Air Ketuban
Konsep Ekonomi Barokah
Oleh Ahmad Rifai • 8 September 2014 Dipublikasikan
dengan tag Esai
Di lingkaran Maiyah Tuban, khususnya lingkaran
Paseduluran Tunggal Kareb, alhamdulillah telah bergulir model pemberdayaan
ekonomi masyarakat Maiyah sebagaimana yang pernah digagas. Sebuah konsep
ekonomi barokah, di tengah hegemoni model dan praktek-praktek ekonomi riba.
Barangkali yang satu ini sesuatu yang unik, baru, dan pastinya khas Maiyah;
meskipun bukan sesuatu yang aneh sebab beginilah hidup yang semestinya. Bahwa
apa pun yang kita lakukan itu mesti berdasarkan nilai-nilai yang kita pelajari,
kita gali dan kaji, serta kita yakini selama ini dalam majelis-majelis
pengajian Maiyah.
Sebagaimana pernah disampaikan Penghulu Masyarakat
Maiyah, bahwa konsep rejeki itu tidak linier tetapi melingkar. Dalam bahasa
penulis dan masyarakat selama ini: Ora ono critane mari zakat, malah
bangkrut ekonomine. Ora ono critane wong sing akeh sodaqoh malah tambah miskin.
Ora tau krungu critane, wong sing mari lungo kaji tambah soro urip e. Tapi sing
jelas sopo sing urip e nakal (curang) bakal manen urip e pakarti. Membantu
sesama itu sepintas sepertinya hanya menguntungkan orang lain, tapi sebenarnya
hakekatnya adalah membantu diri kita sendiri. Dan ini bisa diekstrapolasi jika
yang terjadi adalah saling bantu membantu, saling tolong-menolong, maka sinergi
seperti apa yang akan terjadi? Bahwa kerjasama itu baik dan sebaliknya konsep
ekonomi yang eksploitatif itu akan merusak jiwa kita sebagai manusia. Kita
mungkin tahu semua ini, walaupun barangkali ada juga yang masih belum yakin.
Koperasi Simpan Pinjam Barokah Tunggal Karep (non
riba) ini baru salah satu embrio. Anggotanya para petani ndeso, memang
lugu-lugu orangnya. Tapi insya Allah semua wong e temen (jujur). Dan
karena kuasa Allah SWT, ada yang pernah tertimpa rumahnya ketika roboh akibat
kena puting beliung, tapi yang bersangkutan selamat. Ada yang pernah tersambar
petir di tengah sawah, topi capingnya hancur berkeping-keping, pakaianya juga
hancur, dan badannya hangus semua, tapi yang bersangkutan dengan ijin Allah SWT
masih hidup sampai sekarang dan tetap ngarit ke sawah.
Konsep koperasi ini memang tidak mengenal bunga
(riba). Jadi misalkan pinjam 1000, ya dapat 1000 (tanpa ada potongan apa pun)
dan ketika mengembalikannya pun tetap 1000 (tanpa ada bunga), dengan masa
pinjaman 4 bulan karena anggotanya para petani maka masa pinjaman disepakati
disesuaikan dengan usia panen tanaman mereka yang rentangnya antara 3-4 bulan,
yang tentu saja boleh dicicil proses pengembaliannya agar tidak terlalu
memberatkan. Peminjam hanya dikenakan biaya administrasi 0.1% (satu
permil) dari besar pinjaman dan harus dibayar kontan di depan (tidak boleh
potong pinjaman). Dan uang yang dipungut ini pun nantinya digunakan untuk
membiayai operasional koperasi. Si Peminjam hanya dimintai pengertiannya untuk
memberi infak, ketika pinjaman sudah lunas jika saat penulasan mereka sedang
memiliki keleluasaan rejeki. Dan karena sifatnya infak, maka tidak ada patokan
tapi sesuai kemampuan dan keikhlasan. Demikian pula jika menabung, di koperasi
ini jangan mengharapkan akan diberi bunga, tapi karena itu insya Allah
rejekinya akan menjadi lebih barokah karena simpanan uangnya akan dipakai untuk
menolong sesama saudaranya yang sedang membutuhkan bantuan. Untuk itu penabung
dibebaskan dari biaya administrasi. Ada pun semua simpanan wajib dan simpanan
sukarela, pada saatnya nanti juga akan dikembalikan pada si Penabung. Dan tentu
saja, ada persyaratan adminitratif untuk bisa menjadi anggota, termasuk di
antaranya melakukan pendaftaran dengan membayar iuran pendaftaran anggota.
