-->

Empati pada Anak

Usia Terbaik Mengenalkan Empati pada Anak 
Empati adalah rasa peduli yang digerakkan oleh alasan-alasan yang sangat mulia, antara lain misalnya merasa sesama makhluk ciptaan Tuhan, ingin membantu, dan semisalnya.
Menumbuhkan rasa empati harus dimulai sejak kecil, mulai dari dalam keluarga dan sekolah.  Lingkungan yang penuh cinta dan rasa aman adalah prasyarat penting bagi tumbuhnya empati pada anak. Seorang anak yang terbiasa menerima perlakuan kasar dari orang tuanya, akan keras hatinya sehingga cenderung tertutup rasa empatinya untuk merasakan penderitaan orang lain.  
Menghardik dan memukul anak apabila berbuat salah akan menghambat rasa empati, Karena anak akan cenderung membela dirinya, sehingga hatinya akan mengkerut.  Hati yang mengkerut dan mengeras adalah hati yang marah dan dendam.  Tetapi dengan mengalihkan anak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain akibat tindakannya yang salah, akan meluluhkan hatinya, sehingga hatinya menjadi lapang.  Hati yang lapang adalah hati yang penuh kasih sayang dan cinta.
Anak yang memiliki empati tinggi akan selalu memelihara sikap dan kata-katanya, mudah menolong, dan tidak berbuat semena-mena kepada orang lain dan semua makhluk hidup.
Yang perlu kita jaga adalah jangan sampai empati anak kita digerakkan oleh rasa takut karena ditekan, rasa kasihan yang bernada merendahkan, atau narsisme.  Kebaikan semacam ini dalam jangka panjangnya bukanlah kebaikan.

Bagaimana Empati Berkembang?

Empati sebenarnya berkembang sejak anak masih berusia sangat dini. Pada anak bayi, perilaku yang menunjukkan empati terlihat dari bagaimana seorang bayi ikut menangis ketika ada bayi lain yang menangis, bagaimana seorang bayi mengulum jarinya sendiri ketika ada temannya yang merasa sakit, ataupun bagaimana seorang anak balita mengusap matanya sendiri ketika melihat ibunya menangis (menurut Daniel Goleman) Goleman juga mengatakan bahwa kepekaan empati pada anak ini mulai lenyap di usia 2,5 tahun ketika mereka memahami bahwa penderitaan anak lain berbeda dengan penderitaan mereka. Dalam tahap inilah perkembangan empati tiap anak mulai berbeda. Ada yang sangat peduli pada perasaan anak lain dan ada yang tidak. Perbedaan kepekaan empati ini, berkaitan dengan pola asuh orangtua. Ternyata anak akan lebih empatik dengan penerapan disiplin yang juga diimbangi dengan perhatian yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh dengan menghindari penggunaan labeling, berikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap bagaimana perilaku anak telah merugikan orang lain dengan kalimat, “Lihat… sekarang dia (sebut nama temannya, terserah… random) jadi sedih…” dibandingkan dengan kalimat “ nakalnya kamu.” Kalimat pertama dianggap lebih memupuk empati pada anak. Awal atau akar empati pada anak juga sebenarnya adalah bagaimana ibu/ pengasuh merespon anak. Misalnya, ketika masih bayi si anak tertawa dengan gembira, si ibu juga mengimbangi dengan menggelitik , mengajak bicara, atau menyamakan nada suara dengan si anak. Dengan demikian, anak tahu bahwa ia direspon atau dipahami oleh si ibu, dan juga diinginkan secara emosional. Ketiadaan momen ini (Goleman nyebutnya ‘penyetalaan’)… ketiadaan penyetalaan ini, atau jika orangtua terus menerus gagal berempati pada emosi-emosi anak, maka anak akan belajar untuk berhenti mengungkapkan atau menghindari untuk merasakan emosi yang sama dengan orangtua atau orang lain. Penganiayaan emosi atau penyia-nyiaan, termasuk penggunaan kata-kata yang kasar, hinaan, dan kekasaran akan menjadi terlalu waspada pada emosi-emosi di sekitarnya, tapi waspadanya setara waspada orang-orang pascatrauma, penuh perasaan terancam. Dalam pertumbuhannya, anak-anak yang sering mengalami penganiayaan psikologis akan menderita pola perubahan emosi yang hebat saat dewasa, dalam artian berubah-ubah, yang sering didiagnosa dengan nama Kepribadian Ambang Batas (Borderline Personality).


