayah Kabupaten Jepara saat ini. Berdiri pada sekitar abad ke-6, dan pernah
diperintahkan oleh Ratu Shima.
Parwati anak
Ratu Shima, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama
Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), , raja ke 2 dari Kerajaan Galuh. mereka
berputri Sanna /Sannaha (710 – 717) yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan
Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama
SANJAYA yang sempat menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
KERAJAAN
KANJURUHAN(tahun 682 Saka / tahun 760 M)
Dalam
Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana
berikut :
•Ada sebuah
kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
•Setelah
Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
•Sang Liswa
terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
•Sang Liswa
memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
•Raja
Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman
diseluruh negeri
•Raja dan
rakyatnya mengidolakan kepada Rsi Agastya.
•Bersama
Raja dan para pembesar negeri memohon Sang Maharesi Agastya menghilangkan
penyakit.
•Raja
melihat Arca Rsi Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
•Maka raja
memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
SANJAYA (717
– 746)
Setelah
Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi
raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM, dan kemudian
mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di
Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari TEJAKENCANA, yaitu TAMPERAN
BARMAWIJAYA alias RAKEYAN PANARABAN.
2. KERAJAAN
SAILENDRA /MATARAM BUDHA (750-850 M.)
Santanu
(...-...) pendiri Klan Sailendra, Istrinya bernama Bhadrawati
Dapunta
Syailendra (...-674)
Rakai
Panangkaran (750-782), pendiri Kerajaan Sailendra
Istana
berbenteng Kerajaan Sailendra yang beragama Budha ini petilasannya masih bisa
kita lihat di Kraton Boko, Kalasan, Yogyakarta.
Kerajaan
Sailendra di Jawa Tengah bertakhta raja Dinasti Sailendra. Selama masa
kekuasaannya (750-850 M.) candi Budha terkemuka, Borobudur, didirikan. Di tahun
772 M. rumah ibadat Budha lainnya juga dibangunkan, tercakup di sini candi
Mendut, tahun 778 ia membangun Candi Kalasan . Semua tempat pemujaan ini
dipelihara sebagai obyek turis berdekatan dengan kota Yogyakarta. Kerajaan
Sailendra juga diketahui untuk kekuasaan komersial dan bahar, dan kesenian dan
kebudayaan yang kian berkembang. Penuntunan penyanian gugus, dikenal Candra
Ca’ana pertama-tama disusun pada tahun 778 M..
Rakai
Panunggalan atau Dharanindra (782)
Rakai Warak
atau Samaragrawira (800)
Rakai Garung
alias Samaratungga (850)
Wangsa
Sailendra adalah kerajaan Budha yang berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil
pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Sampai akhirnya, sekitar
tahun 840-an.
Setelah
ditaklukkan oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, sang Putri Mahkota
(Pramodawardhan) dinikahi oleh Pangeran Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya.
Sedangkan adik Pramodawardhani yaitu Pangeran Balaputradewa melarikan diri ke
Sriwijaya yang sama-sama beragama Budha.
3. KERAJAAN
MEDANG I BHUMI MATARAM / MATARAM HINDU (732M)
Sanjaya
(732M), pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu,
Maharani
Shima memiliki cucu yang bernama SANAHA, memiliki anak yang bernama SANJAYA .
Sanjaya
menggantikan Maharani Shima dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang
kemudian disebut MEDANG I BUMI MATARAM
Rakai
Panangkaran/Dyah Pancapana (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770)
Antara tahun
770-850 M Dinasti Sanjaya menjadi jajahan Dinasti Sailendra.
Rakai
Pikatan (840-656) , Setelah sekian lama menjadi jajahan Sailendra, maka Rakai
Pikatan Menaklukkan Sailendra dan mendirikan Candi Hindu, Prambanan sebagai
monumen kemenangannya. Kemudian menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa
Sailendra . Ia kemudian memindahkan istananya ke Mamrati.
