-->

Pengantar Manajemen 6 - Kekuasaan, Kewenangan, Tanggung Jawab dan Delegasi



Desain organisasi melahirkan empat konsep yang juga penting dalam struktur organisasi, yaitu kekuasaan (power), kewenangan (authority), tanggung jawab (responsibility), dan pelimpahan wewenang (delegation). Setiap bagian dalam suatu orgariisasi memiliki kekuasaan, kewenangan, serta tanggung jawab. Ketika kekuasaan, kewenangan, serta tanggung jawab tidak dapat sepenuhnya dipegang oleh seseorang, maka dapat dilakukan apa yang dinamakan sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan sekaligus juga tanggung jawab atau apa yang dinamakan sebagai delegation.


KEKUASAAN (POWER)

Kekuasaan sering kali dikonotasikan negatif jika dikaitkan dengan isu politik. Padahal dalam pengertian yang paling sederhana, kekuasaan atau power berarti suatu kemampuan untuk memengaruhi orang atau merubah orang atau situasi. Jika perubah­an pada orang atau situasi adalah perubahan yang baik, tentunya power tersebut mem­berikan konotasi yang positif bahkan sangat diperlukan. Konotasi negatif dari kekuasaan sering kali muncul dikarenakan terdapat berbagai kasus di mana seseorang atau sebuah organisasi yang diberi kekuasaan tidak menggunakannya untuk hal yang positif.
Kekuasaan sesungguhnya merupakan konsekuensi logis yang muncul dari setiap organisasi yang di dalamnya terdapat pimpinan dan bawahan, atau manajemen puncak dan manajemen tingkat bawah. Karena organisasi merupakan kumpulan orang dalam pencapaian tujuan, maka organisasi ditujukan untuk mengubah situasi melalui orang­orang agar perubahan terjadi. Agar perubahan ini dapat terjadi, maka kekuasaan di­perlukan.

Faktor yang Mendasari Adanya Kekuasaan

Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip oleh Stoner, Freeman dan Gilbert (1995), terdapat lima faktor yang mendasari lahirnya sebuah kekuasaan(sources of power). Kelima faktor tersebut adalah reward power, coercive power, legitimate power, expert power, dan referent power.

Reward Power
Reward power atau kekuasaan untuk memberikan penghargaan adalah kekuasaan yang muncul sebagai akibat dari seseorang yang posisinya memungkinkan dirinya untuk . memberikan penghargaan terhadap orang-orang yang berada di bawahnya. Sebagai contoh adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seorang manajer personalia atau manajer SDM. Disebabkan posisi dirinya membawahi seluruh sumber daya manusia organisasi atau tenaga kerja dari sebuah perusahaan misalnya, maka seorang manajer personalia memiliki reward power dikarenakan bagian yang lebih tinggi dari manajer personalia tersebut akan menanyakan mengenai Kinerja tenaga kerja perusahaan melalui manajer personalia tersebut. Akibatnya, manajer personalia memiliki kekuasaan tersebut. Orang­orang atau tenaga kerja yang berada di bawah manajer personalia dengan sendirinya memiliki semacam ketergantungan terhadap manajer personalia, sehingga manajer personalia tersebut dapat, dikatakan memiliki semacam kekuasaan yang dinamakan sebagai reward power karena penghargaan terhadap Kinerja SDM dapat dikatakan sangat tergantung kepada penilaian dari manajer personalia tersebut.

Coercive Power
Coercive power atau kekuasaan untuk memberikan hukuman adalah kebalikan atau sisi negatif dari reward power. Kekuasaan ini merupakan kekuasaan seseorang untuk memberikan hukuman atas Kinerja yang buruk yang ditunjukkan oleh SDM atau tenaga kerja dalam sebuah organisasi. Setiap pimpinan pada dasarnya memiliki reward sekaligus coercive power ini. Oleh karena itu, setiap pimpinan perlu untuk sangat berhati-hati dalam menggunakan jenis kekuasaan ini, karena pada dasarnya setiap manusia tidak ada yang menginginkan untuk menerima hukuman.

