Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang kedua dan terakhir  (2003) sudah lama menyimpang dari kondisi dan aspirasi berbangsa dewasa  ini. Oleh karena itu, disarankan agar filosofi yang melahirkan UU  tersebut ditinjau kembali secara menyeluruh dan secepatnya.
Pemikiran  yang ramai disuarakan oleh berbagai kalangan umumnya menggambarkan  keresahan dan kebingungan. Selain itu, juga mengganggu keikhlasan nurani  para pendidik mengenai esensi, arah, dan peran pendidikan dalam  kaitannya dengan masa depan yang manusiawi.
Sebagian besar  dari kerisauan mereka terjebak dalam pandangan peran sekolah yang  membuat bangsa ini sebagai bangsa yang hanya tersekolah, tetapi luput  dari pemikiran membangun bangsa yang terdidik. UU Sistem Pendidikan  Nasional (Sisdiknas) lebih banyak berbicara tentang jenis, jenjang, dan  jalur sekolah sehingga UU tersebut lebih tepat disebut UU Persekolahan.  UU tersebut memang lebih banyak bicara tentang jenis, jenjang, dan jalur  sekolah berstandar arbitrer yang dipertaruhkan sebagai isu utama  pendidikan bangsa. Sebagai UU Sisdiknas, pendekatan ini sudah tidak  relevan.
Abaikan Hak Guru-Murid
Ujian  nasional sampai kini masih tidak memedulikan hak asasi guru untuk  menentukan kelulusan. Mewajibkan anak bangsa untuk belajar di sekolah  selama 9 atau 12 tahun (wajib belajar atau wajib sekolah?) lebih banyak  dikelola secara administratif dan tidak berpeluang memaknai perkembangan  kepribadian anak sepanjang hayat, dari lahir sampai ajal tiba.
Perbaikan  mutu guru dan tambahan honorarium terutama hanya ditentukan oleh  sejenis sertifikasi dan referensi pengalaman guru yang sebenarnya tidak  langsung bersangkut-paut dengan kebermaknaan hidup bangsa masa depan.
Profesionalisasi  guru memang mulai dibicarakan di tingkat pemerintah, tetapi sedikit pun  tidak ada konsep lebih dalam yang memasalahkan profesionalisasi  pendidikan secara menyeluruh. Apakah perbaikan mutu guru sudah sama  dengan perbaikan mutu pendidikan? Tentu belum dan tentu tidak!
Diingatkan  juga, sekarang ada kebijakan pemerintah membuat masyarakat yang agak  berduit berselera, bahkan bisa sampai meneteskan air liur karena percaya  seakan-akan sekolah bertaraf internasional jadi jaminan perbaikan mutu  pendidikan nasional. Akan tetapi, mereka gagal memperhitungkan realitas  yang pahit bahwa sekolah semacam itu sekarang hanya bertarif (bukan  bertaraf!) internasional.
Sekadar mengingatkan, di negeri  ini tidak akan pernah ada orang yang disebut Menteri Pendidikan  Internasional, dan diramalkan bahwa tidak bakalan pernah ada Universitas  Internasional. UU yang kita butuhkan adalah UU pendidikan untuk  kepentingan satu bangsa besar dengan masalah yang sangat unik.
Lebih  lanjut, janganlah kita lupa, sekitar 500 daerah otonom yang sudah lahir  sekarang, sebagai akibat ”pemekaran”, tak satu pun yang secara  eksplisit dimekarkan dan mengutamakan mencerdaskan kehidupan bangsa  sebagaimana amanat konstitusi. Yang jelas, ada orang berduit yang  mati-matian ingin jadi kepala daerah. Tak peduli apa pun alasannya.  Ribuan guru daerah (mereka semua adalah guru nasional), yang kebetulan  bukan bagian integral dari tim sukses kepala daerah, kini merasa sangat  kecewa dan ingin kembali jadi bagian dari kekuatan sentral, lepas dari  kelola kepala daerah.
Bagaimana seharusnya kita merumuskan  kebijakan pendidikan tentang penerapan konsep Bhinneka Tunggal Ika?  Bisakah kita membenarkan bahwa adalah hak asasi suku Dayak, misalnya,  untuk 100 persen menjadi suku Dayak, dan pada saat yang sama, adalah  kewajiban asasi suku Dayak tersebut untuk 100 persen pula menjadi bangsa  Indonesia?