Raja
berikutnya:
Rakai
Kayuwangi atau Dyah Lokapala (856 – 880)
Rakai
Watuhumalang (880-899)
Rakai
Watukura Dyah Balitung (899–911)
Dyah
Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil
mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali.
Mpu Daksa
(913–919)
Pemerintahan
Balitung diperkirakan berakhir karena perebutan kekuasaan oleh Mpu Daksa yang
mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh
menantunya, Dyah Tulodhong.
Rakai Layang
Dyah Tulodong (919–924)
Tulodhong
sendiri akhirnya turun tahta karena kekuasaannya direbut oleh Dyah Wawa.
Sri Maharaja
Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (928–929)
Ada beberapa
sebab kenapa ibukota Medang pindah ke Jawa Timur. Yang paling banyak diyakini
adalah karena kawasan ibukota lama di sekitar Yogyakarta amat rawan bencana.
Gunung Merapi pernah meletus dengan hebat sehingga istana kerajaan hancur.
4. KERAJAAN
WANGSA ISANA (929M)
Sri Isana
Wikramadharmottungga(Mpu Sindok) (929 – 947), Wangsa Isana, saat pusat
kekuasaan Medang berada di Jawa Timur
Sri Lokapala
suami Sri Isanatunggawijaya (947-989)
Makuthawangsawardhana
(989-991)
Dharmawangsa
Teguh (991-1006),
Pada tahun
1006 (atau 1016) saat Dharmawangsa tengah imengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram. Aji
Wurawari adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas
5. KERAJAAN
KAHURIPAN (1009-1042 M)
Airlangga
(1009-1042)
Airlangga
adalah putera Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali.
Bersama pengawalnya, Narotama, Airlangga mengungsi ke hutan dan pegunungan. Di
sana ia hidup sebagai pertapa, lalu mendirikan Kerajaan Kahuripan dan menjadi
Raja Tahun 1009.
Tahun 1017
M, Rajendra Chola, Raja Coromandel di India menyerang Sriwijaya.
Setelah
Kerajaan Sriwijaya melemah di tahun 1025 karena serangan
Kerajaan
Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri
ke
pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari.
Kerajaan
Melayu Jambi(Dharmasraya), menaklukan dan meruntuhkan Kerajaan Sriwijaya.
Keluarga kerajaan Sriwijaya Melarikan diri ke Kahuripan.
Tahun 1030
M, Airlangga menikahi putri dari Raja Sangrama Wijayatunggawarman, Raja
Sriwijaya.
Pada akhir
pemerintahannya, Airlangga mulai memikirkan ahli waris penerus kerajaan.
Seharusnya, yang berhak pertamakali naik tahta adalah putrinya, Sanggramawijaya
Tunggadewi. Namun sang putri tidak menginginkan tahta kerajaan. Ia memilih
hidup sebagai pertapa.
Selain
Sanggramawijaya Tunggadewi, ia memiliki dua putra: Sri Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan. Akhirnya, pada November 1042, Airlangga membagi kerajaan itu menjadi
dua: Kadiri dan Janggala.
6. JANGGALA
DAN KADIRI (1042M)
Kadiri
beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya. Janggala beribu kota
di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan.
Setelah
membagi dua kerajaannya, Airlangga kembali ke hutan pegunungan. Ia menjalani
kehidupan pertapa hingga akhir hayatnya pada tahun 1049.
Raja-raja
Jenggala:
• Mapanji
Garasakan, (1044)
• Alanjung
Ahyes, (1052).
•
Samarotsaha, (1059).
Raja-Raja
Kadiri:
• Sri
Samarawijaya (1042-1120)
• Sri
Jayawarsa (1120-1182)
• Sri
Kameswara (1182-1194), memiliki permaisuri dari Janggala bernama Kirana(Dewi
Candrakirana). Kisah mereka terekam dalam Naskah cerita Panji dalam wayang
beber dan cerita-cerita panji.
• Sri
Jayabhaya(1135-1157)
Sri
Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang
terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu
Menang.