Legitimate Power
Legitimate power atau kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang muncul sebagai akibat dari suatu legitimasi tertentu. Misalnya, seseorang yang diangkat menjadi pemimpin, secara otomatis dia meroniliki semacam kekuasaan yang sah atau terlegitimasi. Demikian pula seseorang yang diangkat menjadi manajer, direktur, dan hierarki pimpinan lainnya.

Expert Power
Expert power atau kekuasaan yang berdasarkan keahlian atau kepakaran adalah kekuasaan yang muncul sebagai akibat dari kepakaran atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Seorang dokter, misalnya, memiliki semacam kekuasaan ini. Dikarenakan dirinya memiliki keahlian dalam mendiagnosa suatu penyakit, maka secara sadar mau­pun tidak sadar, seorang pasien yang berkonsultasi kepada dokter akan mengikuti apa saja yang diusulkan atau dianjurkan oleh sang dokter sejauh hal tersebut bisa membantu sang pasien untuk sembuh dari penyakitnya. Demikian pula dengan pakar-pakar di bidang lainnya.

Referent Power
Referent power adalah kekuasaan yang muncul akibat adanya karakteristik yang diharapkan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki pengaruh terhadap seseorang atau sekelompok orang tersebut. Ketika rakyat meng­inginkan sosok pemitnpin yang jujur misalnya, maka ketika ada sosok calon presiden yang dikenal sebagai seorang yang jujur dengan sendirinya sang calon presiden tersebut memiliki apa yang dinamakan sebagai referent power tersebut dikarenakan orang-orang tengah menginginkan karakteristik yang dimiliki oleh sang calon presiden tersebut, yaitu kejujuran.
Setiap bagian dari struktur organisasi sebagaimana diterangkan di bagian awal bab ini memiliki jenis kekuasaannya masing-masing, terutama di bagian yang berada pada hierarki yang paling tinggi dalam suatu organisasi, seperti direktur, presiden direktur, dan sejenisnya. Pada umumnya kekuasaan tersebut lebih disebabkan karena legitimasi tertentu yang ditentukan oleh mekanisme dalam organisasi. Kekuasaan ter­sebut meliputi kekuasaan untuk memerintah, mengoreksi, atau pun mengoordinasikan bagian yang berada di bawahnya. Namun, dikarenakan kekuasaan pengertiannya sangat luas dan lebih banyak digunakan dalam istilah politik, maka dalam organisasi, istilah kekuasaan cenderung jarang dipergunakan. Sebagai gantinya istilah kewenangan atau authority lebih sering dipergunakan.


KEWENANGAN (AUTHORITY)

Kewenangan atau authority pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan yang sering kali dipergunakan dalam sebuah organisasi. Kewenangan merupakan kekuasaan formal atau terlegitimasi. Dalam sebuah organisasi, seseorang yang ditunjuk atau dipilih untuk memimpin suatu organisasi, bagian, atau departemen memiliki ke­wenangan atau kekuasaan yang terlegitimasi. Seseorang yang ditunjuk untuk menjadi manajer personalia dengan sendirinya terlegitimasi untuk memiliki kewenangan dalam mengatur berbagai hal yang terkait dengan sumber daya manusia atau orang-orang yang terdapat di dalam organisasi.

Dua Pandangan Mengenai Kewenangan Formal

Terdapat dua pandangan mengenai kewenangan formal, yaitu pandangan klasik (classical view) dan pandangan berdasarkan penerimaan (acceptance, view).

Pandangan Klasik
Pandangan klasik mengenai kewenangan formal menerangkan bahwa kewenangan pada dasarnya terlahir sebagai akibat adanya kewenangan yang lebih tinggi dari kewenangan yang diberikan. Misalnya saja, seorang manajer mendapatkan kewenangan formal akibat adanya pemberian kewenangan dari pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi, misalnya saja direktur utama. Seorang kapten dalam tradisi militer memiliki kewenangan formal untuk memerintah para prajurit dikarenakan kewenangan tersebut diterimanya dari seseorang yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi dari­nya, misalnya dari jenderal. Dengan demikian, kewenangan formal menurut pandangan klasik bersifat pendekatan top-down, atau dari hierarki yang atas ke hierarki yang lebih bawah.

