-->

SEJARAH KERAJAAN DUNIA-JAWA

Pada Th 1000 SM sebelum lahirnya para pemikir cina seperti :1 Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu , Bangsa Chow dari Hainan bermigrasi ke selatan sampai ke Kalimantan dan menjadi suku-suku Dayak yang nama sukunya berdasarkan nama sungai tempat mereka tinggal termasuk Suku Sampit.
Penduduk Sampit Kalimantan Selatan dilanda wabah penyakit “blarutan” yang menyerang pencernaan. Mereka menyeberang ke pulau jawa dan mendirikan kampung yang dipimpin Ki Sendang yang juga dari sampit, dan putrinya Ni Rahki. Tempat itu sekarang disebut lasem (Pantura Jatim, berbatasan dengan jateng).
Pendatang dari sampit ini gemar mengunyah buah pinang, dan bersahabat dengan ikan pesut atau sejenis hiu (lodan) kecil. Sehingga di daerah itu ada teluk lodan.. mereka juga mengagumi banteng betina sehingga mereka tidak mau makan banteng. Mereka menganut kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini Dibawa oleh Nabi Djo So No sekitar tahun 1000 SM. Ajaran ini bersifat Monotheis mereka percaya adanya "Sedulur Papat" yaitu Djoborolo(Djibril), Mokoholo(Mikhail), Hosoropolo(Hisropil) dan Hojorolo(Hijroil).
Pada th 230 SM Ki Sendang diwisuda jadi Datu Tanjung Putri. Dan menetapkan kalender jawa Whuning Sebagai tahun 1. dan membuat arca Ki Sendang dari batu hitam sebesar orang dewasa.
30 tahun kemudian pemerintahannya diserahkan pada Ni Rahki dan suaminya Hang lelesi. 75 tahun kemudian terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang kebudayaannya lebih maju yang ahli dalam pengolahan bermacam-macam logam. Mereka bahkan adayang saling kawin campur antara jawa Whuning dan Jawa Sampung.
Tahun 1 Masehi gunung Argapura meletus. Pada th 100 M, Tanjung putri kembali ramai dipimpin oleh Datu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban).
Tahun 110 M terjadi Gempa besar. Tahun 115 Datu Hang Tsuwan mendeklarasikan Negara Jawa Dwipa, dengan bersatunya Jawa Whuning dan Jawa Pegon, setelah terjadi kawin campur antara dua suku tersebut.
Tahun 387 M Datu Hang Sambadra mendirikan perguruan filsafat Kanung(Whuning) di gunung Tapa’an , Rembang.
Di taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra membuat plabuhan dan galangan-kapal (=dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (Bekasnya sekarang menjadi ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan desa Tulis, Kecamatan Lasem). perahu-kapal itu sebagai penghubung Pemerintahan Pucangsula dengan Banjar-banjar wilayanya seurutan pesisir Jawa (Pantura), mulai banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), ketimur hingga banjar Rabwan (Kabupaten Batang) dan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), kemudian banjar Purwata dan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), tepian pulau Maura sebelah timur yaitu banjar-Tayu dan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula bertempat di timur galangan kapal dibuatkan Gapura menghadap kebarat menghadap Laut-teluk Kendheng (Sekarang menjadi desa Gepura) dari gapura disana dibuatkan jalanan sepanjang lereng Pegunungan Argasoka hingga pusat kota Pucangsula.
Tahun 396 Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Datsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari Keling/Kalingga(Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi Agastya Kumbayani, yang juga adalah penyebar agama Hindu. dan lahirlah Arya Asvendra anak mereka. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan orang Keling.
Di taun: 412 Masehi ada Pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen(Fa Hian)berlayar dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok); tiba-tiba lagi hingga laut Jawa-Dwipa ada angin topan besar, kapalnya kemudian mangkal ke pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhatu Hang Sam Badra, setiap hari diajak wawancara bab rupa-rupa pengalamanya Sang Hwesio olehnya berkelana ke manca-negara. Dhatu Hang Sam Badra dengan adiknya Pandhita Hang Jana Bandra sepakat sangat mencocokkan intisarinya ajarannya Sang Buddha itu bercampur-luluh dengan laras Kearifan Jawa-Hwuning.
