PENDAHULUAN
Menurut Sayuti (2007) bahwa ketika
muncul kesadaran bahwa yang lokal selalu menjadi korban marginalisasi sehingga
terpinggirkan, seluruh masyarakat (etnik) yang ada perlu meredefinisi diri
sendiri dan budayanya. Orientasinya harus diarahkan pada kesejatian fitrah
manusia sebagai pelaku yang sadar untuk menjaga eksistensinya. Itulah sebabnya,
identitas menjadi penting, baik dalam konteks lokal maupun nasional.
Sebagai bangsa, hingga kini kita
memiliki dua macam sistem budaya, yakni sistem budaya lokal dan nasional, yang
keduanya tetap harus dipelihara dan dikembangkan. Tujuannya adalah agar kita
semua mampu menghayati nilai lokal, dan sekaligus mampu menghayati yang
nasional. Implikasinya menjadi dilematis: apakah nilai-nilai yang ada itu
diolah secara kreatif atau dimanfaatkan
begitu saja. Yang jelas, upaya apapun yang dilakukan hendaknya tidak terjebak
menjadi upaya penghapusan identitas (lokal tertentu).
Selanjutnya dijelaskan oleh Sayuti
(2007) bahwa dalam konteks butir-butir di atas, pendidikan dapat diposisikan
secara strategis, yakni pendidikan yang berorientasi pada tumbuh-kembangnya
kesadaran budaya, yang antara lain bisa dilakukan melalui pendidikan muatan
lokal dengan semangat multikultural. Melaluinya, pemahaman nilai-nilai bersama
dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama diupayakan. Pendeknya,
upaya membangun kesadaran terhadap adanya kearifan lokal sebagai sebuah
realitas dan identitas budaya, pada akhirnya memang tidak boleh diabaikan.
Dengan cara demikian, pada akhirnya
masyarakat diharapkan memiliki ketahanan budaya yang memadai.
Nilai-nilai kearifan lokal tersebut
meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas,
yang pada gilirannya akan memunculkan sikap budaya yang mandiri, penuh
inisiatif, dan kreatif dalam diri peserta didik. Kearifan lokal yang juga
meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, juga berfungsi untuk membangun
kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa
sekarang. Penghayatan semacam itu perlu ditanamkan sejak dini sebagai landasan
pembinaan kesantunan sikap dan budi pekerti luhur.
Periode pendidikan pada usia dini tersebut akan mudah bagi orang tua dan
pendidik untuk mengajarkan dan menanamkan berbagai nilai sopan santun kepada
anak usia dini yang dapat digunakan sebagai modal dasar untuk berinteraksi dan
bergaul dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut menjadi suatu hal sangat
penting karena untuk membantu anak di dalam menyelesaikan salah satu tugas
perkembangannya, yaitu mulai meluaskan lingkungan sosialnya.
Mengajarkan dan menanamkan nilai sopan santun pada anak usia dini dengan
berlandaskan nilai budaya lokal, salah satunya dapat melalui pengenalan dan pendidikan
unggah-ungguh bahasa Jawa. Masa usia
dini tersebut merupakan periode emas (golden
age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini
adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam
fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian,
psikomotor, kognitif maupun sosialnya.
Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu merupakan fakta di lingkungan anak yang
dapat digunakan sebagai stimulans terhadap perkembangannya, khususnya dalam perkembangan
sosialnya melalui pengenalan dalam upaya pendidikan unggah-ungguh bahasa Jawa. Tentu saja dalam hal ini, bukan
pendidikan atau pembelajaran unggah-ungguh
bahasa Jawa yang bersifat formal dan teoritik. Anak dapat belajar berbagai budaya
Jawa, tetapi lebih menekankan pada pengenalan unggah-ungguh bahasa Jawa yang bersifat praktis dalam konteks
kehidupan sehari-hari dan menyenangkan sesuai dengan usia perkembangan anak di
usia dini.
Hal tersebut penting karena pada kenyataan dalam kehidupan sehari-hari
baik di rumah atau di lingkungannya, anak-anak usia dini selalu menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
keseharian. Sementara pengetahuan bahasa Indonesia anak terbatas, khususnya
bagi anak di pedesaan maupun di pinggir kota. Akibatnya, anak-anak tersebut akan
berbicara, menjawab ataupun bertanya kepada gurunya dalam bahasa Jawa ngoko. Penggunaan bahasa Jawa ngoko tersebut dirasa kurang sopan jika
diucapkan kepada gurunya.
