MEMUPUK
JIWA KEMANDIRIAN DI LINGKUNGAN KAMPUS MELALUI PENDIDIKAN ENTERPRENEURSHIP
SEBAGAI MODAL MENUJU KOMPETISI DUNIA KERJA
Oleh
: Jumarddin La Fua
Abstrak
Pengangguran dan kemiskinan hingga saat ini merupakan masalah
besar bagi bangsa Indonesia yang belum bisa terpecahkan, kondisi ini merupakan
masalah serius bagi pemerintah yang harus segara di antisipasi sebagai bentuk
pelayanan kepada masyarakat yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi warga
masyarakat, apabila kondisi ini tidak memperoleh perhatian yang serius dari
pemerintah maka akan mengakibatkan masalah sosial yang cukup tinggi akibat
tingginya tingkat pengangguran seperti penyalahgunaan narkoba, kriminalitas,
pergaulan bebas, premanisme, traficking, dan lain sebagainya yang pada
akhirnya dapat menyebabkan gangguan pembangunan di segala bidang serta
mengancam stabilitas nasional. Pendidikan
enterpreneurship merupakan salah satu solusi yang ideal untuk memberikan bekal
kewirausahaan melalui kegiatan pendidikan yang terarah dan berkesinambungan sebagai
modal menuju kompetisi dunia kerja yang diharapkan dapat menekan angka
penganguran sehingga dapat mengurangi kesulitan sosial ekonomi masyarakat yang
pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia sehingga
dapat memberikan solusi yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengembangan
keilmuan pendidikan enterpreneurship di perguruan tinggi dapat didisain untuk
mengetahui (to know), melakukan (to do), dan menjadi (to be) entrepreneur. Tujuan pendidikan to know dan to do terintegrasi di dalam kurikulum program studi, terdistribusi
di dalam mata-matakuliah keilmuan. Implementasi dari pendidikan
enterpreneurship ini dimaksudkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai
entrepreneurship, dimana perguruan tinggi menyediakan matakuliah pendidikan
enterpreneurship yang ditujukan untuk bekal motivasi dan pembentukan sikap
mental entrepreneur, pelatihan keterampilan bisnis praktis dan merealisasikan
inovasi teknologi ke dalam praktek bisnis.
Pembetukan karakter
entrepreneur mahasiswa dapat diterapkan melalui dua strategi yaitu strategi makro dan mikro. Strategi
makro berada pada tataran kebijakan perguruan tinggi yang menjadi tugas dan tanggung jawab
untuk menumbuhkembangkan
jiwa dan karakter enterpreneurship melalui program-program nyata sehingga
diharapkan mahasiswa dapat menjadi pencipta lapangan kerja seperti mengintegrasikan pembelajaran entrepreneurship ke dalam kurikulum; mengembangkan
entrepreneurship center pada perguruan tinggi; serta menciptakan gerakan nasional budaya dan pelatihan entrepreneurship bagi
mahasiswa. Strategi mikro berada
pada tataran pembelajaran
di kelas terutama pembelajaran entrepreneurshipseperti pembelajaran
yang membentuk manusia secara holistik; 2) pembelajaran yang membangkitkan
kelima panca indera mahasiswa; 3)
pembelajaran yang experiential learning; 4) pembelajaran yang real- life;
5) pembelajaran berbasis
life skill membentuk
karakter entrepreneur; dan
6) Pembelajaran entrepreneurship
tidak hanya fokus pada Business Plan.
Implementasi
pendidikan enterpreneurship di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan cara, pendidikan
tersebut lebih menitikberatkan pada penggalian potensi diri setiap peserta
didik (mahasiswa), menyediakan para pengajar yang berlatar kewirausahaan , dan
adanya kehendak stakeholder perguruan tinggi dalam mengimplementasikan
pendidikan enterpreneurship di perguruan tinggi.
Pendahuluan
Pengangguran dan kemiskinan hingga
saat ini merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia yang belum bisa
terpecahkan. Krisis global yang terjadi saat ini akan menekan perekonomian nasional.
