Dinamika pendidikan dewasa ini
ditandai oleh suatu revolusi dan transformasi pemikiran tentang hakikat
pembelajaran[1].
Titik sentral setiap peristiwa mengajar terletak pada "suksesnya siswa
mengorganisasi pengalamannya, bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan
replikasi atas apa yang dikerjakan guru".[2]
Di sisi lain, ternyata realitas di lapangan masih banyak menampakkan
kekurangan. Praktik-praktik pembelajaran cenderung masih mengabaikan gagasan,
konsep dan kemampuan berpikir siswa. Aktivitas guru lebih menonjol daripada
siswa, dan terbatas pada hafalan semata[3].
Pembelajaran masih bersifat ekspositoris, sehingga belum mampu membangkitkan
budaya belajar ‘learning how to learn’ pada diri siswa (Soepardjo dalam
Suwarma, 1991). Menurut Gilbert, et.al (1982) hal ini disebabkan masih
dianut asumsi bahwa siswa dalam keadaan "pikiran kosong" (blank
mind) atau tabularasa.
Sementara itu, diakui Purta (1991)
bahwa kajian-kajian empirik tentang konsep siswa (student"s concept)
dan penggunaannya dalam pembelajaran Pendidikan IPS baru dimulai pada medio
1980an melalui studi Cornbelth, Armento, dan penelitian-penelitian
serupa yang dirangkum oleh Purta (1991) dan Carter (1990). Itupun belum begitu
komprehensif dilakukan. Padahal, konsep siswa sebagai pemaknaan setiap pribadi
terhadap hasil interaksi dirinya dengan kehidupan masyarakat, memiliki makna
penting dan strategis. Konsep siswa merupakan konstruksi dunia sosial
siswa, yang merefleksikan berbagai realitas, problema yang terjadi di
masyarakat dimana siswa berada.
Sementara kesadaran kritis yang ingin
dibangun seyogyanya dapat dilakukan melalui konsep pendidikan yang merupakan
proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas,
kesadaran gender maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu pandangan
yang mengasumsikan bahwa pendidikan selalu digunakan sebagai upaya untuk
melegitimasikan kekuasaan sehingga tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi
maupun politik harus diubah. Asumsi yang
dipakai dalam proses pendidikan berfikir kritis adalah upaya pembebasan manusia
dari eksploitasi kelas dan dominasi guru sehingga memunculkan kesadaran untuk
mengembalikan kemanusiaan manusia dan dalam kaitan ini pendidikan berperan
untuk membangkitkan kesadaran kritis.
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN KONSEP SISWA
Istilah konsep siswa digunakan
pertama kali oleh Barr, et.al (1994). Konsep siswa dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan, pengertian, keyakinan, ekspektasi, persepsi, atau kesan
mental setiap pribadi siswa terhadap dunia sekitar di mana dia hidup beserta
fenomena yang terdapat di dalamnya, sebagai hasil pengamatan, pengenalan,
interaksi, interpretasi, dan respon setiap pribadi terhadap realitas, fakta,
obyek, gejala atau fenomena, serta problema sosial, yang mereka temui dan alami
dalam hidup kesehariannya (Beyer, 1986; Skeel, 1995).
Basis konstruk konsep siswa adalah latar
atau pengalaman pribadi, yang dibangun melalui proses penemuan dan belajar.
Karena itu, konstruk dasarnya bersifat personal, unik, developmental,
‘tidak pernah benar’ (Beyer, 1979; Schuncke, 1988), senantiasa berubah-ubah
(Vincentini, 1993) bahkan sangat intuitif, naif dan kurang ilmiah, tidak tepat,
kurang terdiferensiasi, dan sangat berbeda dari tuntutan pengetahuan ilmiah
(Dreyfus, et.al, 1990). Konsep siswa ini tidak lebih sebagai suatu blooming
atau buzzing confusion, karena dibangun melalui belajar secara
informal dan atas dasar akal sehat belaka (James dalam Travers, 1982), serta
persis sesuai dengan pengalaman kesehariaan siswa, dan karena itu bersifat
kontekstual.
Sungguhpun secara struktural konstruk
konsep siswa berbeda dengan konstruk konsep ilmiah (Bar, et.al,
1994), namun eksistensinya dipandang sebagai komponen krusial bagi setiap
pribadi (Wyner & Farquhar dalam Shaver, 1991). Bagi siswa, konstruk ini
menjadi basis dirinya dalam bertindak, dan melakukan pendekatan terhadap
pengalaman-pengalaman ilmiahnya di kelas; serta merupakan dunia kehidupan yang
benar-benar nyata (Solomon dalam Tarigan, 1995).