Pandangan Berdasarkan Penerimaan
Pandangan kedua cenderung berbeda dengan pandangan yang pertama. Tidak setiap kewenangan yang bersifat top-down serta-merta akan dijalankan oleh bawahan. Kadangkala kita mendapati apa yang diperintahkan oleh atasan misalnya tidak dijalankan oleh bawahan. Hal tersebut barangkali bukan disebabkan bahwa sang atasan tidak memiliki kewenangan, akan tetapi apa yang kemudian dilakukan oleh atasan tidak dapat diterima oleh bawahan. Pandangan yang berdasarkan penerimaan (acceptance view) memandang bahwa kewenangan formal akan cenderung dijalankan atau diterima oleh bawahan tergantung dari beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Chester Barnard terdiri dari empat hal, yaitu (1) bawahan dapat memahami apa yang diinginkan atau dikomunikasikan oleh pimpinan atau atasan; (2) pada saat sang bawahan memutuskan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasannya, dia meyakini bahwa apa yang diperintahkan konsisten atau tidak bertentangan dengan rencana pencapaian tujuan organisasi; (3) pada saat sang bawahan memutuskan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasannya, dia meyakini bahwa apa yang diperintahkan konsisten mendukung nilai, misi, maupun motif pribadi atau kelompoknya; dan (4) sang bawahan mampu secara mental maupun fisik menjalankan apa yang diperintahkannya.

Berdasarkan kedua pandangan ini, bisa dikatakan bahwa tidak setiap kewenangan dapat mengubah situasi ke arah yang diinginkan. Berbagai jenis organisasi tentunya memiliki kekhasannya sendiri, apakah cenderung mengikuti pandangan klasik atau pandangan yang berdasarkan penerimaan. Hal tersebut sangat bergantung pada berbagai faktor internal dan eksternal yang dihadapi oleh organisasi David McClelland mengemukakan ada "dua muka dari kekuasa­an'; yaitu sisi negatif dan sisi positif. Sisi negatif mengandung arti bahwa memiliki kekuasaan berarti menguasai orang lain yang lebih lemah. Kepemimpinan yang didasarkan atas sisi negatif kekuasaan memperlakukan orang sebagai tidak lebih dari "bidak" yang diguna­kan atau dikorbankan bila perlu. Hal ini jelas merugikan, karena orang-orang yang merasa hanya sebagai "bidak" akan cenderung me­nentang kepemimpinan atau menjadi pasif.

Sisi positif kekuasaan ditandai dengan perhatian pada pencapai­an tujuan kelompok. Ini meliputi penggunaan pengaruh atas nama, dan bukan kekuasaan di atas orang lain. Manajer yang menggunakan kekuasaan positif mendorong anggota kelompok untuk mengembang­kan kekuatan dan kecakapan yang mereka butuhkan untuk me­raih sukses sebagai perseorangan atau an.u!ota suatu organisasi. Peng­gunaan kekuasaan secara tepat merupakan motivator besar bagi ang­gota organisasi.

Keluasan wewenang dan kekuasan. Semua anggota organisasi mem­punyai peraturan, kode etik, atau batasan-batasan tertentu pada we­wenangnya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini:



Tabel Batasan-batasan internal dan eksternal untuk wewenang dan kekuasaan



Lingkupan wewenang dan kekuasaan manajerial ini akan sema­kin luas pada manajemen puncak suattt organisasi dan semakin me­nyempit pada tingkatan yang lebih rendah dari rantai komando, se­perti terlihat pada gambar diatas.
Tanggung jawab dan akuntabilitas. Tanggung jawab (responsibility) adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang timbul bila seorang bawahan menerima wewenang manajer untuk mendelegasikan tugas atau fungsi tertentu. Istilah lain yang sering digunakan adalah akunta­bilitas (accountability) yang berkenaan dengan kenyataan bahwa ba­wahan akan selalu diminta pertanggungjawabannya atas pemenuhan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.