Banyak perusahaan yang berbasis eksport sudah melakukan PHK atau pun merumahkan
pegawainya akibat dari krisis global ini, belum lagi sektor lain yang mempunyai
keterikatan yang tinggi dalam menopang sektor eksport tersebut. Hal ini
tentunya akan membuat jumlah pengangguran nasional kembali naik, dan kondisi
ini merupakan masalah serius bagi pemerintah yang harus segara di antisipasi
sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar
bagi warga masyarakat, [1]apabila
kondisi ini tidak memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah maka akan mengakibatkan
masalah sosial yang cukup tinggi akibat tingginya tingkat pengangguran seperti penyalahgunaan
narkoba, kriminalitas, pergaulan bebas, premanisme, traficking, dan lain
sebagainya yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan pembangunan di segala
bidang serta mengancam stabilitas nasional.[2]
Menyadari realitas yang ada, maka perlu dicari suatu terobosan
yang tepat dan
terarah serta berkesinambungan, agar lapangan pekerjaan
dapat terbuka seluas-luasnya. Salah satu
kebijakan yang perlu
dilakukan adalah melalui
pendidikan entrepreneurship sebagai
modal menuju kompetisi dunia kerja. Terobosan ini dilakukan
untuk menciptakan suatu
kondisi bahwa
semua komponen bangsa harus
bahu membahu untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dan
bukan berlomba-lomba untuk mencari lapangan pekerjaan. Kebijakan ini harus dapat
dilaksanakan secara komprehensif dengan kebijakan makro ekonomi
lainnya seperti pengendalian
inflasi yang terukur, suku bunga yang kompetitif
untuk membuat sektor
riel bergairah melakukan usahanya, iklim investasi yang transparan dan efisien. Mengingat dampak
pengangguran yang begitu luas, maka masalah pengangguran adalah prioritas
yang harus diselesaikan oleh pemerintah sesegera
mungkin. Pendidikan enterpreneurship merupakan salah satu solusi yang
ideal untuk memberikan bekal kewirausahaan melalui kegiatan pendidikan yang
terarah dan berkesinambungan sebagai modal menuju kompetisi dunia kerja yang
diharapkan dapat menekan angka penganguran sehingga dapat mengurangi kesulitan
sosial ekonomi masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas
sumber daya manusia sehingga dapat memberikan solusi yang ideal dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.[3]
Untuk mengawal kegiatan pendidikan
enterpreneuship dapat berjalan ideal maka lembaga pendidikan memainkan peran
penting untuk membentuk karakter enterpreneurship serta mendorong tumbuhnya motivasi
kewirausahaan pada insan akademik sehingga kedepan mempunyai keberanian untuk
mendirikan bisnis baru meskipun secara ukuran bisnis termasuk kecil tetapi
dapat membuka kesempatan kerja bagi banyak orang. Lembaga pendidikan seperti universitas,
institut, sekolah tinggi dan lain-lain
bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan enterpreneurship sehingga mampu
melihat peluang bisnis, dapat mengolah
bisnis tersebut dan memberikan motivasi dan keberanian menghadapi resiko bisnis
melalui kegiatan pendidikan yang terarah, terukur dan berkesinambungan sebagai bentuk penguatan
menuju kompetisi dunia kerja. Entrepreneurship adalah
kemampuan seseorang atau
sekelompok orang yang
dapat menggunakan faktor-faktor
produksi yang ada untuk dapat menghasilkan
suatu produk/jasa yang
baru. Pada dasarnya seorang entrepreneur memerlukan dan mengusahakan
agar manpower, material, dan capital dapat secara optimal digunakan. [4]
Ada
tiga komponen yang
penting dari pengertian
entrepreneurship ini, yakni (1) The pursuit of opportunities, Seorang
entrepreneur adalah orang
yang mencari peluang
untuk dapat meningkatkan bisnisnya melalui perubahan dan transformasi, hingga
pengenalan atas produk
dan jasa yang dihasilkan, (2) Innovation, Mampu
menggunakan faktor produksi yang ada (land,
labor, dan capital) untuk dapat menghasilkan
produk yang baru dan (3) Growth, Seorang entrepreneur akan
berusaha semaksimal mungkin
agar usahanya dapat terus mengalami pertumbuhan.[5]
Tulisan ini merupakan salah satu bentuk
sosialisasi ilmiah kepada seluruh civitas akademik tentang pentingnya
pendidikan enterprenurship dalam lingkungan kampus sehingga kedapan diharapkan
akan tumbuh serjana-sarjana entrepreur muda yang mampu menciptakan lanpangan
kerja. Secara rinci tulisan ini akan mengkaji peran kampus dalam mengintegrasikan
pendidikan entrepreneurship ke dalam kurikulum, peran kampus dalam membentuk
karakter kemandirian entrepreneurship dan implemantasi pendidikan
enterpreneuship di lingkungan kampus.
Peran Kampus Untuk Mengintegrasikan
Pendidikan Enterprenurship Dalam Kegiatan Pendidikan
Pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan permintaan
ekspor dan efisiensi industri telah banyak didiskusikan pada berbagai forum resmi, potensi yang belum banyak
tergarap adalah kekuatan internal kewirausahaan dan inovasi yang dilandasi IPTEK.[6]
Inovasi diibaratkan bahan bakar, sementara kewirausahaan adalah mesin, keduanya menjadi sumber kesempatan kerja,
pendapatan dan kesejahteraan. Akhir-akhir ini kewirausahaan atau enterpreneurship telah banyak dibicarakan
dalam berbagai forum ilmiah dengan fokus diskusi bersumber dari fakta rendahnya
jumlah entrepreneur dan kesulitan melahirkan entrepreneur, sehingga memunculkan
suatu konsep tentang pendidikan enterpreneurship yang menjadi makin relevan sesuai
dengan kebutuhan perubahan lingkungan global yang menuntut adanya keunggulan,
pemerataan, dan persaingan dalam setiap kegiatan usahanya.