Fenomena lain di kehidupan pendidikan dewasa ini adalah adanya sekolah plus
yang menekankan anak usia play-group, TK, dan SD bisa berbahasa
Inggris daripada berbahasa daerah. Padahal, bahasa daerah, selain mengajarkan
bahasa, juga terselip pendidikan budi pekerti, sikap santun dan unggah-ungguh
pada orang yang lebih tua. Akibatnya, lambat laun ciri khas daerah dari sisi
bahasa dan seni budaya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
lenyap. Banyak generasi muda tak paham bahasa daerahnya sendiri apalagi kultur
budayanya. Ini salah satu kondisi memprihatinkan menyangkut pendidikan
pelestarian seni budaya nusantara yang konon bhinneka tunggal ika.
Dari deskripsi singkat di atas, dapat digambarkan bahwa pengetahuan akan
bahasa Jawa, yang merupakan salah satu khazanah budaya bangsa Indonesia, bagi
anak-anak Jawa usia dini itu sendiri dapat dikatakan memprihatinkan.
UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA
Adisumarto (dalam Suharti, 2001: 69) menyatakan bahwa “unggah-ungguh bahasa Jawa adalah adat
sopan santun, etika, tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa.” Berdasarkan
pengertian tersebut nampak bahwa unggah-ungguh
bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan
bertutur (bahasa Jawa ragam krama dan
ngoko) saja, namun di dalamnya juga
terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap.
Di dalam memperkenalkan bahasa Jawa inilah sarana pendidikan sopan santun
anak usia dini dapat dikembangkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Sabdawara (2001) bahwa bahasa Jawa dapat
digunakan sebagai wahana pembentukan budi pekerti dan sopan santun karena kaya
dan lengkap dengan perbendaharaan kata sebagai bahasa yang meliputi: fungsi,
aturan atau norma kebahasaan, variasi atau tingkatan bahasa, etika dan
nilai-nilai budaya yang tinggi dengan segala peran fungsinya. Adapun fungsi
bahasa Jawa menurut Sabdawara (2001: 127-128) antara lain sebagai berikut:
- bahasa Jawa adalah bahasa budaya di samping berfungsi komunikatif juga berperan sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur,
- sopan santun berbahasa Jawa berarti mengetahui akan batas-batas sopan santun, mengetahui cara menggunakan adat yang baik dan mempunyai rasa tanggung jawab untuk perbaikan hidup bersama,
- agar mencapai kesopanan yang dapat menjadi hiasan diri pribadi seseorang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a.
pandai menenggangkan perasaan orang lain di dalam
pergaulan,
b.
pandai menghormati kawan maupun lawan,
c.
pandai menjaga tutur kata, tidak kasar, dan tidak
menyakiti hati orang lain.
Berdasarkan pendapat tersebut di
atas, maka sangatlah tepat bahwa pada usia dini, anak-anak diperkenalkan dan
diajarkan tentang unggah-ungguh bahasa
Jawa karena sebagai landasan perkembangan perilaku pada periode
selanjutnya. Orang tua dan
pendidik hendaknya tidak bosan dan lelah untuk selalu memberikan nasihat,
teladan, ruang pilihan, kesempatan untuk mengambil keputusan, keleluasaan bagi
anak-anak untuk meneladan, mengikuti dan menilai baik dan buruk, benar salah
suatu sikap, perilaku atau perbuatan.
BEBERAPA
CARA MENGENALKAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA
JAWA
Perkembangan otak anak sangat
bergantung pada stimulasi yang diperoleh dari lingkungan. Anak usia dini belajar
tentang diri mereka dan dunianya ketika berinteraksi dengan orang lain.
Pengalaman-pengalaman positif dalam aspek emosi, fisik dan intelektual yang
didapat pada tahun-tahun awal kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan
otak yang sehat.
Saat anak berinteraksi dengan orang lain,
sangatlah penting untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman positif mengenai
perilaku sopan, yaitu perilaku berunggah-ungguh,
sebagai salah satu cara memperkenalkan unggah-ungguh.
Memperkenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut tidak
hanya sekedar mengajarkan atau mengenalkan untuk mengetahui tentang pengucapan
kata-kata bahasa Jawa dalam tataran ngoko
atau krama yang baik dan buruk, atau
yang benar dan salah, tetapi merupakan pelatihan pembiasaan terus menerus
tentang sikap berunggah-ungguh yang benar
dan baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari.