Konsep siswa juga bukan sebagai
gagasan-gagasan yang terisolasi, tetapi bagian integral dari struktur
konseptual mereka yang dapat memberikan sensibilitas, koherensi, dan
kebermaknaan pengertian dirinya tentang dunia dan masyarakatnya (Gilbert, et.
al., 1982); bahkan sangat membantu bagi kesuksesan studinya (Champagne, et.al,
dalam Dreyfus, 1990). Karena itu, eksistensi konsep siswa senantiasa harus
dijadikan rujukan dalam setiap keputusan instruksional pendidik (Gilbert, et.al.,1982;
Dumbo, 1986; Martorella dalam Shaver, 1995). Pembelajaran yang menafikan
gagasan siswa, akan menyebabkan miskonsepsi-miskonsepsi mereka menjadi lebih
kompleks dan stabil. Keadaan ini sering mengakibatkan kesulitan belajar, dan
bermuara pada rendahnya prestasi belajar (Ausubel, dalam Sadia, 1996). Dalam
kaitan ini, Thomas (Skeel, 1995) menyimpulkan, bahwa "tidak ada
seorangpun (termasuk guru) yang dapat memberikan kepada setiap siswa konsep
miliknya. Siswalah sebenarnya yang menjadi perancang, pembentuk konstruk
konsepnya sendiri berdasarkan pengalaman kesehariannya".
Bertolak dari pandangan dasar bahwa
belajar sebagai proses aktif dan interaktif, sebagai proses
interpretasi dan interaksi diri terhadap realitas dan sensori-sensori baru
yang melibatkan konstruksi-konstruksi inter dan intra individu,
maka dalam perspektif penggunaan konsep siswa pembelajaran tidak lain sebagai konteks
sosial atau mediasi kognitif (cognitive mediation) (Bell, 1993);
sebagai ‘situasi stimulus’ (Gagne 1985; Dahar, 1991), dan atau sebagai proses
negosiasi makna antara dimensi pembelajaran dan dimensi belajar (Bodner
dalam Sadia, 1996). Setiap siswa dapat mencipta makna-makna. Melalui interaksi
atau pengaitan diri antara pengetahuan yang telah ada dalam struktur
kognitifnya dengan pengetahuan baru. Sentralitas dari setiap peristiwa
pembelajaran terletak pada "susksesnya siswa mengorganisasi pengalaman
belajarnya, bukan pada kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang
dikerjakan guru" (Bodner dalam Sadia, 1996).
Dalam perspektif pembelajaran di
atas, pengembangan pembelajaran Pendidikan IPS perlu diorganisasi melalui cara
"…built on a foundation of direct, empirical experiences…"
(Dewey dalam Ausubel, 1963). Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa
mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan substantif antara aspek-aspek
konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang
relevan di dalam struktur kognitif siswa. Baik dalam bentuk hubungan-hubungan
yang bersifat derivatif, elaboratif, korelatif, supportif, maupun yang
bersifat hubungan-hubungan kualifikatif atau representasional. Dalam konteks
ini, pembelajaran formal di sekolah memiliki peran sangat penting dalam proses
pengubahan konseptual anak (Driver dalam Bell, 1993;. Martorella, 1985).
POLA-POLA KONSTRUK KONSEP SISWA
1. Konstruk konsep
siswa mengandung bias sosial-budaya.
Memang nampaknya agak
sulit dipercaya, bila dalam konstruk konsep siswa dari seorang siswa
pengkonseptualisasiannya bernuansakan adanya bias sosial-budaya. Namun, fakta
menunjukkan bahwa dalam menyatakan pengertian terhadap sesuatu konsep ‘ilmiah’,
seperti konsep letak/lokasi (kelurahan-desa dan kampung-dusun), siswa
mengartikulasikannya dalam bahasa yang di dalamnya mengandung bias
sosial-budaya. Sebuah letak/lokasi mereka konsepsikan secara dikotomistis
antara kota-desa, dengan memposisikan kota sebagai pusat
pengkonsepsiannya. Tidak dalam kerangka konsep geografis, tetapi lebih bersifat
pemikiran dan kesadaran sosio-kultural. Artinya, konsepsi siswa tentang
letak/lokasi mensubstansikan di dalamnya muatan emosi pribadi yang
mendikotomikan antara format sosial budaya masyarakat kota di satu pihak dengan
format sosial budaya masyarakat bukan kota.