Peranan perguruan tinggi dalam melaksanakan dan mengintegrasikan pendidikan
enterpreneurship kedalam kurikulum di lingkungan kampus yang berorientasi pada
pembentukan karakter kemandirian mahasiswa menjadi sangat penting. [7] Pada
masa lalu, pola pendidikan enterprenurship tidak secara formal dilembagakan, bekal
motivasi dan sikap mental entrepreneur terbangun secara alamiah, lahir dari keterbatasan dan semangat survival
disertai keteladanan kerja keras dari dosen. Mahasiswa yang terlatih tempaan
secara fisik dan mental melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, akan
menjadi tangguh untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta terlatih
untuk melihat sisi positif suatu sumberdaya dan ditransformasikan menjadi
manfaat yang nyata sehingga peribahasa berakit-rakit
ke hulu berenang ke tepian, dijiwai benar. [8] Namun,
pola pengembangan kewirausahaan masa
lalu itu dianggap tidak sistematik menghasilkan entrepreneur. Entrepreneur
lebih ditentukan oleh bakat atau karakter individu, atau bawaan lahir, tidak
atas proses yang direncanakan. Fenomena sekarang menunjukkan bahwa
kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan.
Menurut Ciputra yang dikutib oleh Srihardi Zarkasih bahwa kompetensi
kewirausahaan bukanlah ilmu magic. [9]
Pendidikan tinggi atau lembaga pendidikan, perlu mengajarkan tiga kompetensi
kepada mahasiswanya, yakni menciptakan kesempatan (opportunity creator), menciptakan ide-ide baru yang orisinil (inovator) dan berani mengambil resiko
dan mampu menghitungnya (calculated risk
taker). Peran yang dilakukan perguruan tinggi adalah: (i) internalisasi
nilai-nilai kewirausahaan, (ii) peningkatan keterampilan (transfer knowledge) dalam aspek pemasaran, finansial, dan
teknologi; dan (iii) dukungan berwirausaha (business
setup).[10]
Menurut Oosterbeek et al,
bahwa keberhasilan studi mahasiswa ditentukan oleh dua ukuran,
yakni (i) jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran
dan (ii) kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumberdaya, kurikulum,
fasilitas dan program aktivitas yang menarik partisipasi mahasiswa untuk
meningkatkan aktualisasi, kepuasan dan keterampilan. [11] Dalam
konteks pendidikan enterpreneurship, nampaknya partisipasi mahasiswa dan
kemampuan perguruan tinggi perlu disinergikan, agar menyediakan layanan
sebaik-baiknya agar melahirkan student
entrepreneur. Dengan demikian, melalui pendidikan dapat direncanakan
kebutuhan jumlah maupun kualitas entrepreneur yang dihasilkan.
Karakter keilmuan enterpreneurship didisain untuk
mengetahui (to know), melakukan (to do), dan menjadi (to be) entrepreneur. Tujuan pendidikan to know dan to do terintegrasi di dalam kurikulum program studi, terdistribusi
di dalam mata-matakuliah keilmuan. Integrasi dimaksudkan untuk internalisasi
nilai-nilai entrepreneurship. Dalam tahapan ini, perguruan tinggi menyediakan
matakuliah pendidikan enterpreneurship yang ditujukan untuk bekal motivasi dan
pembentukan sikap mental entrepreneur. Sementara itu tujuan to be entrepreneur diberikan dalam
pelatihan keterampilan bisnis praktis. Mahasiswa dilatih merealisasikan inovasi
teknologi ke dalam praktek bisnis.[12] Di
lain sisi, aktivitas ekstra kurikuler mahasiswa yang sistematik juga dapat
membangun motivasi dan sikap mental entrepreneur. Pembinaan mahasiswa dalam
berbagai kegiatan minat dan bakat, keilmuan, kesejahteraan atau keorganisasian
lainnya mampu memberikan keterampilan untuk berwirausaha, dalam pengertian
wirausaha bisnis, wirausaha sosial maupun wirausaha corporate (atau intrapreneur). Sebagian para tokoh
politik, komisaris perusahaan besar dulunya juga merupakan para aktivis
mahasiswa. Mereka adalah mahasiswa yang aktif dalam unit pers (koran kampus) yang juga sukses menjadi
wirausaha dalam industri penerbitan. Mahasiswa teknik informatika menjadi
wirausaha software house. Mahasiswa
dalam forum kajian agama menjadi pendakwah. Mahasiswa pecinta alam menjadi wirausaha
jasa outbound.