Jadi, tidak seperti tanggung jawab, akuntabilitas adalah faktor di luar individu dan perasaan pribadinya. Pemegang akuntabilitas berarti bahwa seseorang atasan dapat memberlakukan hukuman atau balas­ jasa kepadanya tergantung bagaimana dia sebagai bawahan telah menjalankan tanggung jawabnya.

Persamaan wewenang dan tanggung jawab. Salah satu prinsip organi­sasi penting adalah bahwa indi%zdu-individu seharusnya diberi wewe­nang untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Sebagai contoh, bila tanggung jawab seorang manajer adalah mempertahankan kapasitas produksi tertentu, maka dia harus diberi kebebasan secukupnya un­tuk membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kapasitas produksi.

Persamaan tanggung jawab dan wewenang tersebut adalah baik dalam teori, tetapi sukar dicapai. Terjadi banyak pertentangan pen- . dapat dalam masalah ini. Secara ringkas dapat disimpulkan, wewe­nang dan tanggung jawab adalah sama dalam jangka panjang (in the long run). Dalam jangka pendek (in the short run), bagaimanapun juga, tanggung jawab seorang manajer hampir selalu lebih besar dari wewenangnya, karena ini merupakan ciri delegasi.

Pengaruh. Pengaruh (influence) adalah suatu transaksi sosial di mana seseorang atau kelompok dibujuk oleh seseorang atau kelompok lain untuk melakukan kegiatan sesuai dengan harapan mereka yang mempengaruhi. Pengaruh tercermin pada perubahan perilaku atau si­kap yang diakibatkan secara langsung dari tindakan atau keteladanan orang atau kelompok lain. Pengaruh dapat timbul karena status ja­batan, kekuasaan mengawasi dan menghukum, pemilikan informasi lebih lengkap, ataupun penguasaan saluran komunikasi yang lebih baik. Proses pengaruh tergantung pada tiga unsur, yaitu pihak yang mempengaruhi, metoda mempengaruhi dan pihak yang dipenga­ruhi.

STRUKTUR LINI DAN STAF

Konsep lini dan staf sering membingungkan, sehingga dalam sub bab ini akan dibahas bentuk organisasi lini dan staf; wewenang lini, staf dan fungsional; serta sumber konflik lini-staf.

Organisasi Lini
Semua organisasi mempunyai sejumlah fungsi-fungsi dasar yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, organisasi perusahaan biasanya paling sedikit mempunyai tiga fungsi dasar - produksi (manufactur­ing atau operasi), pemasaran (atau penjualan) dan keuangan. Fungsi­fungsi dasar tersebut dilaksanakan oleh semua organisasi, baik manu­facturer, pedagang eceran, perusahaan jasa, ataupun organisasi "nonprofit". Fungsi-fungsi ini biasanya disusun dalam suatu organi­sasi lini dimana rantai perintah adalah jelas dan mengalir kebawah melalui tingkatan-tingkatan manajerial. Gambar 10.4. menunjukkan sebuah contoh organisasi lini (tidak lengkap). Seperti terlihat, indivi­du-individu dalam departemen-departemen melaksanakan kegiatan­kegiatan utama perusahaan - produksi, pemasaran dan keuangan. Setiap orang mempunyai hubungan pelaporan hanya dengan satu atasan, sehingga ada kesatuan perintah.



Organisasi Lini dan Staf
Staf merupakan individu atau kelompok (terdiri para ahli) da­lam struktur organisasi yang fungsi utamanya memberikan saran dan pelayanan kepada fungsi lini. Karyawan staf atau staf departemen ti­dak secara langsung terlibat dalam kegiatan utama organisasi atau departemen. Sebagai contoh, staf spesialis pemeliharaan tidak men­ciptakan produk, menjual, dan mengelola keuangan. Gambar 10.5 dibawah ini menggambarkan orgarusasi lini dan staf, di mana posisi staf ditambahkan untuk memberikan saran dan pelay-anan departe­men-departemen lini (Ian membantu mereka mencapai tujuan orga­nisasi dengan lebih efektif.