Dalam konteks
sosio-kultural demikian, kiranya dapat dipahami mengapa siswa mengidentikkan
"kelurahan" dengan "kota" (dalam kota), dan
"desa" dengan "luar kota". Percakapan keseharian pada orang
Ujung Berung, seperti "saya mau pergi ke Bandung" di dalamnya
menyiratkan adanya perasaan senang atau bangga. Bagi masyarakat pinggiran dan
pedesaan, istilah "kota" identik dengan "keserbaadaan".
Pernyataan "kamu orang desa" atau "seperti orang desa
atau orang kampung" dipandang sebagai pengungkapan rasa meremehkan
terhadap status seorang itu.
Selain itu, apa yang
siswa maksudkan dengan "kampung" lahir dari konsepsinya sebagai suatu
ungkapan yang menunjuk pada pegetian sebuah lokasi jauh di luar kota. Sebuah
tempat yang ‘terpencil’ di tengah-tengah persawahan atau pegunungan.
(1) ...saya tidak
berasal dari kampung. Tempat tinggal saya di kelurahan..., di dalam kota...,(mereka
menyatakannya dengan sikap penuh penolakan diri), (kampung itu letaknya)...di
desa, jauh di luar kota.
(2) ...kalau desa
tempatnya jauh di luar kota, kalau kelurahan berada di kota...karena ayah
pernah mengajak saya ke luar kota, ke desa.
Konseptualisasi yang bias
sosial-budaya ini, tampaknya sebagai sesuatu yang bersifat intra-individual,
namum lebih dikukuhkan oleh hal-hal yang bersifat inter-individual,
hasil interaksi diri siswa dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dari
dalam lingkungan keluarganya.
(1) ...desa itu berada
jauh di luar kota, sebab kata ayah dan ibu, nenek saya tinggal di desa...di
desa Samatan.
(2) Ibu pernah mengatakan saya
lahir di kampung, tempat kakek dan nenek saya tinggal.
2. Konsep siswa sering dibayangi oleh obyek sasaran yang
mengatributkan adanya ciri-ciri fisikal yang melekat pada obyek tadi.
Pada beberapa orang
siswa, pengungkapan pengertian terhadap sesuatu konsep dicirikan oleh hal-hal
yang bersifat fisikal, atau dinyatakan berdasarkan atribut-atribut fisik pada
keadaan atau realitas yang teramati dan atau terlihat dari pengalaman
keseharian mereka. Dalam mengungkapkan pegertian terhadap konsep letak/lokasi,
siswa mengungkapkannya berdasarkan ciri-ciri alam (fisik) yang mengitari atau
yang umum berada di suatu daerah (kelurahan dan desa):
(1) ...Ibu pernah mengatakan saya
lahir di kampung...di desa Pasean.....di dekat pantai...
(2) ...(sebab) di kota tidak ada
laut.
Konsep siswa tadi, juga
ditemukan ketika siswa mempersepsikan konsep pekerjaan atau matapencaharian.
Dalam hal ini ciri-ciri fisik dari sesuatu pekerjaan atau matapencaharian yang
terlihat dan teramati dari apa yang orang lakukan pada pekerjaan atau
metapencaharian itu. Di samping itu juga terlihat dari ciri-ciri fisikal pada
daerah mana pekerjaan atau matapencaharian itu umum ditemukan oleh siswa.
(1) (matapencaharian adalah)...mengelola
sawah dan ladang untuk menanami tanaman.
(2) orang yang bekerja di sawah
dan ladang.
(3) orang desa umumnya
bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani)...karena di desa banyak
sawah, ladang dan laut...perbedaan matapencaharian antara penduduk kota dan
desa karena perbedaan keadaan alamnya...(maksudnya)..., kalau di desa
keadaan alamnya masih banyak sawahnya dan ladangnya, sedangkan di kelurahan
sudah penuh dengan rumah-rumah dan toko.
(4) ...kakek saya di desa menjadi
petani, sawahnya sangat luas.
3. Pengungkapan konsep
siswa bersifat kuantitatif.
Khusus berkenaan dengan
konsep matapencaharian, pengungkapan konsep siswa dicirikan oleh hal-hal yang
lebih bersifat kuantitatif. Dimaknakan berdasarkan hasil kuantitatif dari apa
yang telah orang lakukan. Bukan pada atribut-atribut dan atau nilai kualitatif
yang melekat pada konsep tadi.
(1) (matapencaharian
adalah)...pekerjaan,...(yaitu) orang yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan makan dan uang untuk keperluan sehari-hari.