Permodalan koperasi hanya mengandalkan dana hibah yang tidak mengikat, uang
bagi hasil usaha pemeliharaan ternak (domba/kambing/sapi) di antara anggota dan
usaha tani lainnya, serta infak anggota yang pernah meminjam yang mempunyai
keleluasaan rejeki.
Bermula dari Dunia Pendidikan
Sejarah dunia pendidikan di negeri ini belum terlalu
lama, baru di mulai sejak era politik etis, setelah masa tanam paksa, HIS
(Hollandsch Inlandsch School) didirikan pada tahun 1914, meskipun sekolah untuk
anak-anak desa dengan pengantar Bahasa Daerah sudah didirikan sejak tahun 1906.
Fakta ini benar, jika yang dimaksud model pendidikan sekuler yang dikenalkan
oleh pemerintah colonial Belanda. Sekolah Taman Siswa yang notabene sekolah
nasional yang dirintis oleh kalangan pribumi sendiri baru berdiri pada tahun
1922. Tapi pendidikan model pesantren (pondok) yang juga mengajarkan
nilai-nilai di samping mengajarkan ketrampilan hidup sebenarnya telah ada jauh
sebelum itu, bahkan di era Wali Songo. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1596
di Nusantara sudah ada model pendidikan yang saat belakangan disebut dengan
pondok pesantren. Dalam catatan yang dibuat Rafles, Maulana Malik Ibrahim yang
wafat 1419 juga memiliki santri dan mengajarkan ilmu di padepokan yang
beliau dirikan kepada para santrinya. Bahkan menurut Howard M. Federspiel,
salah satu pengkaji Islam di Indonesia , bahwa pada awal abad 12 di Aceh sudah
ada pusat-pusat studi ini. Bahkan di era pra Islam, sejarah menceritakan bahwa
orang berguru di padepokan-padepokan yang dimiliki para resi atau rohaniawan.
Ketika konsep pendidikan model barat diperkenalkan
pada pribumi sebagai politik balas budi (baca: merasa bersalah), saat itu hanya
terbatas berlaku pada anak-anak pegawai pemerintah kolonial Belanda. Sebagian
besar anak pribumi tidak mempunyai akses pendidikan formal pemerintah Belanda
ini. Dan mereka yang tak tertampung ini memperoleh pendidikan di pondok-ponok
pesantren yang didirikan para ulama (para Kyai). Dan fenomena yang terakhir ini
masih terjadi sampai sekarang. Bahkan anak-anak nakal yang dikeluarkan dari
sekolahnya, akhirnya hanya bisa sekolah atau mondok, jika semua sekolah sudah
menolaknya.
Disadari atau tidak proses sekulerisasi dimulai dari
bangku pendidikan model barat ini. Ketika itu, semua murid (yang ketika itu
masih mayoritas baru anak laki-laki), diwajibkan memakai celana pendek. Padahal
tuntunan nilai yang dianut sebagian besar penduduk pribumi (baca: yang muslim),
batas aurat laki-laki adalah sebatas lutut. Beberapa orang yang takut atau
tidak mau melanggar nilai ini, memilih mengirimkan anaknya memperoleh
pendidikan di pesantren atau sekolah Islam daripada sekolah pemerintah Belanda.
