-->

BEBERAPA DIKOTOMI KONSEP LINGUISTIK SAUSSURE : SUATU PEMBICARAAN


1. Pendahuluan
Mongin-Ferdinand de Saussure menjadi salah satu tokoh penting  linguistik  abad ke-20. Melalui  buah  pikirannya yang dituangkan oleh mahasiswa-mahasisnya dalam Cours  de Linguistique  Generale (1916) terungkap betapa  cemerlang pikirannya saat itu. Dalam kuliahnya, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku setelah dia meninggal tahun  1913 itu, ia menguraikan hal-hal yang baru dalam studi linguistik, mendobrak tradisi yang telah ada.
Gagasan-gagasannya  tentang bahasa dan  studi  bahasa sampai  sekarang masih terasa penting untuk diketahui  dan dikaji.  Gagasan itu berupa penjelasan  mengenai  berbagai dikotomi linguistik: (a) 'langue' dan 'parole', (b)  studi diakronis dan sinkronis, (c) 'signifie' dan  'signifiant', (d) hubungan sintagmatik dan paradigmatik, (e) bentuk  dan substansi  bahasa, serta (f) bahasa sebagai  fakta  sosial dan fakta psikologis.
Bagaimanakah  pandangan-pandangan tersebut,  sehingga dapat  meme-ngaruhi arah linguistik saat itu? Apakah  pandangan tersebut masih sesuai dengan perkembangan  linguistik saat ini? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, berikut akan  diuraikan setiap butir pandangan di atas yang  langsung  diikuti  pembicaraan dari sudut  pandang  linguistik saat ini.
2. Beberapa Dikotomi dalam Linguistik ala Saussure2.1 Dikotomi Langue dan Parole
Terdapat  tiga  kata di dalam  bahasa  Perancis  yang mengungkapkan  pengertian bahasa, yakni  langage,  langue, dan  parole. Meskipun demikian, ketiganya  cukup  berbeda, sehingga Saussure memanfaatkan ketiganya untuk mengungkapkan aspek-aspek bahasa. Perbedaan yang ada pada  ketiganya memungkinkan  Saussure  mendeskripsikan   bahasa   sebagai benda atau objek yang dapat diteliti secara ilmiah.
Langue  merupakan produk masyarakat dari langage  dan suatu  himpunan  konvensi yang perlu, yang  diterima  oleh seluruh masyarakat yang memungkinkan berfungsinya  langage pada  diri  individu. Dilihat secara  keseluruhan,  langage adalah multibentuk, hiteroklit, dan psikis. Langage  merupakan bagian dari bidang individu dan bidang sosial,  yang tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori fakta  kemanusiaan  mana  pun karena tidak tahu  bagaimana  menonjolkan keutuhannya. Langue, sebaliknya, merupakan suatu  keutuhan dan suatu prinsip klasifikasi (Saussure, 1988:75).
Untuk  menempatkan  langue di  tempat  pertama  dalam kajian  langage,  dapat  dipertahankan  argumen   berikut: kemampuan (alami atau tidak) untuk mengartikulasikan kata-kata hanya mungkin dengan bantuan alat yang diciptakan dan disediakan  oleh kelompok. Jadi, bukan  angan-angan  untuk mengatakan bahwa languelah yang merupakan satuan langage. Langue  bukan  kegiatan  penutur.  Langue   merupakan produk  yang  direkam individu secara  pasif.  Sebaliknya, parole  adalah  suatu tindak individual dari  kemauan  dan kecerdasan.  Dalam  tindak ini perlu  dibedakan  kombinasi kode-kode bahasa yang digunakan penutur untuk  mengungkapkan  gagasan pribadi dan mekanisme psikis-fisik  yang  memungkinnya  mengungkapkan  kombinasi-kombinasi   tersebut. Pemisahan  langue  dari parole berarti  pemisahan  apa-apa yang  sosial dari yang individual dan apa-apa  yang  pokok dari  yang tambahan dan kurang lebih  bersifat  kebetulan. Seseorang  akan dapat mendengarkan orang berbicara  langue yang  tidak dikenalnya. Dia memang menangkap  bunyi-bunyi, tetapi  karena tidak paham, dia berada di  luar  peristiwa sosial.
Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak, kira-kira  seperti sebuah  kamus yang setiap eksemplarnya identik, yang  akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah  sesuatu yang  ada  pada  setiap individu sama  bagi  semuanya  dan berada  di luar kemampuan penyimpannya.  Kehadiran  langue dapat diungkapkan dengan rumus (l+l+l+l+...= I).