Di taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra meletakkan jabatan, pemerintahan Pucangsula diserahkan Dewi Sibah diwisudha ditetepkan menjadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya menjadi Kepala banjar Rabwan(Roban) dan banjar Batur hingga Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula.
Sedang adiknya Dewi Sibah bernama: Dewi Sie Mah Ha (=Simah), yang menjadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat menjadi Dattsu, dipindah ke banjae-gede Blengoh dijadikan Keraton keling/Kalingga.
Orang-orang yang tidak menjadi tani, diprentahkan bekerja ngumpulkan belerang dari lereng kawah Dieng; belerangnya sebagai pedagangan negara Baturretna diganjolkan barang-barang petukangan dan kain sutra dengan Pedagang dari negara China, melalui plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bersama menjadi besar dan makmur, Dhatu Rsi Agastya kemudian mrentahkan tukang-tukang ahli pahat batu orang-orang dari Endrya-Satvamayu, diutus membuat Candhi banyak sekali; setiap candhi terdapat patung Shiwa Bathara Guru; letaknya candhi ke bumi punggur Gunung Dieng. Dan dinamakan Pasraman-agung Endrya pra-Astha.
Tahun 436. Terjadi perang antara Baturretna dan Keling memperebutkan pertambangang Belerang, dinamakan Perang saudara Endriya pra Astha, dalam perang itu Rsi Agatsya gugur, dan pihak keling menang.
tahun Masehi: 450, Gunung Dieng meletus, tahun 470, Gunung Ungaran meletus, taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) meletus. Bumi Argasoka menjadi hutan belantara.
Taun Masehi: 620, bumi disana itu sudah dihuni orang berkelana dari negara Keling Dattsu Dewi Simah, orang Pegunungan Ngargapura, dan orang Pegunungan Sukalila. ada pemuda gegedhug A.L. Keling yang masih Trah-darah turun ke enem dari Hang Sabura/ Dewi Simah, bernamane: Hang Anggana; miliknya mengajak orang-orang Pelaut negara Keling dan Petani pokol yang berkelana tersebut, dijak membuka hutan pejaten membuat desa dan plabuhan yang tepian nggenggeng disebutgkitri rupa-rupa, bersama sudah menjadi desa disebut: Getas-Pejaten, plabuhane disebut: Tanjungkarang.
Di taun Masehi: 645, sebab dari setelah makmur banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana kemudian mengembangkan tempat itu mekar keutara serta menyediakan pusat kota memakai bernamane dirinya disebut Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Sekarang disebut kota: Kudus
Sabab dari ekspor kayu jati glondongan, kapas Randu dan minyak kelapa ekonomi bertumbuh dan banyak orang-orang kaya baru. Akibatnya Orang-orang kaya, pembesar dan kaum kelas atas di Rananggana itu mulai terpikat meniru Seni Budaya dan agama Hindu dari Chola; masuknya Kabudayaan Chola ke negara Rananggana menggeser Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning yang dianggep remeh dan rendah. Karena kalah gebyar, Tokoh-pengbesar dan orang Muda-kota yang umur 18 taun kebawah merasa gagah menggunakkan Budayanya orang Cholamandala/Coromandel; lebih-lebih para Wanitanyapun ikut-ikutan.” tetapi rakyat kecil di pedesaan, tidak terpengaruh Kabudayan luar negeri yang seperti tersebut.
Dhatu Hang Anggana , tidak seperti para pedagang kaya yang menganut Hindu Syiwa, Beliau juga mengikuti ikut masuk Agama-Hindu tetapi bukan Hindu Shiwa, dirinya beragama Hindhu-Kanung. Maka wujudnya Pamujan utawa Puranya tidak meniru corak Hindhu Chola atau Hindhu Dieng, dirinya membuat Pamujan Lembu-Nandhi duduk di Altar melambangkan Kekuatan Rakyatnya, serta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu besar sangat, melambangkan: Hang Anggana Dhatu Agung yang berbakti pada nenek moyang serta Dhanhyang Leluhurnya.
Salah satu relief di candi Borobudur