(2) (matapencaharian adalah)... mencari
uang
4. Pengungkapan konsep
siswa bersifat egosentris.
Pengertian siswa terhadap
suatu konsep, juga seringkali berpusat pada diri sendiri. Artinya, kebenaran
sesuatu pengertian semata-mata diletakkan pada apa yang siswa pandang benar
bagi dirinya, dan sesuai dengan yang dialami dan diamati.
(1) ...saya lihat di
TV anak-anak sekolah ada juga yang bekerja, seperti para penjual koran/majalah,
penjual es.
(2) ...teman saya di
rumah suka menjual mainan wayang kepada saya dan teman-teman saya.
POTENSI KEBERMAKNAAN PENGGUNAAN KONSEP SISWA
Temuan tentang berbagai variasi pola
pada konstruk konsep siswa di atas memiliki beberapa manfaat dalam pembelajaran
Pendidikan IPS. Manfaat tersebut antara
lain:
1. mengidentifikasi kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok
bahasan yang hendak dibelajarkan.
Penggunaan konsep siswa guru sejak awal-awal pembelajaran
dapat mengidentifikasi kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok
bahasan yang hendak dibelajarkan. Identifikasi kepemilikan pengetahuan awal
siswa ini sangat diperlukan bagi upaya guru dan siswa menemukan kaitan-kaitan
konseptual dan fungsinal antara informasi/konsep baru yang diterima selama pembelajaran
Pendidikan IPS dengan informasi/konsep yang telah terdapat di dalam struktur
kognitif mereka. Sehingga bagi siswa, pembelajaran Pendidikan IPS tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang verbalistik, serta proses maupun hasil
pengalaman belajar yang diikutinya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang berada
jauh di luar jangkauan kemampuan pemikirannya. Pembelajaran IPS pun akan lebih
bermakna, karena pengalaman belajar baru yang baru dijalaninya memiliki kaitan
konseptual dan fungsional dengan pengalaman belajar lama yang telah terpetakan
di dalam konstruk konsep siswanya.
2. Mengidentifikasi miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konstruk
konsep siswa.
Adanya miskonsepsi-miskonsepsi dalam konseptualitas siswa ini, bukan
suatu realitas yang harus dihindari di dalam mengembangkan suatu pembelajaran.
Miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konseptualitas siswa, justru
harus benar-benar transparan dipetakan semenjak awal pembelajaran. Tidak
terungkap dan transparannya miskonsepsi-miskonsepsi ini, mengakibatkan
eksitensinya menjadi retensi, dan menjadi penyebab utama timbulnya
kesulitan-kesulitan belajar siswa.
Lebih membahayakan lagi,
manakala miskonsepsi-miskonsepsi ini semakin berakar dan berkembang lebih jauh
tanpa sempat mengalami proses ‘rekonstruksi-diri' di dalam lumbung pengetahuan
siswa, dan senantiasa dibawa pada jenjang pendidikan selanjutnya. Karena setiap
pembelajaran yang diikutinya tidak pernah memberikan pengalaman belajar yang
bermakna bagi terjadinya proses rekonstruksi-diri terhadapnya, atau karena guru
belum atau tidak pernah menyentuh keberadaan konsep siswa tadi. Dalam kaitan
ini, tidak selalu benar anggapan bahwa konsep siswa senantiasa bersifat naif,
penuh dengan miskonsepsi-miskonsepsi, sehingga senantiasa harus ‘dicurigai’.
Seperti ditunjukkan dari hasil pemetaan terhadap pola-pola konstruk konsep
siswa di atas, ternyata konsep siswa tidaklah begitu naif dan selalu mengandung
miskonsepsi.
Sungguhpun di dalam
konseptualisasinya masih sangat parsial, dan bergantung pada konteks pengalaman
pribadi siswa, akan tetapi seperti jelas terlihat dari tanya-jawab dialogis
yang sengaja dirancang selama pengembangan tindakan, konsep-konsep siswa
mengenai berbagai fokus pembelajaran menampilkan adanya pernik-pernik yang
begitu kaya, dan mampu mengungkap berbagai realitas--bahkan persoalan-persoalan
kritis—yang terdapat di dalam kehidupan keseharian siswa dan masyarakat
sekitarnya, yang mungkin tidak akan sempat tampil ke permukaan bila dilakukan
dalam kelaziman iklim pembelajaran yang selama ini terjadi.
3. Membantu guru mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa
mempelajari sesuatu konsep pokok, dan menemukan alternatif pemecahannya secara
lebih bermakna.