Pengembangan pendidikan enterpreneurship berorientasi pada memberikan kompetensi
kewirausahaan kepada mahasiswa dengan tujuan program kompetensi mencakup pada
pemahaman konsep to know, to do, dan to be entrepreneur dengan sasaran
memupuk jiwa enterpreneurship secara sistematik sehingga dapat terbangun
motivasi, mental dan karakter enterpreneur dalam iklim kompetisi dunia kerja
yang lebih nyata (empiris). Menurut Saud
et al, bahwa mahasiswa yang telah mengikuti kegiatan
pendidikan enterpreneurship akan memiliki karakter yang tinggi dalam inovasi,
praktek bisnis, kepercayaan diri dan pengendalian, serta mereka adalah pelaku
bisnis, yang juga ingin meningkatkan kemampuan berwirausaha. Dari pendapat
tersebut dapat ditarik benang merah bahwa perguruan tinggi sebagai sebuah
lembaga akademik mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mengembangkan
kreaktivitas dan inovasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan yang beroritasi pada
kewirausahaan, dan ini menjadi tanggung jawab bagi perguruan tinggi untuk
mengaktualisasikan pendidikan enterpreneurship ke dalam kurikulum pendidikan
yang akan diajarkan kepada mahasiswa
untuk membentuk enterpreneur
student yang merupakan ranah psikomotorik dalam dunia pendidikan.[13]
Peran Kampus Dalam Membentuk Karakter
Enterpreneurship
Pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter
enterpreneurship yaitu pendidikan yang memberikan penguatan-penguatan jiwa entrepreneurship
seperti jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan
secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema
tersebut, jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Inti dari
pendidikan enterpreneuship adalah pendidikan
yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan
hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi.
Untuk
mengembangkan karakter entrepreneurship diperlukan beberapa tahapan, antara
lain internalization, paradigm alteration, spirit initiation, dan competition.
[14]Internalization
adalah tahapan penanaman karakter entrepreneurship melalui konstruksi
pengetahuan tentang jiwa entrepreneurial serta medan dalam usaha. Tahap ini
berkutat pada teori tentang enterpreneurship dan pengenalan tentang urgensinya.
Setelah itu, paradigm alteration, yang berarti perubahan paradigma
umum. Pola pikir pragmatis dan instan harus diubah dengan memberikan pemahaman
bahwa unit usaha riil sangat diperlukan untuk menstimulus perkembangan
perekonomian negara, dan jiwa entrepreneurship berperan penting dalam membangun
usaha tersebut. Di tahap ini diberikan sebuah pandangan tentang keuntungan
usaha bagi individu maupun masyarakat. Setelah pengetahuan telah terinternalisasi
dan paradigma segar telah terbentuk, diperlukan sebuah inisiasi semangat untuk mengkatalisasi gerakan pembangunan unit
usaha tersebut. Inisiasi ini dengan
memberikan bantuan berupa modal awal yang disertai monitoring selanjutnya.
Lalu, perlu digelar sebuah medan kompetisi
untuk dapat mengembangkan usaha tersebut dengan baik.
Dalam dunia kampus, peran perguruan tinggi untuk dapat
membentuk karakter entrepreneur
mahasiswa dapat diterapkan
melalui dua strategi yaitu strategi makro dan
mikro. [15]
Strategi makro berada pada tataran kebijakan perguruan tinggi yang menjadi tugas dan tanggung jawab
untuk menumbuhkembangkan
jiwa dan karakter enterpreneurship melalui program-program nyata sehingga diharapkan
mahasiswa dapat menjadi pencipta lapangan kerja. Program tersebut meliputi mengintegrasikan pembelajaran entrepreneurship ke dalam kurikulum; mengembangkan
entrepreneurship center pada perguruan tinggi; serta menciptakan gerakan nasional budaya dan pelatihan entrepreneurship bagi
mahasiswa. Untuk. Program
ini dimaksudkan untuk memfasilitasi para mahasiwa yang mempunyai minat dan
bakat kewirausahaan untuk memulai berwirausaha dengan basis ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang dipelajarinya. Fasilitas yang diberikan meliputi
pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, magang dan penyusunan rencana bisnis,
dukungan permodalan dan pendampingan usaha. Tujuan dari Program ini adalah
Meningkatkan kecakapan dan ketrampilan para mahasiswa khususnya sense of business sehingga akan tercapai
wirausaha-wirausaha muda yang potensial, menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru
yang berpendidikan tinggi, menciptakan unit bisnis berbasis IPTEKS, serta
membangun jejaring bisnis antara pelaku bisnis terutama wirausaha pemula dengan
para pengusaha yang sudah mapan. Sedangkan manfaat yang diharapkan bisa
dirasakan oleh mahasiswa adalah memberikan kesempatan untuk meningkatkan
kemampuan soft skill mahasiswa dengan
terlibat langsung pada kondisi dunia kerja, memberikan kesempatan langsung
untuk terlibat dalam UKM dan mengasah jiwa wirausaha, serta menumbuhkan jiwa
bisnis sehingga memiliki keberanian untuk memulai usaha didukung dengan modal
yang diberikan dan pendampingan secara terpadu.