Diharapkan anak akan terbiasa melakukan kebiasaan sopan di dalam rumah
maupun di luar rumah karena pada saat usia dini, anak merupakan
peniru ulung sekaligus pembelajar ulet, maka pengenalan dan pembiasaan unggah-ungguh bahasa Jawa perlu dimulai
sejak usia dini. Selain itu, kebiasaan melakukan perilaku yang sopan dan
berunggah-ungguh tersebut penting baik
di masa kanak-kanak maupun setelah
dewasa.
Ada pepatah mengatakan bahwa anak-anak tidak pernah menjadi pendengar
yang baik bagi orang tuanya, tetapi anak dapat menjadi peniru ulung pada orang
tuanya. Anak-anak pada usia dini belajar melalui apa yang ada dan terjadi di
sekitarnya, bukan mendengarkan nasehat. Nilai yang diajarkan kepada anak usia
dini melalui kata-kata, hanya sedikit yang dapat anak lakukan, sedangkan nilai
yang diajarkan melalui perbuatan akan banyak yang dapat dilakukan atau
ditirunya (Riyanto, 2005: 71).
Berdasarkan hal tersebut, maka tepatlah bahwa mengenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa kepada anak
usia dini tidak hanya terbatas pada penggunaaan kosakata atau berbagai bentuk
tingkat tutur ngoko dan krama saja, tetapi juga harus diikuti
dengan teladan perbuatan yang santun dari orang-orang sekitar di lingkungannya.
Dengan kata lain, bahwa di dalam unggah-ungguh
bahasa Jawa juga mengandung nilai-nilai sopan santun. Hal tersebut dapat
terlihat di dalam cara atau sikap seseorang ketika berbicara dengan orang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai orang berunggah-ungguh Jawa adalah orang yang
ketika berhubungan dengan orang lain menampakkan sopan santunnya, baik bahasa
atau tutur katanya dan sikap atau perilakunya.
Adapun cara mengenalkan unggah-ungguh
bahasa Jawa kepada anak usia dini dapat dilakukan dengan beberapa hal, di
antaranya adalah melalui cara-cara sebagai berikut.
1. Bercerita/ Mendongeng Berbahasa Jawa
Dongeng Jawa sangat banyak jumlahnya, baik yang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, maupun yang kurang populer. Beberapa dongeng yang
cukup dikenal di antaranya Andhe-andhe
Lumut, Lutung Kasarung, Cindhelaras, Kleting Kuning, Tiyang Tani lan Tikus. Berbagai
macam dongeng atau cerita anak tersebut merupakan warisan para leluhur yang
tidak hanya sekedar cerita fiktif yang penuh imajinasi saja, meskipun kata
“dongeng” juga dijarwadhosokkan dengan dipaido ya keneng (disangsikan
pun boleh). Akan tetapi, banyak hal yang
dapat dipetik dari dongeng-dongeng tersebut, salah satunya adalah pitutur atau
nilai budi pekerti yang masih relevan dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam kehidupan masyarakat sekarang ini.
Seperti kebanyakan dongeng atau cerita anak yang lain,
dongeng berbahasa Jawa juga dapat digunakan sebagai salah satu upaya
mengembangkan dan menciptakan lingkungan berekspresi, berimajinasi, dan belajar
yang memungkinkan anak-anak mampu menggali, mengkaji, menerapkan konsep dan
nilai budi pekerti, dan membiasakan diri berbudi pekerti dalam kehidupan
sehari-hari (Depdiknas, 2001: 65).
Ajaran mengenai nilai-nilai kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang disampaikan
melalui dongeng tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan anak. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Ayriza (1999: 2) yang mengemukakan bahwa dalam proses
perkembangan, masa anak-anak dapat dikatakan merupakan suatu masa peka untuk
perkembangan beberapa aspek kejiwaan, yaitu suatu kurun waktu sesuatu fungsi
akan berkembang secara optimal apabila lingkungan mampu memberikan stimulasi
yang memadai. Dongeng dapat menjadi suatu sarana untuk menstimulasi
perkembangan beberapa aspek kejiwaan anak sehingga diharapkan anak akan mamapu
mencapai batas paling atas dari rentang potensi perkembangannya.
Ketika membaca dongeng, pada hakikatnya anak dibawa
untuk melakukan sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan
imajinatif, ke sebuah dunia relatif yang belum dikenalnya yang menawarkan
berbagai pengalaman kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 41).
Dengan dihadapkan pada keaneragaman pengalaman
kehidupan tersebut, anak dapat belajar untuk mengungkap berbagai hal yang
menyangkut pengalaman kehidupan. Salah satunya adalah penggunaan bahasa Jawa,
baik krama maupun ngoko oleh para tokoh dalam cerita.