Kesulitan yang dihadapi siswa berkenaan dengan konsep
lokasi/wilayah desa/kelurahan, lokasi/wilayah kecamatan, dan lokasi/wilayah
kabupaten. Penggunaan ‘peta konvensional’ belum sepenuhnya mengatasi kesulitan
yang dihadapi siswa, sehingga harus menambahkan atribut-atribut fisikal yang
dikenal siswa ke dalam peta, cukup mencerminkan betapa penting arti konsep
siswa dan pengalaman kesehariannya bagi pencapaian suatu proses pembelajaran
bermakna. Penggunaan pengertian-pengertian yang cenderung bersifat
administratif-konvensional tidak selamanya mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi
siswa.
4. Merancang prosedur pengembangan program pembelajaran terpadu (integrated learning) Pendidikan IPS
yang lebih bersifat otentik dan alamiah.
Otentisitas dan kealamiahan penggunaan konsep siswa bagi
pengembangan pembelajaran terpadu, oleh karena guru seakan ‘dibebaskan’ dari
pola pemikiran prosedural yang cenderung menyulitkan dalam pengorganisasian dan
operasionalisasinya. Nilai-nilai keterpaduan pembelajaran secara ekspresif dan
kreatif akan muncul dan berkembang selama pembelajaran berlangsung (selama
proses tanya jawab dialogis dengan siswa). Hal ini sangat mungkin tercipta
sebagai hasil pengungkapan konsep-konsep siswa yang mampu menampilkan adanya pernik-pernik
yang begitu kaya mengungkap berbagai realitas sosial yang terdapat di dalam
kehidupan keseharian siswa dan masyarakatnya.
Realitas tersebut dapat disimak dari konsep siswa tentang
desa/kelurahan yang tidak hanya dipandang dari aspek geografis (dalam dan
luar kota), tetapi juga memunculkan aspek ekonomi (keadaan dan kekayaan
alam, matapencaharian penduduk desa/kelurahan), dan aspek sosiologis (status
dan peran interaktif penduduk desa/kelurahan). Juga dapat disimak dari
konsep siswa tentang matapencaharian yang memunculkan aspek ekonomis (penghasilan,
pemenuhan kebutuhan hidup keseharian), dan aspek geografis (hubungan
interaktif antara jenis pekerjaan dengan keadaan alam).
5. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif.
Potensi ini sangat dimungkinkan, karena menggunakan konsep
siswa berarti mengajak dan membimbing siswa untuk melihat hubungan relasional
antara manusia (termasuk siswa) dengan realitas kehidupan lingkungan hidupnya.
Penggunaan konsep siswa juga dapat mengajak dan membimbing siswa melihat secara
jelas dimensi ideal yang terdapat di dalam pengalaman belajar formal di
sekolah dengan dimensi faktual yang terdapat di dalam pengalaman non
formal di keluarga dan masyarakat.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan
reflektif di sini, tidak harus dimaknakan sebagai kemampuan berpikir
sebagaimana layaknya seorang ilmuwan sosial melihat realitas dan persoalan
dalam keketatan paradigma metode ilmiah. Tetapi, pada pengembangan kemampuan
keterampilan dasar siswa melihat secara inderawi (merasa, merumuskan kesimpulan
dengan bantuan peta atau gambar, memahami, mengumpulkan fakta, menafsirkan,
dll) hubungan relasional antara manusia (dirinya) dengan lingkungan sekitarnya,
melihat adanya variansi antara yang ideal dengan realistis berdasarkan
kiteria-kriteria yang ada.
6. Mengembangkan kesadaran dan apresiasi diri terhadap realitas, peristiwa
dan problema sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konsep siswa tentang
sesuatu hal, tidak lain sebagai hasil pengalaman dan interpretasi diri mereka
selama berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial dalam kehidupan
kesehariannya. Karena itu, konsep-konsep siswa merefleksikan di dalamnya pernik-pernik
realitas, kesadaran dan atau emosi sosial yang terdapat di dalam kehidupan
keseharian dan masyarakat sekitar siswa. Bahkan juga ekspektasi siswa terhadap
kehidupan masyarakat dimana dia tinggal.