Strategi
mikro berada pada
tataran pembelajaran di kelas
terutama pembelajaran
entrepreneurship. Pembelajaran entrepreneurship adalah 1) pembelajaran yang membentuk manusia secara holistik; 2) pembelajaran yang membangkitkan
kelima panca indera mahasiswa;
3) pembelajaran yang experiential learning; 4) pembelajaran yang real- life; 5) pembelajaran berbasis
life skill membentuk
karakter entrepreneur; dan 6) Pembelajaran
entrepreneurship tidak hanya fokus pada Business
Plan. [16]
Implementasi
Pendidikan Enterpreneurship
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. [17] Pendidikan entrepreneurship
tidak harus menambah kurikulum, akan tetapi justru memberi keragaman pendidikan
yang kontekstual dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari,
sehingga mempunyai nilai tambah (added value) baik dari sisi pengetahuan
maupun sisi nilai sosial ekonomi. Peserta didik yang dibekali pendidikan entrepreneurship
tumbuh kecerdasannya, keterampilannya, intelektualnya, mempunyai banyak
gagasan, mampu berkomunikasi yang dapat meyakinkan orang lain, sehingga ruh
sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dapat terlaksana
dengan baik. [18] Oleh
karena itu sebaiknya Pendidikan Entrepreneurship, baik yang tersirat
maupun yang tersurat (formal – non formal – informal) sudah harus dimulai sejak
dini sampai ke jenjang pendidikan tinggi dan bahkan sepanjang hayat. Pembiasaan
dan pelatihan yang terus-menerus akan mendatangkan kepiawaian seseorang untuk
berpotensi menjadi penemu dan pemecah masalah (problem finder and problem
solver), dan akhirnya memiliki hidup yang bermanfaat.
Pendidikan entrepreneur adalah konsep pendidikan
yang memberikan semangat pada peserta didik untuk kreatif dalam mengerjakan
sesuatu hal, pola pendidikan sedemikian ini menuntut peserta didik untuk bisa
produktif serta mengarahkan peserta didik untuk bisa cepat dalam memahami dan
menelisik kebutuhan sosial sekitar. [19]
Pendidikan entrepreneur diadakan dalam rangka memberikan motivasi dan
pembinaan usaha, hal sedemikian akan bisa berjalan secara baik bila ada
perangkat-perangkat lain yang mendukung. Misal, Instansi pendidikan diharapkan
mengadakan jaringan-jaringan kerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) yang banyak mengetahui tentang kewirasausahaan.
Kurikulum pendidikan tinggi yang berjiwa entrepreneur
adalah dengan mendefinisikan ulang apa itu pendidikan yang dihubungkan dengan entrepreneur
sebagai bagian komponen lain untuk menambah wawasan serta pengetahuan peserta
didik saat terjun ke lapangan, ketika mereka selesai di bangku pendidikannya. [20]
Selain itu, dalam pelaksanaan pendidikan entrepreneur dibutuhkan
adanya dukungan perangkat lunak (suprastruktur)
yang terkait dengan kurikulum pendidikan, karena jika tidak ada aplikasinya
sama saja dengan kewirausahaan teori seperti biasanya. Untuk menumbuhkembangkan
jiwa enterpreneurship dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan perguruan tinggi harus dapat memainkan dalam
memupuk jiwa kemandirian mahasiswa di lingkungan kampus. Program ini
dimaksudkan untuk memfasilitasi para mahasiwa yang mempunyai minat dan bakat
kewirausahaan untuk memulai berwirausaha dengan basis ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang dipelajarinya. Fasilitas yang diberikan meliputi
pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, magang dan penyusunan rencana bisnis,
dukungan permodalan dan pendampingan usaha. Tujuan dari Program Mahasiswa
Wirausaha ini adalah meningkatkan kecakapan dan ketrampilan para mahasiswa
sehingga akan tercapai wirausaha-wirausaha muda yang potensial, menumbuhkan
wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan tinggi, menciptakan unit bisnis
berbasis IPTEKS. [21]
Oleh karena itu, pendidikan tinggi perlu diarahkan pada pendidikan entrepreneur
namun tetap tidak menghilangan identitas lainnya sebagai lembaga pendidikan
tinggi berorientasi pada research dan discovery.
Ada beberapa hal yang memberikan ciri dasar
pendidikan entrepreneur. Pertama, pendidikan tersebut lebih
menitikberatkan pada penggalian potensi diri setiap peserta didik. [22] Seperti,
apabila seorang peserta didik memiliki minat dan potensi kemampuan untuk
berdagang, maka hal demikian perlu dikembangkan dengan sedemikian tajam. Ketika
potensi demikian diketahui dan sudah bisa ditumbuhkan, ini kemudian mengarahkan
peserta didik untuk dipompa semangat, upaya dan kejiwaan untuk menekuni itu.
Ini bisa dikembangkan dan ditumbuhkan dengan sedemikian pesat ketika proses
pembelajaran yang dikembangkan di pendidikan tinggi tersebut secara langsung
berkenaan dengan minat dan potensi kemampuan yang dipunyai peserta didik
tersebut. Memberikan beberapa contoh mengenai beberapa profil seseorang yang
sudah sukses dalam bidang-bidang tertentu adalah satu penggerak utama dan maha
utama supaya peserta didik semakin semangat dengan dunia yang ingin digelutinya
itu.
Kedua, menyediakan para pengajar yang berlatar kewirausahaan
adalah satu kemutlakan yang perlu dipenuhi.[23]
Ini berbicara konsep pendidikan entrepreneur yang jelas. Sebab dalam
pendidikan entrepreneur, pengajar yang berlatar kewirausahaan memiliki
cara dan model pengajaran yang berbeda dengan pengajar yang hanya memiliki
pengetahuan teoritik namun tidak berpengalaman dalam dunia kewirausahaan.