Dengan cara bagaimana parole hadir dalam kolektivitas yang  sama?  Parole adalah apa yang dituturkan  orang  dan mengandung  kombinasi  individual, yang  tidak  tergantung dari  kemauan mereka yang menuturkannya dan tindak  pembunyian yang juga suka rela. Jadi, tidak ada kolektivitas di dalam  parole.  Parole tidak lebih dan tidak  kurang  dari penjumlahan  kasus-kasus  khusus  menurut  rumus   sebagai berikut: (l+l'+l''+l'''+...).
Lebih  jauh  Saussure (1988:81)  mengungkapkan  bahwa langue  merupakan objek yang dapat diteliti secara  terpisah. Sebagai objek, langue sifatnya konkret. Hal ini sangat menguntungkan pengajiannya. Lambang-lambang bahasa,  yang pada dasarnya bersifat psikis, tidak merupakan  abstraksi. Asosiasi  yang  diterima oleh persetujuan  kolektif,  yang seluruhnya membentuk langue, adalah realita yang  berkedudukan  di  dalam otak. Dengan kata  lain,  lambang-lambang bahasa dapat dianggap sesuatu yang konkret.
Berdasarkan  uraian di atas dapat  disimpulkan  bahwa parole  adalah  keseluruhan apa yang  diujarkan  seseorang yang bersifat individual. Dengan kata lain, parole merupakan manifestasi bahasa individual. Dengan demikian, parole bukanlah  fakta  sosial sebab seluruhnya  merupakan  hasil individu.  Fakta sosial harus meliputi seluruh  masyarakat dan tidak memberi pilihan pada individu.
Langage  oleh Saussure diungkapkan  sebagai  gabungan parole  dengan  kaidah bahasa. Meskipun  meliputi  seluruh masyarakat,  langage  tidak memenuhi syarat  fakta  sosial sebab  di  dalamnya terdapat faktor-faktor  individu  yang  berasal  dari penuturnya. Dengan  demikian,  langage tidak memiliki prinsip keutuhan, sehingga tidak memungkinkannya untuk diteliti secara ilmiah. Langue  adalah produk sosial dari  kemampuan  bahasa, yang merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi  oleh kelompok   sosial   untuk  memungkinkannya   mempergunakan kemampuan itu. Jika parole dipengaruhi unsur wicara,  yang sifatnya hiterogen, langue tidak. Oleh karena itu,  bahasa dapat  diselidiki secara ilmiah hanya bila wicara  diabaikan.  Jadi,  dari  sudut pandang  inilah  langue  bersifat konkret  karena  merupakan  perangkat  tanda  bahasa  yang disepakati secara kolektif.
Bila  dicermati pandangan Saussure di atas,  terutama dikaitkan  dengan  objek studi bahasa,  yakni  langue  dan menolak  parole  sebagai objek penelitian,  kiranya  patut diperhatikan. Sebenarnya, dilihat dari sudut pandang objek penelitian,  ini  bukanlah barang baru  sebab  yang  telah dilakukan oleh para linguis diakronis objeknya adalah  ini juga;  hanya  saja Saussure  memberikan  istilah  'langue' untuk  istilah  'bahasa' yang menjadi  objek  kajian  para linguis sebelumnya.
Mengapa  parole  tidak  dipelajari?  Alasan  Saussure adalah bahwa parole bersifat individual; dengan demikian hiterogen di masyarakat. Barangkali sangat pantas hal ini  dikemukakan  saat  itu, sebab bagaimana pun  dia  dididik  dan dikembangkan pada lingkungan dan masa kejayaan  linguistik historis  serta kuat-kuatnya pengaruh  psikologi  behaviorisme  saat  itu.  Namun, akankah  bahasa  sebagai  sarana komunikasi hanya menyangkut kaidah-kaidah kolektif? tidakkah  unsur-unsur individual justru semakin  menarik  untuk dikaji?