Melatih Empati Pada Anak

Salah satu cara untuk melatih anak peka terhadap sekeliling adalah dengan medorong anak untuk tanggap terhadap apa yang dilihat, yang dibaca, yang didengar, yang dirasakan dan yang dialami, sejak usia semuda mungkin. Tapi, sayang sekali orang tua (orang dewasa), khususnya di Indonesia, tidak melihat ini sebagai kesempatan emas yang harus dipergunakan dengan baik. Ketika masih kecil anak terlalu dibiarkan bertumbuh sendiri dan tidak dibimbing untuk diajar dengan tujuan dan dengan sengaja (intentional). Saya banyak mendengar orang tua yang beralasan, "ah, anak masih kecil, kasihan, jangan terlalu banyak diajarin logika, nanti anak jadi stres. Nanti kalau udah besar `kan akan tahu sendiri." Tapi orang tua tidak sadar bahwa ada masa-masa dimana anak lebih mudah diajar dibanding kalau sudah besar, karena mungkin sudah tidak sepeka dan seantusias ketika masih kecil. Selain itu, jika sejak usia muda diajar dasar-dasar logika, maka tahun-tahun berikutnya akan menjadi semakin mahir menggunakannya dan semakin mudah mengembangkannya. Selain itu juga lebih menguntungkan dia karena menolongnya untuk belajar apa pun dengan lebih mudah. Memang anak bisa stres jika belajar dalam keadaan tertekan. Tapi sebenarnya hal itu tergantung dari pendekatan orang tua dan cara mengajarnya. Jika hubungan orang tua dan anak baik, dan anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup, maka diajar sesulit apa pun tidak akan membuat anak stres. Anak stres sering disebabkan karena hubungan anak dan orang tua (keluarga) yang tidak harmonis. Cara mengajar anak kecil untuk peka tidak harus dengan teori-teori yang ilmiah. Cukup menggunakan situasi kehidupan sehari-hari yang ada di rumah.Melatih anak untuk menjadi pribadi yang peka dan berkasih sayang dimulai dengan mengajarkan anak untuk berempati.

Empati… What is that?
Ada sebuah kisah nyata yang bukunya telah menjadi best-seller, berjudul Sheila.  Dikisahkan bagaimana Sheila ketika kecil yang masih berumur 6 tahun senang menyakiti binatang dan kawannya.  Ia pernah mencongkel mata ikan hidup-hidup, dan juga pernah menculik anak usia 3 tahun untuk dibakar.  Sheila adalah seorang anak yang tidak mempunyai rasa empati, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain. Alfred Adler mendefinisikan empati dengan kemampuan seseorang untuk “melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan kuping orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain”.  Rasa kepedulian, kasih sayang, dan keinginan menolong sesama adalah bersumber dari adanya rasa empati pada diri seseorang.  Seorang  yang mempunyai rasa empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang, atau makhluk hidup lainnya, sehingga timbul keinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk menolong atau meringankan penderitaan sesama makhluk hidup. Orang yang mempunyai rasa empati tinggi biasanya dermawan, disenangi dalam pergaulan, mudah menyesuaikan diri, dan percaya diri.  Bahkan hasil penelitian Gallo (1989) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rasa empati dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta keberhasilan akademik.

Source : Yani Dwi Hirmawati, S.Sos (Public Relations RS Husada Utama)


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner

-->