1. KERAJAAN KALINGGA (670 M)


DHATU HANG ANGGANA (632-648M)
KARTIKEYASINGA (648-674 M)
RATU SHIMA (674 – 703)
Ratu Sima adalah isteri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga , yang memerintah antara tahun 632 sampai dengan 648. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M - adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga Raja Kalingga .
Kerajaan Kalingga adalah kerajaan bercorak Hindu. Pusat pemerintahan diperkirakan di wilayah Kabupaten Jepara saat ini. Berdiri pada sekitar abad ke-6, dan pernah diperintahkan oleh Ratu Shima.
Parwati anak Ratu Shima, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), , raja ke 2 dari Kerajaan Galuh. mereka berputri Sanna /Sannaha (710 – 717) yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama SANJAYA yang sempat menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).

KERAJAAN KANJURUHAN(tahun 682 Saka / tahun 760 M)
Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
•Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
•Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
•Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
•Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
•Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
•Raja dan rakyatnya mengidolakan kepada Rsi Agastya.
•Bersama Raja dan para pembesar negeri memohon Sang Maharesi Agastya menghilangkan penyakit.
•Raja melihat Arca Rsi Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
•Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok

SANJAYA (717 – 746)
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari TEJAKENCANA, yaitu TAMPERAN BARMAWIJAYA alias RAKEYAN PANARABAN.

2. KERAJAAN SAILENDRA /MATARAM BUDHA (750-850 M.)
Santanu (...-...) pendiri Klan Sailendra, Istrinya bernama Bhadrawati
Dapunta Syailendra (...-674)
Rakai Panangkaran (750-782), pendiri Kerajaan Sailendra
Istana berbenteng Kerajaan Sailendra yang beragama Budha ini petilasannya masih bisa kita lihat di Kraton Boko, Kalasan, Yogyakarta.

Kerajaan Sailendra di Jawa Tengah bertakhta raja Dinasti Sailendra. Selama masa kekuasaannya (750-850 M.) candi Budha terkemuka, Borobudur, didirikan. Di tahun 772 M. rumah ibadat Budha lainnya juga dibangunkan, tercakup di sini candi Mendut, tahun 778 ia membangun Candi Kalasan . Semua tempat pemujaan ini dipelihara sebagai obyek turis berdekatan dengan kota Yogyakarta. Kerajaan Sailendra juga diketahui untuk kekuasaan komersial dan bahar, dan kesenian dan kebudayaan yang kian berkembang. Penuntunan penyanian gugus, dikenal Candra Ca’ana pertama-tama disusun pada tahun 778 M..

Rakai Panunggalan atau Dharanindra (782)
Rakai Warak atau Samaragrawira (800)
Rakai Garung alias Samaratungga (850)

Wangsa Sailendra adalah kerajaan Budha yang berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an.

Setelah ditaklukkan oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, sang Putri Mahkota (Pramodawardhan) dinikahi oleh Pangeran Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Sedangkan adik Pramodawardhani yaitu Pangeran Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang sama-sama beragama Budha.

3. KERAJAAN MEDANG I BHUMI MATARAM / MATARAM HINDU (732M)

Sanjaya (732M), pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu,
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama SANAHA, memiliki anak yang bernama SANJAYA .
Sanjaya menggantikan Maharani Shima dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut MEDANG I BUMI MATARAM

Rakai Panangkaran/Dyah Pancapana (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770)

Antara tahun 770-850 M Dinasti Sanjaya menjadi jajahan Dinasti Sailendra.

