Dikutip dari Antara News (18/1/12) Dinas Pendidikan Kota Padang menyatakan perihal larangan bagi pihak sekolah mulai dari SD hingga SMA sederajat menjual lembar kerja siswa (LKS). Menurut Kepala Dinasi Pendidikan Padang penjualan LKS melanggar aturan dan memberatkan orang tua siswa.
Pernyataan tersebut sangat kontekstual dengan situasi dunia pendidikan saat ini. Hampir kebanyakan sekolah baik swasta maupun negeri menjadikan LKS sebagai sumber belajar yang tidak dapat ditinggalkan bahkan setiap pergantian semester wajah LKS baru bermunculan dengan tampilannya yang memikat.
Daya tarik dan pikatannya terlihat dari pesan ‘manis’ yang ada di dalamnya, entah manis bagi pihak sekolah ataukah manis bagi para siswa? tentu ini menjadi pertanyaan yg mengusik pribadi saya. Bagi pandangan subjektif saya ‘manis’ ini sengaja dibuat dengan menyertakan ‘sakarin’ di dlmnya dan ini cukup menggangu ‘kesehatan pikiran’ para siswa yang mengkonsumsi.
Anehnya, dengan bahsa yg penuh dengan keindahan, Azhar menyampaikan bahwa LKS merupakan lembar kerja bagi siswa yang dapat digunakan dalam kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler dan digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang didapat (1993 : 78).
Sungguh pernyataan yang tidak kontekstual dengan realitas yang terjadi saat ini, bagaimanakah dampaknya jika pemahaman dimudahkan dengan kualiatas soal-soal yang bersifat instan? bukankah pendidikan adalah proses pembudayaan yang dilakukan secara terus menuerus dan dikontekstualisasikan dengan perkembangan jaman? kalau upaya memudahkan pemahaman ini tetap dilakukan dalam konteks soal yg terdapat di dlm LKS, ini sama artinya ‘pikiran’ siswa di instankan secara sistematis, dengan demikian tidak mengherankan apabila pelajar saat ini memiliki kecenderungan berpikir instan dan selalu menghindari persoalan hidup yang dialaminya.
Dampak dari instansisai pemikiran adl hadirnya pola tindakan yg dangkal tanpa adanya perenungan secara mendalam, maka tidak mengherankan muncul tawuran pelajar, fenomena sex bebas dikalangan pelajar dan masih banyak lagi persoalan kenakalan pelajar lainnya. Nah….melihat persoalan pelajar di atas, bagaimana mungkin LKS dapat menjawab persoalan tersebut jika proses pembentukan karakter yg dicita-citakan pak menteri dibengkokkan dan dilipat-lipat melalui Lembar Kerja Siswa (LKS) yang justru memberikan beban tidak logis dan melinierkan pikiran para siswa? Hal inilah yang saya katakana, LKS itu sesungguhnya bukanlah “Lembar Kerja Siswa” melainkan “Lembar Kebodohan Siswa”.
Beban tidak logis yang saya maksud di sini terlihat dari kualitas soal yang diberikan, hampir siswa tidak memiliki kemerdekaan sedikitpun dalam mengapresiasi persoalan dan bahkan siswa tidak dapat melakukan lompatan-lompatan pikiran yang mereka miliki lantaran semua jawaban sudah dibakukan oleh LKS itu sendiri.
Sebagai contoh sederhana, jika anda menempatkan diri sebagai seorang siswa Sekolah Dasar dan mendapatka soal; “Bagaimanakah gitar itu dimainkan?” atau “berapa jumlah kaki yang dimiliki kursi?” tentu jawaban yang baku adl bahwa gitar dimainkan dengan cara dipetik, dan kursi memiliki empat kaki”. Sungguh tdk logis, bukankah gitar bisa saja dimainkan dengan cara digesek, dipukul? dan bukankankah kursi bisa saja memiliki satu kaki, dua kaki atau bahkan tiga kaki??
Melihat realitas tersebut cukup tragis, karena pelipatan kreativitas dan pembudayaan ilmu pengetahuan dikerdilkan hanya dengan LKS yang sarat dng ‘kapitalisasi pendidikan’. Bukankah LKS ini bisa disikapi dengan cara mencarikan alternatif media lain yang dapat diupayakan oleh guru mata pelajaran itu sendiri? bisa jadi guru melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai embrio memunculkan alternatif media pembelajaran yang lebih kontektual sesuai dengan kondisi dan tingkat kecerdasan masing-masing siswa? (hal ini diakukan jika guru menggunakan sistem Multiple Intelligences).
Saya pikir dengan cara mencarikan alternatif pengganti LKS siswa semakin tidak terbebani dengan biaya pembeliannya yang sesungguhnya hal ini melanggar peraturan. Peraturan yang dimaksud adalah; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 181 "Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan."
Lantas dari mana dana yang digunakan untuk melakuakan pembuatan media alternatif pengganti LKS? tentu penyikapan ini berangkat dari kebijakan pengelola dan penanggung jawab sekolah, bisa jadi proses pembuatan media alternatif pembelajaran, guru dapat memanfaatkan atau menyerap dana BOS di mana secara aturan hal ini diperbolehkan dengan persetujuan kepala sekolah.
Upaya tersebut jika dilakukan secara baik mampu mereduksi hegomoni industri percetakan terhadap penyelenggara sekolah sehingga sekolah tidak lagi menjadi “calo” bagi kepentingan industri. Hubungan intim antara sekolah dengan industri khususnya percetakan LKS sudah saatnya diceraikan sehingga sistem pendidikan nasional tidak mengalami disorientasi.
Jika potret percaloan di dunia pendidikan tersebut masih tetap dipertahankan maka akan menjadikan sekolah tidak lagi murni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan, melainkan sebagai pasar dimana transaksi jual beli berlangsung.****
By : Sularso Larso