Beberapa alasan mengapa organisasi perlu membedakan antara kegiatan-kegiatan lini dan staf. Pertama, karena kegiatan-kegiatan lini mencerminkan pekerjaan pokok organisasi; manajemen puncak harus secara khusus memperhatikan kebutuhan integritas dan pengaruh de­partemen-departemen tersebut. Pembatasan pelaksanaan departemen lini dengan melimpahkan terlalu banyak wewenang kepada staf dapat mengurangi moral dan efisiensi departemen bersangkutan. Kedua, pengetatan yang harus dibuat organisasi dalam waktu krisis sangat di­tentukan oleh pilihan terhadap departemen lini atau staf. Sebagai contoh, suatu perusahaan yang sedang menghadapi penurunan per­mintaan produknya (karena kondisi ekonomi yang tidak mengun­tungkan) cenderung melakukan pengetatan terutama pada departe­men lini. Tetapi bila permintaan tetap kuat tetapi organisasi perlu menekan biaya, maka pengetatan lebih cenderung dilakukan pada departemen staf.



WEWENANG LINI,  STAF DAN FUNGSIONAL

Wewenang Lini
Wewenang Lini (lme authority) adalah wewenang dimana atasan me­lakukannya atas bawahannya langsung. Ini diwujudkan dalam wewe­nang perintah dan secara langsung tercermin sebagai rantai perintah, serta diturunkan kebawah melalui tingkatan organisasi.

Wewenang Staf
Wewenang staf (staff authority) adalah hak yang dipunyai oleh satu­an-satuan staf atau para spesialis untuk menyarankan, memberi reko­mendasi, atau konsultasi kepada personalia lini. Ini tidak memberi­kan wewenang kepada anggota staf untuk'memerintah lini menger­jakan kegiatan tertentu. 

Wewenang Staf Fungsional
Wewenang staf fungsional (functional staff authority) adalah hubung­an terkuat yang dapat dimiliki staf dengan satuan-satuan lini. Bila di­limpahi wewenang fungsional oleh manajemen puncak

SUMBER KONFLIK LINI-STAF
Beberapa faktor dapat menimbulkan berbagai kontlik di antara departemen dan orang-orang lini dan staf. Faktor-faktor tersebut meliputi :
1.      Perbedaan umur dan pendidikan, orang-orang staf biasanya le­bih muda dan lebih berpendidikan daripada orang-orang staf, sehingga menimbulkan "generation gap".
2.      Perbedaan tugas, dimana orang lini lebih teknis dan generalis, sedang staf spesialis. Hal ini menimbulkan kejadian-kejadian se­bagai berikut :
a.       Karena staf sangat spesialis, mungkin menggunakan istilah­
b.      istilah dan bahasa yang tidak dapat dipahami orang lini,
c.       Orang lini mungkin merasa bahwa staf spesialis tidak sepe­
d.      nuhnya mengerti masalah-masalah lini dan menganggap
e.       saran mereka tidak dapat diterapkan atau dikerjakan.
3.      Perbedaan sikap, ini tercermin pada :
a.       Orang staf cenderung memperluas wewenangnya dan cen­derung memberikan perintah-perintah kepada orang lini untuk membuktikan eksistensinya.
b.      Orang staf cenderung merasa yang paling berjasa untuk ga­gasan-gagasan yang diimplementasikan oleh lini;sebaliknya,
c.       orang lini mungkin tidak menghargai peranan staf dalam membantu pemecahan masalah-masalahnya.
d.      Orang staf selalu merasa di bawah perintah orang lini; dilain
e.       pihak orang lini selalu curiga bahwa orang staf ingin mem­perluas kekuasannya.
4.      Perbedaan posisi. Manajemen puncak mungkin tidak mengko­munikasikansecara jelas luasnya wewenang staf dalam hubung­annya dengan lini. Padahal organisasi departemen staf ditempat kan relatif pada posisi tinggi dekat manajemen puncak. Depar­temen lini dengan tingkatan lebih rendah cenderung tidak se­nang dengan hal tersebut.