Pada masa
pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya.
Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara,
bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Seni sastra
mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157
Kakimpoi Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh.
Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas
Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu,
Mpu Panuluh juga menulis Kakimpoi Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat
pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang
menulis Kakimpoi Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya
terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu
Triguna yang menulis Kresnayana.
Dalam Buku
Pararaton dikisahkan:"seorang Biksu aliran Mahayana, bertapa di Panawijen,
bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan luar biasa cantik bernama
Ken Dedes. Ken Dedes dilarikan oleh Seorang Akuwu di Tumapel bernama Tunggul
Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak menjumpai anaknya,
sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; maka Mpu Purwa mengutuk Akuwu Tunggul
Ametung. Selanjutnya dikisahkan Akuwu dibunuh Ken Arok dan diambil istrinya,
dan Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel".
Prabu
Kertajaya (1157-1222), Dalam Pararaton Kertajaya juga tidak disukai kaum biksu
, yang kemudian para Biksu meminta perlindungan Ken Angrok penguasa daerah di
Tumapel.
7. SINGASARI
(1222M)
Ranggah
Rajasa Sang Girinathaputra / Ken Angrok (1222-1247 M)
Tumapel
semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu
(setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara
licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi
akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari
kekuasaan Kadiri.
Pada tahun
1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum biksu. Para
biksu lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi
raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan
Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Kerajaan
Singasari ini beragama resmi campuran Shiwa-budha. Nagarakretagama pendiri
kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga
menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Raja-raja
Tumapel/Sigasari versi Pararaton :
1. Ken Arok
alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati
(1247 - 1249)
3. Tohjaya
(1249 - 1250)
4.
Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5.
Kertanagara (1272 - 1292)
Raja-raja
Tumapel/Sigasari versi Nagarakretagama :
1. Rangga
Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati
(1227 - 1248)
3.
Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4.
Kertanagara (1254 - 1292)
Raja-raja
Tumapel/Sigasari versi prasasti Mula Malurung :
Kerajaan
Tumapel didirikan oleh Rajasa alias Bhatara Siwa setelah menaklukkan Kadiri.
Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati
sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng).
Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu,
Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.Prasasti Mula
Malurung menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri
dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan
yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara. Kertanagara menjadi raja muda
di Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268, ia bertakhta di Singhasari.
Pararaton
dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana
dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah
Mahisa Campaka.
Kertanagara
adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292).
Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.
Pada tahun
1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra
sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Pulau
Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Prasasti
Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama
Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca
Amoghapasa dari atasannya, yaitu Raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari di
Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.Raja
Mauliwarmadhewa ,yang Permaisurinya bernama Puti Reno Mandi, memiliki dua putri
yang cantik jelita, yaitu Dara
Jingga dan
Dara Petak yang menjadi hadiah kepada Raja Jawa tetapi sesampai di Jawa,
penguasa Jawa adalah Raden Wijaya Menantu Raja Kertanegara.
Pada tahun
1284, Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa
pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar
Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh
Kertanagara.
Kerajaan
Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya
mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelang-Gelang/kediri, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar,
sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati
terbunuh
Jayakatwang,
adipati Kadiri, Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan
kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden
Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa
baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa
"pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya
bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden
Wijaya berbalik mengusir sekutu Mongolnya dan mendirikan negara Majapahit.
8. MAJAPAHIT
(1293-1500 M)
Raden Wijaya
Pendiri Majapahit adalah putra Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Campaka
(Narasingamurti), Putra Anusapati, Putra Ken Arok.
________________________
Menurut
Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Raden Wijaya adalah
putra dari Pangeran Jayadarma yang adalah putra Prabu Darmasiksa Sanghyang
Wisnu (1175 - 1297) Raja Galuh Pakuan. Pangeran Jayadarma adalah menantu Mahisa
Campaka pangeran Dari Singasari di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah
Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya
atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya
________________________
Jayanegara,
adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya,
Tantja. Ibu tirinya, Gayatri Rajapatni, seharusnya menggantikannya, tetapi
Rajapatni pensiun dari istana dan menjadi biksuni.