Pengungkapan konsep siswa dengan memaknakan letak/lokasi
desa/kelurahan dalam referensi pemikiran sosial-budaya menyadarkan kita
terhadap adanya kesadaran sosial-budaya pada diri siswa, mengungkapkan adanya
problema di dalam kehidupan masyarakat kita ("…tidak bu, saya tidak
berasal dari kampung…kampung berada di desa, jauh di luar kota…") yang
perlu guru cermati di dalam setiap pembelajaran yang diselenggarakan. Konsep
siswa tentang letak/lokasi desa, juga mengungkapkan kepada kita adanya sikap
kerinduan siswa terhadap keelokan panorama alam pedesaan ("…pemandangannya
bu, saya sering kalau hari minggu atau liburan sekolah pergi piknik ke desa.
Pergi melihat sawah-sawah yang luas. Saya juga pernah diajak ayah piknik ke
pantai Lombang…"); kejenuhan terhadap kehidupan perkotaan ("…kalau
di desa keadaan alamnya masih banyak sawahnya dan ladangnya, sedangkan di
kelurahan sudah penuh dengan rumah-rumah dan toko-toko…"). Sementara
itu, konsep siswa tentang matapencaharian penduduk mengungkapkan ekspektasi
diri siswa terhadap nilai sosial dari sebuah matapencaharian ("…di
kelurahan tidak ada yang menjadi petani dan nelayan. Tetangga saya banyak yang
menjadi guru…").
7. Mengembangkan kemampuan social
perspective taking.
Penggunaan konsep siswa
berarti menghadapkan guru pada berbagai ekspresi pengungkapan konsep siswa yang
cenderung bersifat egosentris, dan akan sulit menerima pendapat siswa
lain. Penciptaan situasi pembelajaran yang menghadapkan siswa ke dalam situasi
konflik kognitif pada konsepnya, yang dikemas melalui tanya jawab melacak dan
menuntun, sangat efektif untuk menerjadikan dan melibatkan siswa lain dalam dialog
kognitif yang akan merangsang dan membuka perspektif siswa terhadap
pandangan-pandangan dari siswa yang lain, sehingga para siswa secara terbuka
dan ekspresif mengemukakan konsepnya secara otentik dan alamiah, serta
melakukan rekonstruksi diri terhadap bagian-bagian tertentu di dalam konstruk
konsep siswa yang masih kurang/lemah, atau terdapat miskonsepsi. Di samping
melakukan pemantapan dan elaborasi diri terhadap konstruk konsep siswa yang
sudah benar.
Beberapa potensi kebermaknaan
penggunaan konsep siswa sebagaimana dikemukakan tadi, sangat menuntut iklim
pembelajaran yang terbuka, dialogis, kreatif, sehingga mampu menyediakan
kesempatan luas bagi siswa mengungkapkan konseptualisasi dirinya berkenaan
dengan konsep pokok yang hendak dibelajarkan secara otentik dan alamiah. Hanya
perlu disadari, bahwa pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep
tidak berarti bahwa guru harus memetakan konstruk konsep seluruh siswa di dalam
satu kelas. Juga bukan berarti bahwa guru harus berhadapan dengan siswa dan
konsepnya secara orang-per-orang. Penggunaan konsep siswa lebih menekankan pada
bagaimana kinerja guru untuk bersikap sensitif dan peduli (caring)
terhadap ideosyncracies pengungkapan konsep siswa, melalui penciptaan
iklim pembelajaran yang bebas, terbuka, luwes, dan akomodatif; dengan mencoba
mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan pengalaman belajar siswa di kelas
dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang terakumulasikan di dalam konsep
siswa. Sehingga setiap siswa dapat membangun pengertian-pengertian sendiri
berdasarkan makna-makna yang dicerap dari pengalaman belajarnya.
Penggunaan konsep siswa memang sangat
menuntut guru untuk mampu menampilkan diri dalam peran-peran yang bisa
mendekatkan, mengakrabkan dan mengintimkan siswa antara pengalaman
kesehariannya dengan fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS. Otentisitas,
kealamiahan dan kebermaknaan pembelajaran memang sangat bergantung pada
bagaimana guru mengaitkan antara apa yang "akan dibelajarkan" dengan
apa yang "telah siswa ketahui" berdasarkan pengalaman kesehariannya.
Hal menarik dan penting untuk dicermati dalam pengembangan pembejaran
berdasarkan penggunaan konsep siswa, adalah kebergantungan yang sangat besar
pada "konstruk konsep siswa".