Seorang pengajar dengan nir-pengalaman kewirausahaan akan terkesan berdasarkan
teks, namun tidak sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman di lapangan. Sehingga
proses pembelajarannya pun mengalami kekeringan nilai-nilai entrepreneur
yang sesungguhnya perlu diwujudkan dalam proses pembelajaran sedemikian itu.
Pendidikan entrepreneur berbicara hal-hal kongkrit yang perlu
dipraktikkan, bukan hanya diteorikan. Sangat jelas, ada perbedaan mendasar
antara seorang pengajar yang berpengalaman sebagai seseorang yang bergerak
dalam kewirausahaan dan bukan. Proses penyampaian materinya pun juga berbeda
ketika memberikan semangat, minat dan suasana dalam pembelajaran. Ini
sesungguhnya sangat penting diperhatikan sebab hal mendasar menjadi kunci utama
ketika pendidikan entrepreneur digelar. Sehingga peserta didik pun
akan berbeda menanggapi penyampaian seorang pengajar yang berlatar entrepreneur
dan bukan. Seorang pengajar sangat menentukan apakah proses pembelajarannya
berhasil atau tidak dicerna dan dipahami oleh peserta didik. Seorang pengajar
adalah orang yang akan berperan penting untuk bisa memberikan pemahaman sangat
mendalam apa itu entrepreneur sesungguhnya dan secara ideal. Sehingga
seorang pengajar pun dituntut untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan
bidangnya. Oleh karenanya, peran seorang pengajar pun sangat signifikan bagi
keberlangsungan pembelajaran tersebut.
Ketiga, kehendak politik stakeholder perguruan tinggi sangat
dibutuhkan dalam konteks ini. [24]
Sebab tanpa adanya kehendak politik yang baik dari perguruan tinggi terkait,
ini sangat muskil akan melahirkan sebuah pendidikan tinggi yang baik pula. Oleh
karenanya, para stakeholder perguruan tinggi diminta secara serius untuk
melakukan satu orientasi pendidikan tinggi yang dibutuhkan lapangan dan pasar.
Pendidikan tinggi yang berarah pada entrepreneur adalah sebuah
keniscayaan. Sehingga melakukan format kurikulum pendidikan yang berjiwa entrepreneur
pun disegerakan untuk digarap secara kongkrit dan praksis. Kurikulum pendidikan
tinggi yang berjiwa entrepreneur adalah dengan mendefinisikan ulang
apa itu pendidikan yang dihubungkan dengan entrepreneur sebagai bagian
komponen lain untuk menambah wawasan serta pengetahuan peserta didik saat
terjun ke lapangan, ketika mereka selesai di bangku pendidikan tingginya.
Mempersiapkan perangkat lunak (suprastruktur) yang terkait dengan kurikulum
pendidikan entrepreneur adalah hal penting untuk bisa direalisasikan. Selanjutnya
adalah mempersiapkan perangkat-perangkat keras atau perangkat pendukung yang
bisa mempercepat bagi tercapainya pelaksanaan pendidikan yang berjiwa entrepreneur
di perguruan tinggi.
Penutup
1.
Pengangguran dan
kemiskinan hingga saat ini merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia yang
belum bisa terpecahkan. Kondisi ini merupakan masalah serius bagi pemerintah
yang harus segara di antisipasi sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat
yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi warga masyarakat, apabila kondisi ini
tidak memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah maka akan mengakibatkan
masalah sosial yang cukup tinggi akibat tingginya tingkat pengangguran seperti
penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, pergaulan bebas, premanisme, traficking,
dan lain sebagainya yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan
pembangunan di segala bidang serta mengancam stabilitas nasional.
2.
Pendidikan
enterpreneurship merupakan salah satu solusi yang ideal untuk memberikan bekal
kewirausahaan melalui kegiatan pendidikan yang terarah dan berkesinambungan
sebagai modal menuju kompetisi dunia kerja yang diharapkan dapat menekan angka
penganguran sehingga dapat mengurangi kesulitan sosial ekonomi masyarakat yang
pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia sehingga
dapat memberikan solusi yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.
Pengembangan karakter keilmuan enterpreneurship
di perguruan tinggi didisain untuk mengetahui (to know), melakukan (to do),
dan menjadi (to be) entrepreneur.
Tujuan pendidikan to know dan to do terintegrasi di dalam kurikulum
program studi, terdistribusi di dalam mata-matakuliah keilmuan. Implementasi
dari pendidikan enterpreneurship ini dimaksudkan untuk menginternalisasikan
nilai-nilai entrepreneurship, dimana perguruan tinggi menyediakan matakuliah
pendidikan enterpreneurship yang ditujukan untuk bekal motivasi dan pembentukan
sikap mental entrepreneur, pelatihan keterampilan bisnis praktis dan merealisasikan
inovasi teknologi ke dalam praktek bisnis.
4.