Tribhuwana
Wijayatunggadewi, putri Gayatri Rajapatni menjadi ratu Majapahit. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai tahun 1350.
Hayam Wuruk,
juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada. Dibawah perintah Gajah Mada (1313–1364), Majapahit
menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah
kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2]
menyebabkan runtuhnya kerajana Sriwijaya. Jendral terkenal Gajah Mada lainnya
adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau. Menurut
Kakimpoi Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.
Raja-raja
Majapahit:
1. Raden
Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2.
Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri
Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam
Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5.
Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita
(1429 - 1447)
7.
Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8.
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9.
Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10.
Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11.
Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478), Raja Majapahit terakhir.
Prabu
Kertabumi punya 3 putra dan putri yang terkenal dan keturunannya :
1. Ratu
Pembayun/Nyai Ranawijaya -> Kebo Kenanga -> Jaka Tingkir(Sultan
Hadiwijaya/Pajang)
2. Pangeran
Jimbun/Raden Patah (Sultan Syah Alam Akbar/Demak) -> Raja-raja Demak
3. Pangeran
Bondan Kejawan/Lembu Peteng -> Getas Pendawa -> Ki Ageng Selo -> Ki
ageng Nis -> Pemanahan -> Danang Sutowijoyo -> Raja-raja Mataram Islam
Bhre
Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara
Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan
pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Prasasti
Petak: "kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha
lawaning majapahit"(“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh
berperang melawan Majapahit”)
Dalam
tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus
dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya
digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah kalahnya Bre Kertabumi, raja
ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
9. KERAJAAN
DAHA/KADIRI/KELING (1478–1498 M)
Bhre Keling
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya / Handayaningrat , bergelar Brawijaya VI (1478
- 1498) ,
Setelah
menaklukkan Majapahit kemudian menikahi Ratna Pembayun Putri Brawijaya V.
Babad
Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan
Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Penyerbuan Sultan Trenggano ini
dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti
yang dilaporkan Tome Pires.
Penyerbuan
itu di pimpin Sunan Gunung Jati. setelah takluk Bhre Keling Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya Handayaningrat (Adipati Keling), menghamba pada Sunan Gunung
jati dan keturunan para pengikutnya sampai sekarang menjadi Jurukunci Makam
Sunan Gunung Jati di Cerebon.
dan
Ada Juga
Putra-Putra Adipati Keling yaitu Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga, beserta
keluarga kerajaan Keling/Daha melarikan diri ke Pengging.
10. KERAJAAN
PENGGING (1498-1518 M)
Prabhu
Hudhara / Kebo Kenanga, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Kebo Kenanga
Masuk Islam aliran Syech Siti Jenar, Sedangkan Kebo Kanigara tidak suka dengan
kepercayaan Syech Siti Jenar dan tetap memeluk Hindu, Kebo Kanigara memutuskan
berpisah dan bertapa di hutan.
Ki Ageng
Pengging / Kebo Kenanga, yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, menawarkan
daerah Pengging sebagai pesantren Syeh Siti Jenar.
Tahun 1497
Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan
Demak dan Sultan Cirebon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menumpas ajaran
Syeh Siti Jenar dan keluarga Pengging.
Mas
Karebet/Jaka Tingkir, Putra Ki Ageng Pengging diasuh Nyi Ageng Tingkir,
kemudian di asuh Kakak Nyi Ageng Tingkir yang bernama Ki Ganjur yang menjabat
Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana Demak Bintoro). Jaka Tingkir
kemudian terdaftar menjadi Prajurut. Karirnya melejit dari prajurit biasa,
menjadi "Lurah Wiratamtama", sampai menjadi Sultan di Pajang.