Rakai Pikatan (840-656) , Setelah sekian lama menjadi jajahan Sailendra, maka Rakai Pikatan Menaklukkan Sailendra dan mendirikan Candi Hindu, Prambanan sebagai monumen kemenangannya. Kemudian menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra . Ia kemudian memindahkan istananya ke Mamrati.
Raja berikutnya:

Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala (856 – 880)
Rakai Watuhumalang (880-899)
Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911)
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali.

Mpu Daksa (913–919)
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena perebutan kekuasaan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, Dyah Tulodhong.

Rakai Layang Dyah Tulodong (919–924)
Tulodhong sendiri akhirnya turun tahta karena kekuasaannya direbut oleh Dyah Wawa.

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (928–929)
Ada beberapa sebab kenapa ibukota Medang pindah ke Jawa Timur. Yang paling banyak diyakini adalah karena kawasan ibukota lama di sekitar Yogyakarta amat rawan bencana. Gunung Merapi pernah meletus dengan hebat sehingga istana kerajaan hancur.

4. KERAJAAN WANGSA ISANA (929M)

Sri Isana Wikramadharmottungga(Mpu Sindok) (929 – 947), Wangsa Isana, saat pusat kekuasaan Medang berada di Jawa Timur

Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya (947-989)
Makuthawangsawardhana (989-991)

Dharmawangsa Teguh (991-1006),
Pada tahun 1006 (atau 1016) saat Dharmawangsa tengah imengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram. Aji Wurawari adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas

5. KERAJAAN KAHURIPAN (1009-1042 M)

Airlangga (1009-1042)
Airlangga adalah putera Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Bersama pengawalnya, Narotama, Airlangga mengungsi ke hutan dan pegunungan. Di sana ia hidup sebagai pertapa, lalu mendirikan Kerajaan Kahuripan dan menjadi Raja Tahun 1009.

Tahun 1017 M, Rajendra Chola, Raja Coromandel di India menyerang Sriwijaya.
Setelah Kerajaan Sriwijaya melemah di tahun 1025 karena serangan
Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri
ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari.
Kerajaan Melayu Jambi(Dharmasraya), menaklukan dan meruntuhkan Kerajaan Sriwijaya. Keluarga kerajaan Sriwijaya Melarikan diri ke Kahuripan.

Tahun 1030 M, Airlangga menikahi putri dari Raja Sangrama Wijayatunggawarman, Raja Sriwijaya.

Pada akhir pemerintahannya, Airlangga mulai memikirkan ahli waris penerus kerajaan. Seharusnya, yang berhak pertamakali naik tahta adalah putrinya, Sanggramawijaya Tunggadewi. Namun sang putri tidak menginginkan tahta kerajaan. Ia memilih hidup sebagai pertapa.

Selain Sanggramawijaya Tunggadewi, ia memiliki dua putra: Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Akhirnya, pada November 1042, Airlangga membagi kerajaan itu menjadi dua: Kadiri dan Janggala.

6. JANGGALA DAN KADIRI (1042M)

Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya. Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan.

Setelah membagi dua kerajaannya, Airlangga kembali ke hutan pegunungan. Ia menjalani kehidupan pertapa hingga akhir hayatnya pada tahun 1049.

Raja-raja Jenggala:
• Mapanji Garasakan, (1044)
• Alanjung Ahyes, (1052).
• Samarotsaha, (1059).

Raja-Raja Kadiri:
• Sri Samarawijaya (1042-1120)
• Sri Jayawarsa (1120-1182)
• Sri Kameswara (1182-1194), memiliki permaisuri dari Janggala bernama Kirana(Dewi Candrakirana). Kisah mereka terekam dalam Naskah cerita Panji dalam wayang beber dan cerita-cerita panji.

