-->

EPILEPSI DIAGNOSIS dan IBU KANDUNG.

PENDAHULUAN
S
alah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu (Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula (Oguni 2004). Diagnosis  epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik  saja, justru informasi yang diperoleh  sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun  saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan  pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.(Anonymous 2003). Tujuan penulisan makalah ini adalah membahas bagaimana cara-cara menentukan diagnosis epilepsi yang baik dan cermat.

Diagnosis awal.
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya  biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui alamat Korespondensi. Dr. Utoyo Sunaryo Sp.S RSUD Dr. Mohammad Saleh, Jalan Mayjen Panjaitan 65 Kota Probolinggo Telp : 0335-433119, fax : 0335-432702. serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien (Ahmed, Spencer 2004, Mardjono 2003).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
  1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
  2. Apakah pasien mengalami  semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum  serangan kejang parsial sederhana  berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin  dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
  3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism”   pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
  4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah  “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
  5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu  terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
  6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,  konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
  7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini  dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat  obat obat anti kejang .
  8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
  9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
  10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?  Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang  ada yang diawali dengan  “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang  atau mungkin  ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk  mengurangi bahaya terjadinya luka.
  11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).
  1. Apakah pasien lahir  normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya?
  2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
  3. Apakah  tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
  4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana  sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks  13 %.
  5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
  6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
  7. Apakah ada riwayat tumor otak?
  8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).
  1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
  2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?  Pasien epilepsi yang seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan  pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan  memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.
  3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran  sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
  4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
  5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan  apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana  kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien  sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004)

PEMERIKSAAN FISIK DAN  NEUROLOGI.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma)  pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
  1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
  2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
  3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
  1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
  2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
  3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
  4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
-          Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.
-          Perubahan serangan kejang.
-          Ada defisit neurologis fokal.
-          Serangan kejang parsial.
-          Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
-          Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).

PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
  1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
  2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
  3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005).
Serangan parsial
  • Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
-       Motorik
-       Sensorik
-       Otonom
-       Psikis
  • Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
-       Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
-       Gangguan kesadaran saat awal serangan.
  • Serangan umum sekunder
-       Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
-       Parsial kompleks menjadi tonik klonik
-       Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
  • Serangan umum.
-       Absans (lena)
-       Mioklonik
-       Klonik
-       Tonik
-       Atonik.
  • Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus
  • Idiopatik (primer)
-       Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)
-       Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
-       Primary reading epilepsy“.
  • Simptomatik (sekunder)
-       Lobus temporalis
-       Lobus frontalis
-       Lobus parietalis
-       Lobus oksipitalis
-       Kronik progesif parsialis kontinua
  • Kriptogenik

Umum
  • Idiopatik (primer)
-       Kejang neonatus familial benigna
-       Kejang neonatus benigna
-       Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
-       Epilepsi absans pada anak
-       Epilepsi absans pada remaja
-       Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
-       Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
  • Kriptogenik atau simptomatik.
-       Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
-       Sindroma Lennox Gastaut.
-       Epilepsi mioklonik astatik
-       Epilepsi absans mioklonik
  • Simptomatik
-       Etiologi non spesifik
-       Ensefalopati mioklonik neonatal
-       Sindrom Ohtahara
-       Etiologi / sindrom spesifik.
-       Malformasi serebral.
-       Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
  • Serangan umum dan fokal
-       Serangan neonatal
-       Epilepsi mioklonik berat pada bayi
-       Sindroma Taissinare
-       Sindroma Landau Kleffner
  • Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
  • Epilepsi berkaitan dengan situasi
-       Kejang demam
-       Berkaitan dengan alkohol
-       Berkaitan dengan obat-obatan
-       Eklampsi.
-       Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)


KESIMPULAN

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui video-EEG.
    
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from : http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available from : http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:    30-35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki.

Sumber : www.perdossi.or.id

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner

-->