Oleh sebab itu, bila tolok ukur
meningkatnya iklim pembelajaran adalah aktivitas, partisipasi dan interaksi
antara guru dan siswa, maka titik krusialnya terletak pada tahap
pengeksplorasian konsep siswa yang merupakan dasar pijakan bagi guru untuk
mengembangkan lebih lanjut format pembelajaran Pendidikan IPS yang hendak
diselenggarakan. Tahap pengeksplorasian konsep siswa juga sebagai tahapan yang
dirasakan guru agak berat dan sulit, sebab pada tahap eksplorasi ini, guru
harus senantiasa mengupayakan terungkapnya konstruk konsep siswa beserta
pola-polanya, dan membangun kaitan-kaitan konseptual dan fungsional antara
spektrum konsep siswa dengan spektrum konsep kurikulum. Untuk itu,
pembelajaran Pendidikan IPS atau fokus kajian yang hendak dibelajarkan terlebih
dahulu harus dibawa ke alam pikiran dan kesadaran siswa, dan menemukan
kaitannya dengan apa yang telah mereka ketahui dari pengalaman kesehariannya.
Dalam kaitan ini, ada empat peran
kritis guru yang seyogianya dimiliki, yaitu sebagai:
1.
Eksplorator.
Guru sebagai pengungkap, pengidentifikasi variasi-variasi atribut kualitatif
yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa. Termasuk juga mengidentifikasi
dan menemutunjukkan adanya miskonsepsi-miskonsepsi yang muncul di dalam
pengungkapan konsep siswa. Peran ini sangat strategis dan mendasar dalam
membantu siswa menemukan konsep-konsep yang saling bergayutan yang terdapat di
dalam struktur kognitifnya. Dalam perannya sebagai eksplorator konsep siswa ini
pula, guru dapat melakukan proses seleksi terhadap atribut-atribut konsep siswa
yang dapat terus dimantapkan dan dielaborasi, atau konsep-konsep siswa yang
dipandang perlu dilakukan proses restrukturisasi konsep siswa, sebelum
dilakukan pemantapan dan elaborasi lebih jauh;
2.
Mediator. Guru berperan
dalam upaya menghubungkan, menjembatani atau mengaitkan antara konsep siswa
dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS, atau
sebaliknya. Peran sebagai mediator ini, sangat penting bagi penciptaan kondisi
dan kesiapan belajar siswa;
3.
Fasilitator. Guru
berperan dalam upaya menyediakan bahan-bahan material yang dibutuhkan siswa
dalam proses pengaitan, pengubahan, pemantapan dan elaborasi konsep siswa
dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS atau
sebaliknya, dan
4.
Rekonstruktor. Di
satu sisi, guru berperan dalam upaya melakukan pengubahan, penataan kembali,
dan atau penyederhanaan terhadap konsep pokok yang menjadi fokus kajian
pembelajaran Pendidikan IPS sehingga mudah diterima dan dimengerti siswa, dan
atau menemukan hubungan/kaitan fungsional dengan konsep siswa yang telah
terpetakan di dalam struktur kognitifnya. Di sisi lain, guru berperan dalam
upaya melakukan pengubahan, penataan kembali terhadap konstruk konsep siswa.
Terutama bila ditemukan adanya miskonsepsi-miskonsepsi di dalam pengungkapan
konsep siswa. Penggunaan konflik-konflik kognitif dapat dijadikan prosedur yang
cukup baik untuk mencapai maksud ini.
Membangun Kesadaran Kritis
Pendidikan adalah pemberdayaan. Perlu
ditekankan agar tidak menjadi penafsiran yang mempersempit upaya pendidikan
sebagai persekolahan.[4] Selama ini persekolahan dianggap upaya yang
mulia dan guru sebagai pekerjaan yang terpuji.
Secara umum persekolahan di Indonesia mengidap problema yang membatasi dan mengekang perkembangan
potensi anak sampai-sampai pejabat atau orang kaya tidak percaya pada sekolah
di Indonesia dengan menyekolahkan anak-anaknya keluar negeri. Oleh karena itu paradigm pendidikan harus
dirubah agar sekolah mampu melakukan perubahan terncana pada anak didik dengan
membebaskan mereka dari pengekangan dan pembatasan, menciptakan suasana yang
menyenangkan demi kebebasan individu dan pengembangan potensi secara maksimal
sehingga perkembangan potensi diripun akan semakin maksimal.
Perkembangan yang melibatkan potensi
anak yang mengintegrasikan pengalaman yang melibatkan gerakan fisik, gerakan
psikis dan imaji nalar sekaligus seperti yang diungkapkan oleh John Dewey
(dalam Utomo Dananjaya,2005)
“Seluruh
pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu dalam kesadaran sosial
rasnya. Peran itu dimulai secara tidak
disadari nyaris sejak lahir dan terus berkelanjutan membentuk kemampuan
individual, memnuhi kesarannya, malatih gagasan-gagasan dan emosinya. Lewat pendidikan yang tidak disadari,
individu secara bertahap mulai mendapat bagian dari sumber daya intelektual dan
moral yang telah dikumpulkan oleh umat manusia.