• Sri Jayabhaya(1135-1157)
Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakimpoi Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakimpoi Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakimpoi Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Dalam Buku Pararaton dikisahkan:"seorang Biksu aliran Mahayana, bertapa di Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan luar biasa cantik bernama Ken Dedes. Ken Dedes dilarikan oleh Seorang Akuwu di Tumapel bernama Tunggul Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak menjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; maka Mpu Purwa mengutuk Akuwu Tunggul Ametung. Selanjutnya dikisahkan Akuwu dibunuh Ken Arok dan diambil istrinya, dan Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel".

Prabu Kertajaya (1157-1222), Dalam Pararaton Kertajaya juga tidak disukai kaum biksu , yang kemudian para Biksu meminta perlindungan Ken Angrok penguasa daerah di Tumapel.

7. SINGASARI (1222M)

Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra / Ken Angrok (1222-1247 M)
Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.

Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum biksu. Para biksu lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Kerajaan Singasari ini beragama resmi campuran Shiwa-budha. Nagarakretagama pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi Pararaton :
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi Nagarakretagama :
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Kertanagara (1254 - 1292)

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi prasasti Mula Malurung :
Kerajaan Tumapel didirikan oleh Rajasa alias Bhatara Siwa setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.Prasasti Mula Malurung menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara. Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268, ia bertakhta di Singhasari.

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.

Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Pulau Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.Raja Mauliwarmadhewa ,yang Permaisurinya bernama Puti Reno Mandi, memiliki dua putri yang cantik jelita, yaitu Dara
Jingga dan Dara Petak yang menjadi hadiah kepada Raja Jawa tetapi sesampai di Jawa, penguasa Jawa adalah Raden Wijaya Menantu Raja Kertanegara.

Pada tahun 1284, Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang/kediri, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh

Jayakatwang, adipati Kadiri, Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik mengusir sekutu Mongolnya dan mendirikan negara Majapahit.

8. MAJAPAHIT (1293-1500 M)

Raden Wijaya Pendiri Majapahit adalah putra Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Campaka (Narasingamurti), Putra Anusapati, Putra Ken Arok.
________________________
Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Raden Wijaya adalah putra dari Pangeran Jayadarma yang adalah putra Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu (1175 - 1297) Raja Galuh Pakuan. Pangeran Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka pangeran Dari Singasari di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya
________________________

Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tantja. Ibu tirinya, Gayatri Rajapatni, seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni pensiun dari istana dan menjadi biksuni.

Tribhuwana Wijayatunggadewi, putri Gayatri Rajapatni menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai tahun 1350.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Dibawah perintah Gajah Mada (1313–1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya kerajana Sriwijaya. Jendral terkenal Gajah Mada lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau. Menurut Kakimpoi Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Raja-raja Majapahit:
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478), Raja Majapahit terakhir.

Prabu Kertabumi punya 3 putra dan putri yang terkenal dan keturunannya :
1. Ratu Pembayun/Nyai Ranawijaya -> Kebo Kenanga -> Jaka Tingkir(Sultan Hadiwijaya/Pajang)
2. Pangeran Jimbun/Raden Patah (Sultan Syah Alam Akbar/Demak) -> Raja-raja Demak
3. Pangeran Bondan Kejawan/Lembu Peteng -> Getas Pendawa -> Ki Ageng Selo -> Ki ageng Nis -> Pemanahan -> Danang Sutowijoyo -> Raja-raja Mataram Islam

Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Prasasti Petak: "kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit"(“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”)

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah kalahnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

9. KERAJAAN DAHA/KADIRI/KELING (1478–1498 M)

Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Ranawijaya / Handayaningrat , bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498) ,

Setelah menaklukkan Majapahit kemudian menikahi Ratna Pembayun Putri Brawijaya V.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires.

Penyerbuan itu di pimpin Sunan Gunung Jati. setelah takluk Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Ranawijaya Handayaningrat (Adipati Keling), menghamba pada Sunan Gunung jati dan keturunan para pengikutnya sampai sekarang menjadi Jurukunci Makam Sunan Gunung Jati di Cerebon.
dan
Ada Juga Putra-Putra Adipati Keling yaitu Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga, beserta keluarga kerajaan Keling/Daha melarikan diri ke Pengging.

