Dimensi Sosial-Ekonomi Pendidikan
Banyak ahli meyakini bahwa
pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan
sosial-ekonomi sebuah bangsa. Berbagai studi menunjukkan bahwa pendidikan,
selain dapat mendorong kemajuan sosial, juga dapat menjadi stimulasi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pendidikan berdimensi ganda: sosial dan ekonomi.
Dimensi sosial pendidikan menegaskan bahwa pendidikan akan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, dengan indikator-indikator kualitatif sebagai berikut. Pertama, pendidikan akan meningkatkan status sosial individu atau kelompok masyarakat, yang kemudian menjadi instrumen dan kekuatan pendorong proses mobilitas vertikal.
Pencapaian mobilitas vertikal ini akan melahirkan prestise sosial. Kedua, tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan individu atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan atau memilih jenis-jenis pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja ini akan berimplikasi pada perbaikan dan peningkatan penghasilan sehingga berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan derajat kesejahteraan dan kesehatan. Ketiga, pendidikan akan membawa dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan apabila derajat kesejahteraan masyarakat kian membaik dan populasi penduduk miskin semakin berkurang. Dalam hal ini, pendidikan dapat memutus lingkaran kemiskinan dan sekaligus menghapus kebudayaan kemiskinan, yang telah melahirkan banyak patologi sosial serta menjadi sumber berbagai problem yang kompleks di masyarakat.
Keempat, pendidikan akan membekali individu dengan sejumlah keterampilan sosial seperti kemampuan berkomunikasi, menjalin interaksi sosial, dan membangun relasi harmonis di dalam kehidupan bermasyarakat. Bekal keterampilan sosial akan membuka akses ke dalam pergaulan hidup di masyarakat sehingga memungkinkan bagi individu untuk mengembangkan segenap potensi diri. Daniel Goleman menyebut keterampilan sosial itu merupakan aspek paling penting dalam emotional intelligence. Hasil studi Goleman menunjukkan bahwa yang menjadi kunci utama mencapai prestasi dan meraih sukses dalam kehidupan adalah kecerdasan emosional, bukan (semata) kecerdasan intelektual.
Kelima, pendidikan akan membuka berbagai peluang untuk melakukan inovasi dan menyediakan sejumlah pilihan alternatif untuk mengembangkan kreativitas sosial di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan akan membuka akses bagi setiap individu untuk berpartisipasi di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Pendidikan, secara sosiologis, akan melahirkan suatu lapisan masyarakat terpelajar, yang menjadi fundamen bagi pembentukan formasi sosial baru, yaitu kelas menengah. Dengan pendidikan yang baik, kelas menengah terpelajar ini akan lebih mudah menyuarakan aspirasi publik, bersikap kritis, dan artikulatif. Tentu saja ini merupakan modal yang sangat penting bagi upaya membangun basis masyarakat madani dan memperkuat sendi-sendi demokrasi.
Dimensi ekonomi pendidikan menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor determinan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Semula ahli-ahli ekonomi pembangunan cenderung mengabaikan atau kurang memberikan perhatian mengenai pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kira-kira sampai akhir Perang Dunia II, mereka masih menganut keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi sepenuhnya bertumpu pada tiga faktor saja: (1) tanah sebagai lahan untuk membangun industri [pabrik]; (2) buruh sebagai tenaga kerja yang menggerakkan proses produksi; dan (3) modal finansial [uang] untuk investasi. Akan tetapi, pandangan konvensional ini kemudian dikoreksi oleh ekonom-ekonom generasi baru, dengan mengemukakan paradigma baru bahwa pendidikan justru menjadi faktor kunci untuk mendorong proses transformasi ekonomi. Paradigma ini dikemukakan oleh dua orang ahli ekonomi pembangunan peraih hadiah nobel, Garry S Becker dan Theodore W Schultz, yang termuat dalam Human Capital (1964) dan Investment in Education (1972).