Pembentukan karakter entrepreneur
mahasiswa dapat diterapkan
melalui dua strategi yaitu strategi makro dan
mikro. Strategi makro berada pada tataran kebijakan perguruan tinggi yang menjadi tugas dan tanggung jawab
untuk menumbuhkembangkan
jiwa dan karakter enterpreneurship melalui program-program nyata sehingga
diharapkan mahasiswa dapat menjadi pencipta lapangan kerja seperti mengintegrasikan pembelajaran entrepreneurship ke dalam kurikulum; mengembangkan
entrepreneurship center pada perguruan tinggi; serta menciptakan gerakan nasional budaya dan pelatihan entrepreneurship bagi
mahasiswa. Strategi mikro berada
pada tataran pembelajaran
di kelas terutama pembelajaran entrepreneurshipseperti pembelajaran
yang membentuk manusia secara holistik; 2) pembelajaran yang membangkitkan
kelima panca indera mahasiswa; 3)
pembelajaran yang experiential learning; 4) pembelajaran yang real- life;
5) pembelajaran berbasis
life skill membentuk
karakter entrepreneur; dan
6) Pembelajaran entrepreneurship
tidak hanya fokus pada Business Plan.
5. Implementasi
pendidikan enterpreneurship di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan cara, pendidikan
tersebut lebih menitikberatkan pada penggalian potensi diri setiap peserta
didik (mahasiswa), menyediakan para pengajar yang berlatar kewirausahaan , dan
adanya kehendak stakeholder perguruan tinggi dalam mengimplementasikan
pendidikan enterpreneurship di perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Basu,
Anurudha et.al, (2009). Assessing
Entrepreneurial Intentions Amongst Students: A Comparative Study, San
Jose State University (tidak dipublikasikan). http://nciia.org.
Charney,
Alberta, et.al., (2000). The
Impact of Entrepreneurship Education: An Evaluation of the Berger
Entrepreneurship Program at the University of Arizona, 1985-1999,
University of Arizona Tucson, Arizona.
Colambatto,
Enrico et.al, Early Work Experience
and Transition Into Entrepreneurship, University of Torino dan
University of Haifa.
Gadar,
Kamisan dan Nek Kamal Yeop Yunus, (2009). The Influence of Personality and Socio-Economic Factors on Female
Enterpreneurship Motivations in Malaysia, International Review of Business
Research Papers, January, 5 (1), 149 – 162
Greve,
Arentdan Janet W. Salaff, (2003). Social
Networks and Entrepreneurship, Entrepreneurship, Theory &
Practice, 28(1): 1-22.
Harpowo
dan Sri Wibawani Wa, (2009). Budaya
Kewirausahaan Pada Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang.
Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.
Indarti,
Nurul dan Rokhima Rostianti, (2008). Intensi
Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan
Norwegia, Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Oktober, 23 (4).
Marshall,
Maria I. dan Whitney N. Oliver, (2005). The Effects of Human, Financial, and Social Capital on the
Entrepreneurial Process for Entrepreneurs in Indiana, Allied Social
Science Associations Annual Meeting, Philadelphia, Pennsylvania.
Muhyi,
Herwan Abdul, (2007). Menumbuhkan Jiwa
dan Kompetensi Kewirausahaan, Universitas Padjadjaran. Bandung.
Oosterbeek,
Hessel, Mirjam C. Van Praag dan Auke Ijsselstein, (2008). The Impact of Entrepreneurship Education On
Entrepreneurship Competencies and Intentions. TI 2008-038/3,
Tinbergen Institute dan University of Amsterdam. http://www.economist.ne.
Oswari,
Teddy, (2005). Membangun Jiwa
Kewirausahaan (Entrepreneurship) Menjadi Mahasiswa Pengusaha (Entrepreneur
Students) Sebagai Modal Untuk Menjadi Pelaku Usaha Baru, Proceeding
Seminar Nasional PESAT, Agustus.
Saud,
Mohammad Basir dan Mohd Noor Sharrif, (2009). An Attitude Approach to the Prediction of Entrepreneurship on Students at
Institution of Higher Learning
in Malaysia, International Journal of Business and Management. July, 4
(4), 129 . 135.
Shastri,
Rajesh Kumar, Surendra Kumar dan Murad Ali, (2009). Entrepreneurship Orientation Among Indian Professional Students. Journal
of Economics and Internatioanl Finance Vol.1(3), pp 085-087, August 2009.
Siswoyo,
H. Bambang Banu, (2009). Pengembangan
Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Dosen dan Mahasiswa, Jurnal Ekonomi Bisnis, Tahun 14 No 2, Juli.
Wijaya,
Tony, (2008). Kajian Model Empiris Perilaku
Berwirausaha UKM DIY dan Jawa Tengah, Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, September, 10 (2), 93 . 104.
Yohnson,
(2003). Peranan Universitas dalam
Memotivasi Sarjana Menjadi Young Entrepreneurs, Jurnal Manajemen
& Kewirausahaan, 5 (2), September, 97 . 111.
Yuwono,
Susatyo dan Partini, (2008). Pengaruh
Pelatihan Kewirausahaan Terhadap Tumbuhnya Minat Berwirausaha, Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol 9 No 2, Agustus, 119 – 127
Zarkasyi,
Srihadi W, (2006). Mahasiswa dan
Motivasi Berprestasi, Universitas Padjadjaran. http://pustaka.unpad.ac.id.