Ada dua tipe staf, yaitu staf pribadi dan staf spesialis. Staf pri­badi (personal staff) dibentuk untuk memberikan saran, bantuan dan jasa kepada seseorang manajer (individual). Staf pribadi kadang-ka­dang disebut sebagai "asisten" atau "asisten staf", yang mempunyai tugas bermacam-macam untuk atasan dan biasanya generalis.
Sedangkan staf spesialis memberikan saran, konsultasi, bantuan, dan melayani seluruh lini dan unsur organisasi. Disebut staf "spe­sialis" karena fungsinya sempit dan membutuhkan keahlian khusus. Staf spesialis mencakup spesialis pembelian, personalia, hukum, pemeliharaan dan sebagainya. Staf spesialis mung­kin bertanggung jawab ke tingkatan-tingkatan organisasi yang berma­cam-macam, seperti tingkatan divisi, tingkatan bagian, ataupun ting­katan cabang yang berdiri sendiri.


DELEGASI WEWENANG

Delegasi dapat didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab formal kepada orang lain untuk melaksanakan ke­giatan tertentu. Delegasi wewenang adalah proses di mana para mana­jer mengalokasikan wewenang ke bawah kepada orang-orang yang melapor kepadanya. Empat kegiatan terjadi ketika delegasi dilaku­kan :
a.       Pendelegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas ke­pada bawahan.
b.      Pendelegasi melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau tugas.
c.       Penerimaan delegasi, baik implisit atau eksplisit, menimbulkan kewajiban atau tanggung jawab.
d.      Pendelegasi menerima pertanggungjawaban bawahan untuk ha­sil-hasil yang dicapai.

Efektivitas delegasi merupakan faktor utama yang membedakan ma­najer sukses dan manajer tidak sukses.

Alasan-alasan Pendelegasian

Ada beberapa alasan mengapa perlu pendelegasian. Pertama, pendelegasian memungkinkan manajer dapat mencapai lebih dari bila mereka menangani setiap tugas sendiri. Delegasi wewenang dari atas­an ke bawahan merupakan proses yang diperlukan agar organisasi dapat berfungsi lebih efisien. Delegasi juga memungkinkan manajer memusatkan tenaganya pada tugas-tugas prioritas yang lebih penting. Di lain pihak, delegasi memungkinkan bawahan untuk turmbuh dan berkembang, bahkan dapat digunakan sebagai alat untuk belajar dari kesalahan.
Delegasi dibutuhkan karena manajer tidak selalu mempunyai se­mua pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Me­reka mungkin menguasai "the big picture" tetapi tidak cukup me­ngerti tentang masalah lebih terperinci. Sehingga, agar organisasi da­pat menggunakan sumber daya-sumber dayanya lebih efisien maka pelaksanaan tugas-tugas tertentu didelegasikan kepada tingkatan or­ganisasi yang serendah mungkin di mana terdapat cukup kemampu­an dan informasi untuk menyelesaikannya.

Pedoman Klasik untuk Delegasi Efektif

Ada pada satu atau beberapa manajer puncak saja. Suatu organi­sasi yang tumbuh semakin besar dan kompleks, ada kecende­rungan untuk meningkatkan desentralisasi. Begitu juga, tingkat pertumbuhan yang semakin cepat akan memaksa manajemen meningkatkan delegasi wewenangnya.

Prinsip-prinsip klasik yang dapat dijadikan dasar untuk delegasi yang efektif adalah :
1.      Prinsip Skalar. Dalam proses pendelegasian harus ada garis we­wenang yang jelas mengalir setingkat demi setingkat dari ting­katan organisasi paling atas ke tingkatan paling bawah. Garis we­wenang yang jelas akan membuat lebih mudah bagi setiap ang­gota organisasi untuk mengetahui :(a) kepada siapa dia dapat mendelegasikan, (b) dari siapa dia akan menerima delegasi, dan (c) kepada siapa dia harus memberikan pertanggungjawaban.
Dalam proses pembuatan garis wewenang dibutuhkan dele­gasi penuh, ) yang berarti bahwa semua tugas organisasi yang. di­perlukari' harus dibagi habis. Proses ini untuk menghindari ter­jadinya (a) gaps, yaitu tugas-tugas yang tidak ada penanggung jawabnya, (b) overlaps, yaitu tanggung jawab atas tugas yang sama diberikan kepada lebih dari satu orang individu, dan (c) splits, yaitu tanggung jawab atas tugas yang sama diberikan ke­pada lebih dari satu satuan or( granisasi. Bila hal-hal ini terjadi akan menimbulkan kebaiauan wewenang dan aktuitabilitas.