Tuturan atau percakapan yang disampaikan oleh para tokoh juga dapat menjadi
cerminan berunggah-ungguh Jawa yang
santun. Seorang tokoh anak yang berbicara kepada tokoh orang yang lebih tua
akan menggunakan bahasa Jawa krama,
sedangkan tokoh orang tua berbicara dengan bahasa Jawa ngoko.
Melalui suasana kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang dibangun dan ditanamkan di dalam dongeng tersebut,
anak akan menginternalisasikan nilai-nilai kesopanan berunggah-ungguh yang positif ke dalam sistem moralnya, baik melalui
imitasi, identifikasi, maupun modeling.
Orang tua di rumah dapat membacakan dongeng atau
bercerita dengan bahasa Jawa tersebut tidak hanya pada saat menjelang tidur
saja. Akan tetapi, gunakan waktu luang yang tepat sesuai dengan
kebiasaan-kebiasaan anak. Selain itu, saat mendongeng, sebaiknya dilakukan
dengan suasana yang menyenangkan, menggunakan gerak tangan atau tubuh, ekspresi
atau mimik wajah yang mendukung dongeng tersebut. Hal yang terpenting adalah
jangan memaksa anak untuk mendengar dongeng atau cerita yang dibacakan, namun
menciptakan suasana menyenangkan dan membuat anak merasa ‘ketagihan’
mendengarkan dongeng, menjadi hal yang utama bagi pendidik dan orang tua.
2. Bernyanyi Lagu-lagu Anak Berbahasa Jawa
Tembang dolanan atau lagu anak berbahasa Jawa, juga
dapat digunakan sebagai sarana untuk mengenalkan dan mengajarakan bahasa Jawa,
baik krama maupun ngoko kepada anak di usia dini. Seperti
halnya dongeng Jawa, tembang dolanan juga sangat beragam. Selain kental dengan
nuansa budaya Jawa, juga mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebaikan atau
budi pekerti bagi anak. Beberapa contoh tembang
dolanan antara lain Aku Duwe Pitik,
Bibi Tumbas Timun, Paman Tukang Kayu, Sinten Nunggang Sepur, Ana Tamu dan
Menthog-menthog. Salah satu contoh lirik tembang dolanan Ana Tamu tersebut
adalah sebagai berikut.
E
e e e ana tamu,
mangga mangga lenggah rumiyin,
bapak nembe siram, ibu tindak
peken,
mangga mangga lenggah ngriki (Jati
Rahayu, 2004: 4).
Lirik tersebut dapat diartikan sebagai berikut.
‘E e e
e ada tamu,
silahkan duduk dulu,
ayah sedangkan mandi, ibu pergi ke pasar,
silahkan duduk di sini’
Lirik di atas sarat dengan nuansa kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang sederhana, namun
sangat dekat dengan kebiasaan sehari-hari anak. Lirik tersebut mengajarkan
kepada anak berbahasa Jawa yang sopan kepada seorang tamu dalam nuansa
tatakrama menerima tamu.
3. Berlatih Mengucap Kalimat Bahasa Jawa Sederhana
Melalui Bermain Peran
Cara lain yang dapat
diterapkan dalam mengenalkan unggah-ungguh
bahasa Jawa kepada anak usia dini adalah melalui bermain peran sederhana.
Anak-anak dilatih mengucapkan kalimat sederhana bahasa Jawa dan penerapannnya
dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
dan masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda. Ada yang berperan sebagai
ayah, ibu, anak, guru atau teman sebaya. Materi bermain peran unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut
dipilih topik-topik yang sangat sederhana karena disesuaikan dengan keadaan
anak di usia dini. Beberapa contoh topik yang dapat dikembangkan adalah sebagai
berikut.
a.
menawa kowe pamit
marang bapak ibu: Pak, Bu, kula
nyuwun pamit badhe sekolah,
‘Bila
kamu meminta ijin kepada bapak ibu: Pak, Bu, saya pamit berangkat sekolah.’
b.
menawa kowe
diparingi sangu ibu: Bu, Kula matur
nuwun.
‘Bila diberi uang saku oleh
ibu: Bu, saya terima kasih.’
c.
matur ibu guru
yen arep pipis: Bu Guru, kula badhe
pipis.
‘Bila meminta ijin untuk
buang air kecil: Bu Guru saya akan buang air kecil’.