Ide-ide sekuler, bahwa seakan nilai-nilai dan proses
kehidupan ini tidak ada kaitannya dengan ibadah terus ditanamkan bahkan sampai
saat ini, baik kita sadari atau pun tidak. Bahkan sampai ke bangku perguruan
tinggi. Hanya sekedar contoh: Mereka yang belajar ekonomi, sedari awal sudah
dikenalkan pada konsep bunga. Mereka yang belajar tentang perkoperasian juga
dikenalkan pada konsep bunga. Mereka yang mempelajari pertanian melalui ekonomi
pertanian, bahkan termasuk yang menekuni bidang keteknikan melalui mata kuliah
ekonomi teknik, dikenalkan pada konsep nilai uang terkait dengan waktu, yang
nota bene semua adalah konsep riba alias rente alias bunga. Semua yang menekuni
disiplin ilmu di atas semua mempelajari ini, termasuk diri penulis. Sebab
memang tidak ada tawaran konsep alternatif dalam sisi teori keuangan dan
ekonomi dari bangsa bahkan umat Islam yang applicable selama ini di tingkat
praksis.
Di awali era 90-an saat itu muncul bank Syariah
Muamalat. Kemudian belakangan era tahun 2000-an tiba-tiba menjadi tren, semua
bank konvensional juga membuka Bank Syariah. Terlepas apa motivasinya, apakah
itu bisa dianggap sebagai gerakan tobat nasional dari model ekonomi rente
kemudian merujuk pada model ekonomi yang mencari barokah ataukah
dilatarbelakangi alasan bahwa umat Islam di negeri ini mayoritas dan itu adalah
potensi pasar. Bagi saya pribadi sampai saat ini belum begitu jelas, konsep
bank syariah yang ada selama ini betul-betul non riba ataukah sebenarnya
praktek riba yang diberi baju syariah alias riba yang diberi stempel halal?
Yang jelas konsep ekonomi kita, yang kita pelajari dan
hampir selalu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kaitannya
dengan kehidupan pribadi kita atau pun kaitannya dengan aktivitas tempat kita
bekerja; entah itu terkait dengan lembaga koperasi, bank, lembaga keuangan non
bank (leasing), dan lain-lain masih memakai konsep ekonomi yang menghalalkan
riba ini (baca: model ekonomi Yahudi). Dan jangan pula heran jika saya
sampaikan bahwa semua lembaga keuangan dunia seperti IMF, World Bank, Asian
Development Bank, dan lain-lain itu juga bagian dari perpanjangan tangan
ekonomi model Yahudi dan dikuasai oleh mereka yang sebenarnya jumlahnya
minoritas di dunia ini. Tentu ada kekuatan ekonomi dari etnis Cina yang juga
menyokong model ekonomi ini, karena kepentingan pragmatis. Pemerintah AS pun
sebenarnya tak hendak pada rejim Israel (jika mereka mempunyai kebebasan untuk
memilih), tapi mereka sendiri tak berdaya karena ekonomi negeri mereka memang
dikuasai oleh minoritas Yahudi yang mengendalikan ekonomi mereka, bahkan
ekonomi dunia.
Saya tidak tahu, sampai kapan kita akan terus
mempelajari konsep ekonomi yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai yang
kita yakin ini? Atau sampai kapan pemikir-pemikir kita bisa memberikan solusi
alternatif, sebuah konsep dan teori keuangan dan ekonomi yang komprehensif dan applicable
yang bersumber dari tuntunan nilai kita? Untuk tidak sekedar mengeluarkan fatwa
bahwa oh praktek itu haram hukumnya! Atau sampai kapan mereka (baca: kalangan
ekonom dan calon ekonom) yang sudah mempelajari konsep ekonomi riba ini bisa
mengkritisi untuk kemudian merekonstruksi ulang sebuah konsep ekonomi yang
membawa barokah atau membawa rahmat bagi semua? Sebuah konsep ekonomi yang
tidak ekspoitatif, tidak serakah dan tamak, tapi ada jaminan bagi si kuat dan
si lemah. Bukan sebuah konsep ekonomi yang mau menang sendiri apalagi melanggar
nilai ajaran luhur bahwa Allah SWT mengharamkan praktek riba. Tapi sebuah
konsep ekonomi yang win-win solution alias untung sama untung, dan
bukankan seperti itulah konsep jual-beli yang barokah, di mana kedua bela pihak
harus diuntungkan.