Alma, Buchari,
2003. Kewirausahaan. Penerbit
Alfabeta, Bandung. Ciputra, 2008. Quantum
Leap: Bagaimana Entrepreneurship Dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan
Bangsa, Cetakan Pertama, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Dewanti, Retno,
2008. Kewirausahaan, Edisi
Pertama,Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta.
Kasmir, 2007. Kewirausahaan, Edisi 1, Penerbit PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Lupiyoadi, Rambat, 2007. Entrepreneurship From Mindset To Strategy,
Cetakan Ketiga, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta.
Meredith,
Geoffrey G, 2002. Kewirausahaan: Teori
dan Praktek, PPM, Jakarta.
Mudjiarto dan
Aliaras Wahid, 2006. Membangun Karakter
dan Kepribadian Kewirausahaan,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit Graha Ilmu dan UIEU University Press,
Yogyakarta dan Jakarta.
[1]
Zarkasyi,
Srihadi W, Mahasiswa dan Motivasi Berprestasi, Universitas
Padjadjaran http://pustaka.unpad.ac.id, Tahun 2006.
[2]
Wijaya,
Tony, Kajian Model Empiris Perilaku Berwirausaha UKM DIY
dan Jawa Tengah, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, September,
2008, 10 (2), 93-104.
[3]
Charney, Alberta, The Impact of Entrepreneurship Education:
An Evaluation of the Berger Entrepreneurship Program at the University of
Arizona, 1985-1999, University of Arizona Tucson, Arizona. Tahun
2000.
[4]
Harpowo dan Sri Wibawani. Budaya Kewirausahaan Pada Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Malang. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.
Tahun 2009.
[5]
Basu, Anurudha. Assessing
Entrepreneurial Intentions Amongst Students: A Comparative Study, San
Jose State University (tidak dipublikasikan). http://nciia.org. Tahun 2009
[6]
Indarti, Nurul dan Rokhima Rostianti, Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia,
Jepang dan Norwegia, Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Oktober, 23 (4).
Tahun 2008
[7]
Oswari, Teddy, Membangun
Jiwa Kewirausahaan (Entrepreneurship) Menjadi Mahasiswa Pengusaha (Entrepreneur
Students) Sebagai Modal Untuk Menjadi Pelaku Usaha Baru, Proceeding
Seminar Nasional PESAT, Tahun 2005
[9]
Zarkasyi, Srihadi W, Mahasiswa
dan Motivasi Berprestasi, Universitas Padjadjaran http://pustaka.unpad.ac.id. Tahun 2006
[10]
Oswari, Teddy, Membangun
Jiwa Kewirausahaan (Entrepreneurship) ..........., Tahun 2005
[11]
Oosterbeek, Hessel, Mirjam C. Van Praag dan Auke Ijsselstein, The Impact of Entrepreneurship Education On
Entrepreneurship Competencies and Intentions. TI 2008-038/3,
Tinbergen Institute dan University of Amsterdam. http://www.economist.ne.Tahun 2008
[12] Oswari, Teddy, Membangun
Jiwa Kewirausahaan (Entrepreneurship) ........, Tahun 2005
[13]
Saud, Mohammad Basir dan Mohd Noor Sharrif, An
Attitude Approach to the Prediction of Entrepreneurship on Students at
Institution of Higher Learning
in Malaysia, International Journal of Business and Management. July, 4
(4), 129 . 135. Tahun 2009
[14]
Greve, Arentdan Janet W. Salaff, Social Networks and Entrepreneurship, Entrepreneurship, Theory
& Practice, 28(1): 1-22. Tahun 2003
[15]
Siswoyo, H. Bambang Banu, Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan
Dosen dan Mahasiswa, Jurnal
Ekonomi Bisnis, Tahun 14 No 2, Juli. Tahun 2009
[16] Lupiyoadi,
Rambat, Entrepreneurship From Mindset To Strategy, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tahun 2007
[17]
Yohnson, Peranan
Universitas dalam Memotivasi Sarjana Menjadi Young Entrepreneurs,
Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, 5 (2), September, 97-111. Tahun 2003.
[18]
Mudjiarto
dan Aliaras Wahid, Membangun Karakter
dan Kepribadian Kewirausahaan,
Penerbit Graha Ilmu dan UIEU University Press, Yogyakarta dan Jakarta. Tahun
2006.
[20] Siswoyo, H. Bambang Banu, Pengembangan
Jiwa Kewirausahaan .......
Tahun 2009
[21]
Shastri, Rajesh Kumar, Surendra Kumar dan Murad Ali, Entrepreneurship Orientation Among Indian
Professional Students. Journal of Economics and Internatioanl
Finance Vol.1(3), pp 085-087, Tahun 2009.
[23] Ibid
[24]
Muhyi, Herwan Abdul, Menumbuhkan Jiwa dan Kompetensi Kewirausahaan,
Universitas Padjadjaran. Bandung. Tahun 2007