Bagaimana pula kita kembangkan nilai Pancasila  sebagai inti untuk mempertahankan NKRI? Bagaimana secara pedagogis kita  harus menghadapi jiwa Sumpah Pemuda yang di satu pihak mulai retak, di  lain pihak secara pedagogis bertahan pada filosofi bahwa NKRI adalah  harga mati. Kalau sudah sampai pada inti ideologi, kita seperti sering  lupa sejarah bahwa sejelek-jelek sebuah ideologi, lebih jelek lagi  apabila kita harus hidup tanpa ideologi sama sekali.
Lalu?  Merujuk UU Sisdiknas, apakah arti dan peran sekolah dalam konteks  berbangsa? Mari kita simpulkan dengan tujuan apa anak bangsa  disekolahkan. Apakah agar ditemukan dan kemudian ditentukan oleh sekolah  bahwa ia tergolong murid yang pada dasarnya memang anak bodoh atau pada  dasarnya anak pintar; tergolong anak berketurunan malas atau rajin;  tergolong anak yang bisa diharapkan atau tidak; ataukah agar anak  bangsa, dengan kerja sama guru, mampu menemukan potensi dirinya?
Apakah  dia, bersama orangtua, guru, dan teman-temannya—di sekolah atau  tidak—belajar menjadi pembelajar seumur hidup. Ataukah lebih baik  apabila anak bangsa menyerahkan diri secara pasif pada apa yang menjadi  stipulasi kurikulum yang tersedia? Apakah di sekolah dia diajar untuk  menghafal, ataukah dia belajar untuk bebas berpikir kreatif, sebagai  khalifah dan sebagai bagian dari kesatuan bangsa?
Dulu,  anak bangsa yang ”dididik” di sekolah disebut murid, kemudian murid  berubah menjadi anak didik, lalu sekarang menjadi peserta didik. Di  sekolah sekarang, peserta didik itu disuguhi aturan serba berstandar.  Ada berbagai jenis standar yang ditetapkan secara arbitrer, tetapi yang  masa berlakunya tidak bisa ditentukan. Macam-macam saja republik ini;  tidak jelas apa maunya! Quo vadis pendidikan nasional Indonesia?
Takut Berinisiatif
Singkat  kata, untuk menghadapi perjuangan ke masa depan, bangsa tersekolah ini  sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Bangsa yang karena UU  pendidikannya sudah kedaluwarsa tetapi karena alasan politis tetap  digiring hidup sebagai anak bangsa yang tersekolah umumnya—apalagi kalau  dipaksa-paksakan—untuk sementara mungkin masih dapat ”berhasil” menurut  standar yang sudah ditentukan. Dalam waktu singkat mungkin masih akan  bergaya dalam soal hafal-menghafal, tetapi tak pernah dapat  diperhitungkan dalam soal-soal yang memerlukan inovasi dan kreativitas.
Bangsa  yang semata-mata tersekolah adalah bangsa yang bukan saja tidak pernah  bisa, tetapi juga selalu takut berinisiatif dan berkreasi! Bangsa ini  secara pasif hanya mengikuti satu garis sejarah kehancuran, kepunahan,  dan kematian yang sangat menyedihkan. Mereka, cepat atau lambat, akan  musnah sebelum menyadarinya.
UU ketersekolahan yang  mengutamakan peran dan potensi anak bangsa, terutama sebagai juru hafal  melalui latihan- latihan yang ditangani guru-guru pelaksana program  kurikuler yang usang, hanya mempercepat proses kepunahan bangsa ini.  Kita tidak mungkin memercayakan anak bangsa kepada siapa pun juga yang  tidak punya keberanian untuk berpikir.
Hanya guru dan  lingkungannya yang mampu dan menghargai berpikir kreatif yang berhak  untuk mengajak bangsa ini berpikir sebagai satu bangsa. Dan, ini sebuah  perjuangan!
Winarno Surakhmad, KOMUNITAS STUDI PENDIDIKAN
Sumber : KOMPAS, 4 Januari 2012 (Edi Subkhan)