Topik-topik di atas sangat
sederhana, namun kandungan makna dari kegiatan bermain peran tersebut
diharapkan sangat dalam karena di dalamnya terdapat transfer nilai-nilai sopan
santun dalam bertutur, baik dengan orang tua maupun dengan pendidik.
Dengan cara menirukan
kalimat beragam krama (melalui bermain peran) terkait dengan
kehidupan praktis yang selalu dihadapi anak-anak sehari-hari, maka hal tersebut
akan selalu terekam dengan baik di dalam ingatannya. Selain itu, akan selalu
menjadi acuan ketika berperilaku dan bersikap serta berinteraksi sosial di
lingkungannya.
Di dalam contoh materi di atas
nampak bahwa anak usia dini dapat
diperkenalkan dan diajarkan bagaimana cara berpamitan kepada orang tua ketika
akan berangkat ke sekolah, dengan bahasa Jawa ragam krama yang sederhana, cara berterima kasih bila mendapatkan uang saku
dari orang tua. Selain itu, juga diberikan contoh bertutur dengan santun ketika
anak harus meminta ijin untuk buang air kecil. Sehingga pada akhirnya anak
didik akan membiasakan dirinya bertutur dengan penuh kesopanan, meskipun dengan
bahasa Jawa yang sederhana.
Selain ketiga cara di atas,
ada hal penting yang dapat dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam
mengenalkan dan mengajarkan unggah-ungguh
bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari anak di usia dini, yaitu bagaimana
caranya membiasakan anak untuk selalu berperilaku sopan santun dengan
orang-orang di lingkungannya.
Ada berbagai macam cara atau
pendekatan pembinaan watak dalam upaya pembiasaan bersopan santun tersebut.
Menurut Riyanto (2004: 71- 81) cara tersebut adalah sebagai berikut ini.
1) Orang tua atau pendidik dapat menjadi teladan
moral bagi anak-anak. Menjadi model pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu
pilihan bebas, tetapi suatu keharusan yang tak terelakkan sebagai orang tua/
pendidik;
2) Harapan yang realistis.
Orang tua atau pendidik harus merencanakan harapan perkembangan moral bagi anak
yang sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangannya;
3) Menunjukkan cinta yang
tanpa syarat. Anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan positif dan cinta
tanpa syaratutk mengembangkan dirinya yang berharga sehingga anak-anak juga
akan mampu memperlakukan orang lain dengan cinta dan perhatian serta
menghargai;
4) Menyokong harga diri
anak sehingga dapat memunculkan rasa percaya dirinya.
Dengan mengembangkan dan memadukan berbagai cara atau pendekatan secara
tepat diharapkan pengenalan unggah-ungguh
bahasa Jawa bagi anak-anak di usia dini dapat berhasil dengan baik sebagai
modal dasar tahap perkembangan selanjutnya.
PENUTUP
Mengenalkan unggah-ungguh
bahasa Jawa pada anak-anak usia dini melalui pembiasaan berunggah-ungguh bahasa Jawa secara praktis, menyenangkan, dan sesuai
dengan kehidupan sehari-hari, dapat membiasakan anak untuk berperilaku sopan.
Selain itu juga dapat digunakan sebagai acuan anak usia dini ketika berperilaku dengan penuh kesantunan dalam interaksinya
dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Perkembangan yang diperoleh pada periode usia dini ini sangat berpengaruh
terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa usia
dini (masa emas) ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat
berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam
bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan
terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ayriza, Yulia. 1999. Dongeng dalam Perspektif Psikologi.
Makalah disampaikan pada Workshop Dongeng oleh Pusat Studi Budaya - Lembaga
Penelitian UNY.
Depdiknas. 2001. Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti Pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah I. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra
Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Riyanto, Theo. 2004. Pendidikan Pada Usia Dini. Tuntunan Psikologis dan Pedagogis bagi Pendidik dan Orang Tua.
Jakarta: gramedia Widiasarana Indonesia.
Sabdawara. 2001. Pengajaran Bahasa Jawa Sebagai Wahana
Pembentukan Budi Pekerti Luhur.
Makalah Konggres. Yogyakarta : Konggres Bahasa Jawa
III.
Sayuti, Suminto A. 2007. Yang Lokal dan Nasional di Tengah
Budaya Global. Makalah Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis FISE UNY
tanggal 8 September 2007.
Suharti. 2001. Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama dalam
Keluarga Sebagai Sarana Pendidikan
Sopan Santun. Makalah Konggres. Yogyakarta :
Konggres
Bahasa Jawa III.