Demikianlah ia menjadi pewaris modal untuk membangun peradaban”
Diharapkan dengan upaya menggali
kembali konsep siswa pada pembelajaran IPS yang merupakan bagian dari metode
partisipatori atau penyadaran dapat melibatkan peserta didik ke dalam
pengalaman berprilaku dengan mengalami.
Mereka belajar dari pengalaman sendiri.
Bahkan siswa akan memperoleh kegembiraan dan kepuasan dari proses
melakukan. Pola prilaku manusia dapat
ditelusuri bahwa setelah mengalami suatu peristiwa, ia akan merenungkan
kemudian mendeskripsikan pengalamannya. Makin terlatih siswa mendeskripsikan
pengalamannya, makin dalam menganalisa pengalamannya dan makin tajam
kesimpulannya, sehingga siswa akan bisa membedakan apa saja yang harus
dipelajari, berguna dipelajari dan baik untuk dipelajari seperti yang terlihat
pada gambar dibawah ini:
Siswa yang memiliki kesadaran kritis
mempertanyakan sikap memenuhi kebutuhan, antara memenuhi kebutuhan dirinya atau
memenuhi kebutuhan pihak lain. Diharapkan pembelajaran Pendidikan IPS
berdasarkan penggunaan konsep siswa akan sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan
kinerja profesional guru, kinerja siswa, dan iklim sosial pembelajaran
Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa juga memiliki berbagai potensi
kebermaknaan baik berkenaan dengan aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai yang hendak dikembangkan di dalam Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa
juga sangat potensial di dalam mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan
pengalaman belajar di kelas dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang
terakumulasikan di dalam konsep siswa, sehingga siswa dapat membangun sendiri
pengertian-pengertiannya berdasarkan makna-makna yang mereka serap dari
pengalaman belajarnya di kelas/sekolah.
Bahan Bacaan:
Alleman, J.E. & Cheryl, E.R. 1991. The cognitive,
social, emotional, and moral development characteristics of students: Basic for
elementary and middle school social studies. James P.S. Handbook of Research
on Social Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing
Company. 109-120.
Ausubel, D.P. 1963. The psychology of meaningful verbal
learning. New York: Grune & Stratton.
Banks, J.A. & Ambrose, A.C. Jr. 1985. Teaching
strategies for the social studies. New York: Longman, Inc.
Djajadisastra, Y. 1982. Metode-metode Mengajar, Jilid
I dan II, Bandung :
Angkasa.
M.Numan Somatri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan
IPS, Bandung: Remaja Rosdakarya
Mansour Fakih dan Robert Chamber. 2002. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Read Book.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung :Rosda.
Nasution, S. 1989. Berbagai Pendekatan Proses Belajar
Mengajar, Jakarta,:Bina Aksara.
Palmer, Joy A. 2003. 50 Pemikir Pendidikan, dari Piaget
sampai masa sekarang. Yogyakarta : Jendela
Roem Topatimasang,dkk. 2005. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Insist
Press.
Sadia, dkk. 1996. Pengaruh prior knowledge dan
strategi conceptual change dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam
(IPA) di Sekolah Menengah Pertama (SMP): Suatu studi pembelajaran IPA dalam
pandangan paradigma konstruktivisme. Singaraja: STKIP.
Suwarma A.M. 1991. Pengembangan keterampilan berpikir dan
nilai dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial: Suatu studi sosial budaya
pendidikan. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: FPS-IKIP Bandung.
Tarigan, S. 1995. Strategi belajar mengajar dalam konsep
struktur atom untuk melakukan perubahan konsep awal siswa. Disertasi tidak
diterbitkan. Bandung: PPS-IKIP Bandung.
Utomo Dananjaya. 2005. Sekolah
Gratis: Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan. Jakarta:Paramadina
[1]
lihat Ausubel, 1963; Alleman & Rosaen, dalam Shaver, 1991; Bell,
1993; Gagne 1985; Dahar, 1991; Bodner, dalam Sadia, dkk. 1996.
[2]
Bodner, dalam Sadia, dkk. 1996.
[3]
Pelly dalam Suwarma, 1991.
[4]
Fuad Hasan dalam Utomo Dananjaya hal. 13.