Air Ketuban Itu
Koperasi Simpan Pinjam BAROKAH Tunggal Kareb
(Non-Riba) yang digagas dan sudah di-launch, bukanlah sebuah obsesi,
bukan pula sebuah utopia, tapi adalah sebuah ikhtiar yang berangkat dari
keyakinan. Bahwa jika Allah ridlo tidak ada yang mustahil.
Termasuk perihal tatanan praktek ekonomi dunia yang
timpang dan bahkan yang berlangsung di negeri ini ada yang perlu dikoreksi. Peradaban
Islam sudah hadir selama 15 abad, konsep ekonomi yang membawa kemaslahatan bagi
semua harus menjadi model jika kita tidak ingin jadi korban. Mudah-mudahan ini
menjadi salah satu model penghayatan beragama yang bisa dikategorikan sebagai
model beragama era Madinah itu. Selain pola berdagang di mana masing-masing
pihak yang bertransaksi saling bertukar manfaat yang memang dihalalkan oleh
nash.
Setidaknya dalam konteks negeri ini amanah proklamasi
pun sudah sangat jelas, “….hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Masalah pemindahan kekuasaan sudah jelas, PR yang tersisa justru di masalah
“dan lain-lain” itu yang masih harus kita kerjakan. Sekedar ilustrasi, di era kolonial
dulu ada profesi atau dikenal dengan sebutan “mindring”. Biasanya diperankan
oleh pedagang kelontong dari etnis Cina. Mereka berdagang atau mengkreditkan
barang ke kampung-kampung, tapi tak jarang juga berprofesi sebagai rentenir
atau lintah darat. Salah satu PR dalam bungkus “dan lain-lain” ini belum
terjamah semuanya, malah rentenir makin merajalela di kampung-kampung dan di
desa-desa. Tidak lagi hanya diperankan oleh mereka dari kalangan entis Cina,
tapi kalangan pribumi pun seakan saling bersaing untuk menjadi rentenir dan
menjadikan para tetangganya sendiri sebagai mangsa. Koperasi ini tak hendak
mencapai tujuan yang muluk-muluk, bisa menggeser praktek ekonomi di pedesaan
yang ekspoitatif menjadi model ekonomi yang membawa keberkahan, itu saja sudah
sebuah prestasi dan mudah-mudahan ini menjadi salah satu catatan setoran Maiyah
untuk bangsa dan negeri ini dalam rangka menebarkan amanat-Nya bahwa Islam itu
rahmatan lil alamin.
Ibarat telur yang baru menetas dan masih harus tumbuh.
Dan proses kehidupan memang harus berjalan di atas optimisme. Karena itu
ikhtiar ini hanya bisa berkembang jika semua orang minimal anggota kami tetap
setia dan yakin akan nilai-nilai yang kami usung dan harus senantiasa kita
junjung. Kami sadar bahwa stamina dan kedisiplinan di sini akan diuji. Modal
awal yang sebenarnya dimiliki oleh koperasi ini bukanlah asset tapi niat dan
modal operasional yang utama adalah komitmen moral masing-masing anggota yang
pada akhirnya menjadi moral kolektif anggota untuk menjaga dan membesarkan
lembaga ekonomi ini. Karenanya hanya kepada-Nya kami memohon kekuatan,
menyandarkan perlindungan dan pertolongan.
Tentu saja proses kelahiran lembaga ekonomi mikro ini
belum bisa menggantikan sepenuhnya fungsi-fungsi roda ekonomi yang selama ini
telah berjalan, paling tidak model ekonomi barokah ini bisa menjadi ganjel
ketika perut sedang kelaparan atau pun pilihan alternatif tambahan praktek
ekonomi sedulur-sedulur kami dan mudah-mudahan bisa menjadi penyemangat bagi
yang lainnya. Dan karena itu tulisan ini sama sekali tidak diniatkan untuk
maksud-maksud: pamer, riya, apalagi ujub. Justru dukungan moril dan doa
dari sekalian pembaca, sangat diharapkan, sebab kehidupan adalah terus
berproses dan akan ada banyak godaan dan tantangan di sana.