10. KERAJAAN PENGGING (1498-1518 M)

Prabhu Hudhara / Kebo Kenanga, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Kebo Kenanga Masuk Islam aliran Syech Siti Jenar, Sedangkan Kebo Kanigara tidak suka dengan kepercayaan Syech Siti Jenar dan tetap memeluk Hindu, Kebo Kanigara memutuskan berpisah dan bertapa di hutan.

Ki Ageng Pengging / Kebo Kenanga, yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, menawarkan daerah Pengging sebagai pesantren Syeh Siti Jenar.

Tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan Demak dan Sultan Cirebon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menumpas ajaran Syeh Siti Jenar dan keluarga Pengging.

Mas Karebet/Jaka Tingkir, Putra Ki Ageng Pengging diasuh Nyi Ageng Tingkir, kemudian di asuh Kakak Nyi Ageng Tingkir yang bernama Ki Ganjur yang menjabat Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana Demak Bintoro). Jaka Tingkir kemudian terdaftar menjadi Prajurut. Karirnya melejit dari prajurit biasa, menjadi "Lurah Wiratamtama", sampai menjadi Sultan di Pajang.

11. DEMAK (1478 M)

Raden Patah atau Panembahan Jimbun atau Sultan Syah Alam Akbar, yaitu yang disebut Sultan Demak Pertama, adalah Putra Brawijaya V

Pati Unus juga disebut Pangeran Sabrang Lor. Dia putra Raden Patah atau Panembahan Jimbun. Tahun 1511 ,menguasai Jepara, pada tahun 1513 menyerang Malaka. Persiapan yang dilakukan dalam rangka penyerangan tersebut membutuhkan waktu tujuh tahun. Dan bisa mengumpulkan kapal hingga sembilan puluh dan 12 ribu prajurit, juga meriam yang sangat banyak. Akan tetapi perlawanan Portugis sangat sengit, hingga dipaksa mundur pulang tanpa hasil.
pada tahun 1518 juga mengalahkan Daha, pusaka kerajaan dibawa ke Demak .

Sultan Trenggana (Tahun 1521 - 1550) Kerajaan Demak sangat berkuasa sekali, Menguasai tanah Jawa Barat, kota-kota di pesisir utara dan juga merebut jajahan majapahit, serta kerajaan Supit Urang (Tumapel) juga menjadi diperintah oleh Demak. Sementara Blambangan itu milik Bali.

Sunan Prawoto, 1546, naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.

12. PAJANG (1547 M)

Sultan Adiwijaya/Mas Karebet/Jaka Tingkir (1549 -1588 M)

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya/Jaka Tingkir sebagai sultan pertama.

Asal usul: Mas Karebet/Jaka Tingkir bin Prabu Hudara/Kebo kenanga/Raja Pengging, bin Girindrawardana/Raja Daha. Jaka Tingkir Semula mengabdi ke ibu kota Demak dan diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama tapi kemudian dipecat karena membunuh calon prajurit bernama Danungawuk dalam ujian masuk prajurit.
Jaka Tingkir kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah lulus, Jaka Tingkir diangkat menjadi bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.

Adiwijaya mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah. Sayembara dimenangi Danang Sutawijaya, cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.

13. MATARAM (1588 M)

Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati, bin Ki ageng Pemanahan, bin Ki ageng Nis, bin Ki Ageng Selo, bin Ki Getas Pendawa, bin Pangeran Bondan Kejawan, bin Brawijaya V.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap ke Pajang dan dianggap tidak setia.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan, Dan Sultan Adiwijaya jatuh dari gajah.

1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

14. KARTASURA (1680 M)

1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

15. YOGYAKARTA DAN SURAKARTA (1755 M)

1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Bagelen dan Pantai Utara dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Bagelen secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner

-->