11. DEMAK
(1478 M)
Raden Patah
atau Panembahan Jimbun atau Sultan Syah Alam Akbar, yaitu yang disebut Sultan
Demak Pertama, adalah Putra Brawijaya V
Pati Unus
juga disebut Pangeran Sabrang Lor. Dia putra Raden Patah atau Panembahan
Jimbun. Tahun 1511 ,menguasai Jepara, pada tahun 1513 menyerang Malaka.
Persiapan yang dilakukan dalam rangka penyerangan tersebut membutuhkan waktu
tujuh tahun. Dan bisa mengumpulkan kapal hingga sembilan puluh dan 12 ribu
prajurit, juga meriam yang sangat banyak. Akan tetapi perlawanan Portugis
sangat sengit, hingga dipaksa mundur pulang tanpa hasil.
pada tahun
1518 juga mengalahkan Daha, pusaka kerajaan dibawa ke Demak .
Sultan
Trenggana (Tahun 1521 - 1550) Kerajaan Demak sangat berkuasa sekali, Menguasai
tanah Jawa Barat, kota-kota di pesisir utara dan juga merebut jajahan
majapahit, serta kerajaan Supit Urang (Tumapel) juga menjadi diperintah oleh
Demak. Sementara Blambangan itu milik Bali.
Sunan
Prawoto, 1546, naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang
(sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
12. PAJANG
(1547 M)
Sultan
Adiwijaya/Mas Karebet/Jaka Tingkir (1549 -1588 M)
Setelah
peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada
Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan
Adiwijaya/Jaka Tingkir sebagai sultan pertama.
Asal usul:
Mas Karebet/Jaka Tingkir bin Prabu Hudara/Kebo kenanga/Raja Pengging, bin
Girindrawardana/Raja Daha. Jaka Tingkir Semula mengabdi ke ibu kota Demak dan
diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama tapi
kemudian dipecat karena membunuh calon prajurit bernama Danungawuk dalam ujian
masuk prajurit.
Jaka Tingkir
kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Ki Ageng Banyubiru (saudara
seperguruan ayahnya). Setelah lulus, Jaka Tingkir diangkat menjadi bupati
Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri
Sultan Trenggana.
Adiwijaya
mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan
mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah. Sayembara dimenangi Danang
Sutawijaya, cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam
perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun
siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.
13. MATARAM
(1588 M)
Danang
Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati, bin Ki ageng Pemanahan, bin Ki ageng
Nis, bin Ki Ageng Selo, bin Ki Getas Pendawa, bin Pangeran Bondan Kejawan, bin
Brawijaya V.
Waktu
setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap ke Pajang dan dianggap
tidak setia.
Perbuatan
Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang
antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan
jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan, Dan Sultan Adiwijaya jatuh dari
gajah.
1588 -
Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
"Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan
Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 -
Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan
Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing
Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas
Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro.
Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu
Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan
gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
1645 -
Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677
- Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
1677 -
Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat.
Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran
Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan
gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
14. KARTASURA
(1680 M)
1680 -
Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 -
Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 -
Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
1704 -
Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I.
Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
1708 -
Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada
1734.
1719 - Susuhunan
Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 -
Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar
Susuhunan Paku Buwono II.
1742 -
Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
1743 -
Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak
dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan
kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang)
bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan
VOC.
1745 -
Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan
Beton.
1746 -
Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai
Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10
tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan
satu kerajaan kecil.
1749 - 11
Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram
kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya
pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff
mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 -
Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran
(daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM
Said.
1754 -
Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota
Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain
meratifikasi nota yang sama.
15.
YOGYAKARTA DAN SURAKARTA (1755 M)
1755 - 13
Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati
Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih
populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 -
Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta
dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati
Ing Ayudha".
1788 -
Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 -
Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA
Mangku Nagara I meninggal.
1813 -
Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir
perang Diponegoro. Seluruh daerah Bagelen dan Pantai Utara dirampas Belanda. 27
September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan
Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh
Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem
Yogyakarta. Bagelen secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Oleh Alif
Kota Cahaya