Pemikiran tersebut kemudian diikuti dan dielaborasi lebih lanjut oleh banyak ahli ekonomi pembangunan yang lain seperti FH Harbinson, dalam Human Resources as the Wealth of Nations (1973); Roe L Johns, Edgar L Morphet, Kern Alexander, dalam The Economics and Financing of Education (1983); dan Percy E Burrup, Vern Brimley, dan Rulon R Garfield dalam Financing Education in a Climate of Change (1999). Namun, jika dilacak lebih jauh, sesungguhnya pemikiran mereka itu merujuk atau berpangkal pada pemikiran ekonomi klasik Adam Smith, yang menempatkan faktor modal manusia sebagai bagian penting dalam mendorong kemajuan ekonomi, setara dengan modal finansial (uang) dan modal fisik (tanah, pabrik, peralatan produksi, teknologi). Semua karya kesarjanaan tersebut menegaskan bahwa pendidikan mempunyai hubungan signifikan dengan pembangunan ekonomi; pendidikan dan ekonomi merupakan dua variabel yang saling bergantung. Sangat jelas betapa pendidikan mempunyai korelasi positif dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Dalam konteks ekonomi, pendidikan dimaknai sebagai bentuk investasi modal insani. Dalam jangka panjang, investasi untuk pendidikan akan melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif, yang sangat diperlukan dalam upaya membangun perekonomian suatu bangsa. Investasi di bidang pendidikan, secara ekonomis, akan mendatangkan keuntungan terutama berkaitan dengan pemasokan tenaga-tenaga kerja yang cakap, terampil, dan mahir, yang menjadi instrumen vital dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja berpendidikan dapat dilihat dari enam parameter.
Pertama, quantity of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dalam waktu lebih cepat, sebab mereka memiliki keterampilan, kemahiran, dan pengetahuan. Kedua, quality of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan produk yang bermutu dengan pelayanan yang lebih baik. Ketiga, product mix, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menghasilkan produk dan memberikan pelayanan yang berorientasi pada customer satisfaction. Keempat, participation in the labor force, tenaga kerja terdidik akan dengan mudah terlibat secara aktif dalam organisasi atau perserikatan pekerja, terutama untuk menyuarakan aspirasi atau mengajukan tuntutan, misalnya, kenaikan gaji atau perbaikan kesejahteraan. Kelima, allocative ability, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menilai atau mengukur kapasitas diri mereka. Keenam, job satisfaction, tenaga kerja terdidik akan lebih mudah memperoleh kepuasan dalam bekerja, karena mereka lebih gampang mendapat pekerjaan atau memilih jenis pekerjaan tertentu, dengan penghasilan yang lebih tinggi (WG Bowen, Assessing the Economic Contribution of Education, 1985).
Tak ada keraguan sedikit pun, pendidikan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan seyogianya tak dimaknai semata-mata sebagai expenditure atau expense di dalam struktur neraca pembangunan. Pendidikan secara nyata telah memberikan keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi, individual maupun sosial, langsung maupun tak langsung. Tabel di bawah ini merangkum secara lebih detail sejumlah keuntungan yang diperoleh melalui pendidikan.
Dimensi sosial pendidikan menegaskan bahwa pendidikan akan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, dengan indikator-indikator kualitatif sebagai berikut. Pertama, pendidikan akan meningkatkan status sosial individu atau kelompok masyarakat, yang kemudian menjadi instrumen dan kekuatan pendorong proses mobilitas vertikal.
Pencapaian mobilitas vertikal ini akan melahirkan prestise sosial. Kedua, tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan individu atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan atau memilih jenis-jenis pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja ini akan berimplikasi pada perbaikan dan peningkatan penghasilan sehingga berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan derajat kesejahteraan dan kesehatan. Ketiga, pendidikan akan membawa dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan apabila derajat kesejahteraan masyarakat kian membaik dan populasi penduduk miskin semakin berkurang. Dalam hal ini, pendidikan dapat memutus lingkaran kemiskinan dan sekaligus menghapus kebudayaan kemiskinan, yang telah melahirkan banyak patologi sosial serta menjadi sumber berbagai problem yang kompleks di masyarakat.
Keempat, pendidikan akan membekali individu dengan sejumlah keterampilan sosial seperti kemampuan berkomunikasi, menjalin interaksi sosial, dan membangun relasi harmonis di dalam kehidupan bermasyarakat. Bekal keterampilan sosial akan membuka akses ke dalam pergaulan hidup di masyarakat sehingga memungkinkan bagi individu untuk mengembangkan segenap potensi diri. Daniel Goleman menyebut keterampilan sosial itu merupakan aspek paling penting dalam emotional intelligence. Hasil studi Goleman menunjukkan bahwa yang menjadi kunci utama mencapai prestasi dan meraih sukses dalam kehidupan adalah kecerdasan emosional, bukan (semata) kecerdasan intelektual.