2.      Prinsip kesatuan perintah. Prinsip kesatuan perintah menyata­kan bahwa setiap bawahan dalam organisasi seharusnya melapor hanya kepada seorang atasan. Pelaporan kepada lebih dari satu atasan membuat individu mengalami kesulitan untuk mengeta­hui kepada siapa pertanggung jawaban diberikan dan instruksi mana yang harus diikuti. Disamping itu, bawahan dapat meng­hindari tanggung jawab atas pelaksanaan tugas yang jelek de­ngan alasan banyaknya tugas dari atasan lain.

3.      Tanggung jawab, wewenang dan akuntabiditas. Seperti telah ba­nyak dibahas di muka, prinsip ini menyatakan bahwa (a) agar orgazusasi dapat menggunakan sumber daya-sumber dayanya de­ngan lebih efisien, tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu diberikan ke tingkatan organisasi yang paling bawah di mana ada cukup kemampuan dan informasi untuk menyeiesaikannya; (b) konsekuensi wajar peranan tersebut adalah bahwa setiap individu dalam organisasi untuk melaksanakan tugas yang dilim­pahkan kepadanya dengan efektif, dia harus diberi wewenang secukupnya; dan (c) bagian penting dari delegasi tanggung ja­wab dan wewenang adalah akuntabilitas-penerimaan tanggung jawab dan wewenang berarti individu juga setuju untuk meneri­ma tuntutan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas. Bagi ma­najer, selain harus mempertanggung tawabkan tugas-tugasnya sendiri, juga harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas bawahannya.

Pengembangan komunikasi antara manajer dan bawahan akan meningkatkan saling pengertian dan membuat delegasi lebih efektif. er yang mengetahui kemampuan bawahannya dapat lebih rea­listis menentukan tugas-tugas mana dapat didelegasikan kepada ba­wahan tertentu. Bawahan yang didorong untuk menggunakan ke­mampuannya dan merasa manajer mereka akan memberikan "du­kungan" akan lebih bersemangat dalam menerima tanggung jawab.

Louis Allen telah mengemukakan beberapa teknik khusus untuk membantu manajer melakukan delegasi dengan efektif.
1.     Tetapkan tujuan. Bawahan harus diberitahu maksud dan pen­tingnya tugas-tugas yang didelegasikan kepada mereka.
2.     Tegaskan tanggung jawab dan wewenang. Bawahan harus diberi informasi dengan jelas "tentang apa yang mereka harus pertang­gung jawabkan dan bagian dari sumber daya-sumber daya orga­nisasi mana yang ditempatkan di bawah wewenangnya.
3.     Berikan motivasi kepada bawahan. Manajer dapat mendorong : bawahan melalui perhatian pada kebutuhan dan tujuan mereka yang sensitif.
4.     Meminta penyelesaian kerja. Manajer memberikan pedoman, bantuan dan informasi kepada bawahan, sedangkan para bawah­an harus melaksanakan pekerjaan sesungguhnya yang telah di­delegasikan.
5.   Berikan latihan. Manajer perlu mengarahkan bawaharn untuk mengembangkan pelaksanaan kerjanya.
6.     Adakan pengawasan yang memadai. Sistem pengawasan yang terpercaya (seperti laporan mingguan) dibuat agar manajer tidak perlu menghabiskan waktunya dengan memeriksa pekerjaan ba­wahan terus menerus.

