Jangan Terjebak dalam Comfort Zone
Kemalasan dalam comfort zone telah tertulis di buku Jangka Jayabaya
Akeh kelakuan sing ganjil
Wong apik padha kapencil
Akeh wong gawe kabecikan padha krasa isin
Luwih utama ngapusi
Artinya:
Banyak ulah-tabiat ganjil
Orang yang baik justru tersisih
Banyak orang malu untuk bertindak baik
Lebih mengutamakan menipu
Pedoman dari dalam diri, bukan dari luar diri.
Belenggu comfort zone
Kemalasan dalam comfort zone telah tertulis di buku Jangka Jayabaya
Akeh kelakuan sing ganjil
Wong apik padha kapencil
Akeh wong gawe kabecikan padha krasa isin
Luwih utama ngapusi
Artinya:
Banyak ulah-tabiat ganjil
Orang yang baik justru tersisih
Banyak orang malu untuk bertindak baik
Lebih mengutamakan menipu
Pedoman dari dalam diri, bukan dari luar diri.
Dalam masyarakat Indonesia saat ini, kalau mau jujur, telah terjadi
kemalasan dalam menggunakan akal pikiran. Bertindak baik membutuhkan
kesadaran, dan tidak mudah melaksanakannya dalam masyarakat yang
berbudaya instan, budaya yang siap saji, budaya yang gampangan.
Orang senang bila masyarakat atau lembaga tertentu yang menetapkan
haram-halal bagi dirinya. Dalam keadaan sadar seseorang tahu dia
melakukan hal yang salah, tetapi karena masyarakat mendiamkannya maka
maka dia beranggapan bahwa dia tidak melakukan kesalahan.
Sering hal demikian terjadi, semakin menutup hati nurani dan
menggantungkan diri pada pandangan orang luar dalam berkeputusan. Pada
suatu saat, bila dia tergoda melakukan tindakan yang tidak benar, hati
nuraninya mengingatkannya, akan tetapi dia menoleh ke arah fatwa di luar
yang membolehkannya. Akalnya yang cerdik membenarkan tindakannya, dan
hati nuraninya semakin tersudutkan ke dalam.
Mereka yang ingin melakukan tindakan yang berasal dari pikiran yang
jernih, justru tersudutkan. Hampir semua orang menipu diri sendiri.
Tidak salah ungkapan dalam Jangka Jayabaya: Banyak ulah-tabiat ganjil;
Orang yang baik justru tersisih; Banyak orang malu untuk bertindak baik;
Lebih mengutamakan menipu.
Belenggu comfort zone
Dalam keadaan malas, dan ingin menyenangkan diri, memang paling enak
menggantungkan diri pada pandangan luar, apalagi kalau lembaga pemberi
keputusan di luar tersebut dapat membenarkan tindakannya. Lembaga di
luar hanya berkaitan dengan pandangan luar, syariat, fisik, hukum yang
nampak, sulit untuk menyentuh hati nurani yang dalam. Ingin menyenangkan
diri, melupakan hati nurani, menyebabkan seseorang terbelenggu dalam
comfort zone, wilayah kenyamanan, dimana otak tidak perlu berpikir
keras, dan hati nurani terpinggirkan.
Mempertahankan diri dalam wilayah kenyamanan dapat berarti manusia
menipu dirinya sendiri. Apakah ketergantungan terhadap penilaian di luar
tersebut akan membahagiakan diri sendiri? Upaya menipu diri sendiri ini
tidak akan berhasil. Manusia yang menipu diri, berarti dia membiarkan
dirinya tertipu. Ada hukum alam, bahwa apa pun pikiran, ucapan dan
perbuatan seseorang, hal tersebut merupakan benih dan akan memberikan
hasil pada waktunya. Seseorang yang tahu sekelompok orang berbuat salah
dan membiarkannya, dan berpendapat “Apa urusannya denganku?”, akan
datang suatu saat bahwa dia akan diperlakukan tidak adil dan orang lain
gantian akan membiarkannya.
Seseorang yang malas dan mengikuti kebiasaan masyarakat yang juga
malas dan diam dalam melihat ketidakbenaran, tidak akan mengubah
masyarakat ke arah kebaikan. Dia kurang peka, ibaratnya dia telah
melihat luka di tubuh, akan tetapi hal tersebut dibiarkan saja menunggu
sampai bernanah. Mereka yang peka tetapi malas juga tahu bahwa lukanya
bisa bernanah, tetapi dia bungkam. Nanti kan sembuh sendiri.
Dengan cara tersebut seseorang menciptakan comfort zone dan bumpers
demi kenyamanan diri. Barangkali dia dapat menyamankan raga tetapi
bagaimana dengan jiwa? Sang jiwa adalah saksi yang tidak pernah tertipu.
Seseorang adalah bagian dari masyarakat, dan dia harus mulai berbuat
benar untuk hal yang menimpa dirinya dan tindakan ini akan diikuti orang
sekelilingnya.
Mereka yang menunggu datangnya New Age, zaman baru, tetapi masih saja hidup dalam comfort zone seperti hidup di alam khayal.
Kita harus memulai hidup baru tanpa menunggu datangnya zaman baru dan
orang sekeliling kita akan meneladani dan mengikuti kita, sehingga
tercipta zaman baru.