Kelima, pendidikan akan membuka berbagai peluang untuk melakukan inovasi dan menyediakan sejumlah pilihan alternatif untuk mengembangkan kreativitas sosial di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan akan membuka akses bagi setiap individu untuk berpartisipasi di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Pendidikan, secara sosiologis, akan melahirkan suatu lapisan masyarakat terpelajar, yang menjadi fundamen bagi pembentukan formasi sosial baru, yaitu kelas menengah. Dengan pendidikan yang baik, kelas menengah terpelajar ini akan lebih mudah menyuarakan aspirasi publik, bersikap kritis, dan artikulatif. Tentu saja ini merupakan modal yang sangat penting bagi upaya membangun basis masyarakat madani dan memperkuat sendi-sendi demokrasi.
Dimensi ekonomi pendidikan menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor determinan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Semula ahli-ahli ekonomi pembangunan cenderung mengabaikan atau kurang memberikan perhatian mengenai pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kira-kira sampai akhir Perang Dunia II, mereka masih menganut keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi sepenuhnya bertumpu pada tiga faktor saja: (1) tanah sebagai lahan untuk membangun industri [pabrik]; (2) buruh sebagai tenaga kerja yang menggerakkan proses produksi; dan (3) modal finansial [uang] untuk investasi. Akan tetapi, pandangan konvensional ini kemudian dikoreksi oleh ekonom-ekonom generasi baru, dengan mengemukakan paradigma baru bahwa pendidikan justru menjadi faktor kunci untuk mendorong proses transformasi ekonomi. Paradigma ini dikemukakan oleh dua orang ahli ekonomi pembangunan peraih hadiah nobel, Garry S Becker dan Theodore W Schultz, yang termuat dalam Human Capital (1964) dan Investment in Education (1972).
Pemikiran tersebut kemudian diikuti dan dielaborasi lebih lanjut oleh banyak ahli ekonomi pembangunan yang lain seperti FH Harbinson, dalam Human Resources as the Wealth of Nations (1973); Roe L Johns, Edgar L Morphet, Kern Alexander, dalam The Economics and Financing of Education (1983); dan Percy E Burrup, Vern Brimley, dan Rulon R Garfield dalam Financing Education in a Climate of Change (1999). Namun, jika dilacak lebih jauh, sesungguhnya pemikiran mereka itu merujuk atau berpangkal pada pemikiran ekonomi klasik Adam Smith, yang menempatkan faktor modal manusia sebagai bagian penting dalam mendorong kemajuan ekonomi, setara dengan modal finansial (uang) dan modal fisik (tanah, pabrik, peralatan produksi, teknologi). Semua karya kesarjanaan tersebut menegaskan bahwa pendidikan mempunyai hubungan signifikan dengan pembangunan ekonomi; pendidikan dan ekonomi merupakan dua variabel yang saling bergantung. Sangat jelas betapa pendidikan mempunyai korelasi positif dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Dalam konteks ekonomi, pendidikan dimaknai sebagai bentuk investasi modal insani. Dalam jangka panjang, investasi untuk pendidikan akan melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif, yang sangat diperlukan dalam upaya membangun perekonomian suatu bangsa. Investasi di bidang pendidikan, secara ekonomis, akan mendatangkan keuntungan terutama berkaitan dengan pemasokan tenaga-tenaga kerja yang cakap, terampil, dan mahir, yang menjadi instrumen vital dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja berpendidikan dapat dilihat dari enam parameter.
Pertama, quantity of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dalam waktu lebih cepat, sebab mereka memiliki keterampilan, kemahiran, dan pengetahuan. Kedua, quality of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan produk yang bermutu dengan pelayanan yang lebih baik. Ketiga, product mix, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menghasilkan produk dan memberikan pelayanan yang berorientasi pada customer satisfaction. Keempat, participation in the labor force, tenaga kerja terdidik akan dengan mudah terlibat secara aktif dalam organisasi atau perserikatan pekerja, terutama untuk menyuarakan aspirasi atau mengajukan tuntutan, misalnya, kenaikan gaji atau perbaikan kesejahteraan. Kelima, allocative ability, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menilai atau mengukur kapasitas diri mereka. Keenam, job satisfaction, tenaga kerja terdidik akan lebih mudah memperoleh kepuasan dalam bekerja, karena mereka lebih gampang mendapat pekerjaan atau memilih jenis pekerjaan tertentu, dengan penghasilan yang lebih tinggi (WG Bowen, Assessing the Economic Contribution of Education, 1985).
Tak ada keraguan sedikit pun, pendidikan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan seyogianya tak dimaknai semata-mata sebagai expenditure atau expense di dalam struktur neraca pembangunan. Pendidikan secara nyata telah memberikan keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi, individual maupun sosial, langsung maupun tak langsung. Tabel di bawah ini merangkum secara lebih detail sejumlah keuntungan yang diperoleh melalui pendidikan.