SENTRALISASI dan DESENTRALISASI

Faktor penting lainnya yang menentukan efektifitas organisasi adalah derajat sentralisasi atau desentralisasi wewenang. Konsep sen­tralisasi, seperti konsep delegasi, berhubungan dengan derajat di ma­na wewenang dipusatkan atau disebarkan. Bila delegasi biasanya ber­hubungan dengan seberapa jauh manajer mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan yang secara langsung melapor kepadanya, desentralisasi adalah konsep yang lebih luas dan berhu­bungan dengan seberapa jauh manajemen puncak mendelegasikan wewenang ke bawah ke divisi-divisi, cabang-cabang atau satuan-sa­tuan organisasi tingkat lebih bawah lainnya.

Sentralisasi adalah pemusatan kekuasaan dan wewenang pada tingkatan atas suatu organisasi. Desentralisasi adalah penyebaran atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan ke­tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah.
Keuntungan-keuntungan desentralisasi adalah sama dengan ke­untungan-keuntungan delegasi, yaitu mengurangi beban manajer pun­cak, memperbaiki pembuatan keputusan karena dilakukan dekat de­ngan permasalahan, meningkatkan latihan, moral dan inisiatif mana­jemen bawah, dan membuat lebih fleksibel dan lebih cepat dalam pembuatan keputusan. Keuntungan-keuntungan ini tidak berarti bahwa desentralisasi "baik" dan sentralisasi "jelek", karena tidak ada organisasi yang sepenuhnya dapat disentralisasi atau di desentra­lisasi. Oleh sebab itu, pertanyaarnya adalah bukan apakah organisasi harus didesentralisasi, tetapi sampai seberapa jauh desentralisasi per­lu dilakukan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi

Desentralisasi mempunyai nilai hanya bila dapat membantu or­ganisasi mencapai tujuannya dengan efisien. Penentuan derajat de­sentraligasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai beriku t:
1.      Filsafat manajemen. Banyak manajer puncak yang sangat oto­kratik dan menginginkan pengawasan pusat yang kuat. Hal ini akan mempengaruhi kesediaan manajemen untuk mendelegasi­kan wewenangnya.
2.      Ukuran dan tingkat pertumbuhan organisasi. Organisasi tidak mungkin efisien bila semua wewenang pembuatan keputusan
3.      Strategi dan lingkungan organisasi. Strategi organisasi akan mempengaruhi tipe pasar, lingkungan teknologi, dan persaingan yang harus dihadapinya. Faktor-faktor ini selanjutnya akan mempengaruhi derajat desentralisasi.
4.      Penyebaran geografis organisasi. Pada umumnya, semakin me­nyebar satuan-satuan organisasi secara geografis, organisasi akan cenderung melakukan desentralisasi, karena pembuatan keputusan akan lebih sesuai dengan kondisi lokal masing-ma­sing.
5.      Tersedianya peralatan pengawasan yang efektif. Organisasi yang kekurangan peralatan-peralatan efektif untuk melakukan penga­wasan satuan-satuan tingkat bawah akan cenderung melakukan sentralisasi bila manajemen tidak dapat dengan mudah memoni­tor pelaksanaan kerja bawahannya.
6.      Kualitas manajer. Desentralisasi memerlukan lebih banyak ma­najer-manajer yang berkualitas, karena mereka harus membuat keputusan sendiri.
7.      Keaneka-ragaman produk dan jasa. Makin beraneka-ragam pro­duk atau jasa yang ditawarkan, organisasi cenderung melakukan desentralisasi, dan sebaliknya semakin tidak beraneka-ragam, le­bih cenderung sentralisasi.
8.      Karakteristik-karakteristik organisasi lainnya, seperti biaya dan risiko yang berhubungan dengan pembuatan keputusan, sejarah pertumbuhan organisasi, kemampuan manajemen bawah, dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat sentralisasi dan desentralisasi dalam, suatu organisasi, mungkin berbeda dengan berbe­danya divisi atau departemen organisasi atau perubahan lingkunaan internal maupun eksternai. Jadi, pendekatan paling logik yang dapat digunakan organisasi adalah mengamati segala kemungkinan yang terjadi (contingency approach).

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner

-->