Bahasa, sebagai gejala dan kekayaan sosial tidak akan pernah berhenti berkembang sejalan dengan arah perkembangan pemakainya. Pemikiran dan tingkah laku berbahasa  manusia ditandai oleh gejala alami, yakni perubahan. Perubahan tingkah  laku berbahasa terjadi pada setiap kawasan  kehidupan  manusia,  dalam setiap ruang  dan  waktu,  sehingga menyebabkan  perubahan aturan-aturan atau norma  (Samsuri, 1988). Suatu bentuk ujaran belum tentu dapat diterima oleh suatu lingkungan (konteks sosial), meskipun ujaran  tersebut dapat diterima oleh lingkungan yang lain. Begitu  pula ujaran  yang  sama akan dimaknai berbeda  bila  dituturkan kepada  orang  yang berbeda. Kalimat  bahasa  Jawa  dialek Malang  Koen  wis mulih, ta? tidak pantas  diucapkan  oleh seorang  mahasiswa kepada induk semang rumah kosnya,  yang seorang dosen di PTN dan usianya lebih tua dari  mahasiswa itu,  tetapi  lazim bila diucapkan sesama teman  kos  yang relatif  berusia sejajar. Persoalan ini  adalah  persoalan sosiologi. Namun, karena timbulnya penilaian yang berkaitan  dengan bahasa, hal itu juga dapat menjadi kajian  ilmu bahasa.  Di sinilah pentingnya sosiolinguistik  dikembangkan.
Kalimat klasik Ayam makan belalang mati akan memiliki berbagai  makna  bila diujarkan dengan  kesenyapan  ('juncture')  yang  berbeda. Bila  kesenyapan  diberikan  lebih panjang  di antara ayam dan makan, kalimat  tersebut  akan bermakna belalang yang mati. Dengan kata lain, ada  peristiwa ayam makan bangkai belalang. Bila kesenyapan  diberikan  lebih panjang di antara makan dan  belalang,  kalimat tersebut  akan  bermakna belalang juga yang  mati.  Namun, kalimat tersebut mengisyaratkan adanya dua peristiwa  yang tidak  saling berhubungan atau memengaruhi, yakni  ketika ayam  makan  ada peristiwa belalang mati. Lain  lagi  bila kesenyapan diberikan lebih panjang di antara belalang dan mati.  Kalimat tersebut akan bermakna ayamlah  yang  mati, yang mungkin disebabkan belalang. Data-data  kebahasaan  di  atas  semuanya   berkaitan dengan masalah ujaran, yang mestinya adalah parole. Kaidah gramatika yang merupakan langue tentu tidak dapat memecahkan persoalan itu. Oleh karena itu, pendapat Saussure yang menegaskan  bahwa  bahasa dapat diselidiki  secara  ilmiah hanya bila wicara diabaikan tidak sesuai lagi.
Berkaitan dengan istilah langue dan parole  tersebut, ada  dua  istilah yang sejalan  dengan  keduanya,  masing-masing  adalah sphota dan dhvani. Kedua  istilah  terakhir ini  dipakai dalam tradisi linguistik di India yang  berkembang  pada abad ke-3 SM. Sphota adalah lembaga  bahasa, sistem bahasa yang diwarisi bersama dan hidup dalam pengetahuan seseorang. Sedangkan, dhvani mengacu kepada realisasi individual seseorang berbahasa atau kemampuan seseorang berbahasa  (Parera, 1983: 77). Dengan  demikian,  terlihat bahwa  sphota  sama  saja dengan langue  dan  dhvani  sama dengan parole.
Untuk  itu, patut dipertanyakan apakah ide  pemisahan bahasa  sebagai konsep dalam pikiran (langue)  dan  bahasa sebagai  bentuk ujaran (parole) betul-betul merupakan  ide murni Saussure. Hal ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara  nyata (barangkali hanya dapat  dihipotesiskan)  sebab Saussure telah tiada dan tidak pernah mengungkapkan pengakuannya,  tidak  seperti yang telah  dilakukan  oleh  Chomsky dalam pengakuannya bahwa paradigma linguistik yang  dikembangkannya  kemudian  diikuti banyak  orang  diambil  dari pikiran-pikiran  Descartes, Juan Harte, Wilhelm  von  Humbolt, dan Port Royal Grammar (Wahab, 1991:23).
Tentang  hal  itu dapat saja terjadi  bahwa  Saussure mengambil pikiran atau lebih halusnya terpengaruh  Panini, atau  bisa jadi tidak keduanya, melainkan secara  kebetulan keduanya  berpikiran  sama,  sebab  secara  kebetulan  memang tersedia istilah-istilah yang berbeda dalam bahasa  Perancis untuk pengertian bahasa. Kemungkinan pertama bisa saja terjadi bila ditelusuri sejarah  perkembangan linguistik saat itu  dan  perjalanan hidupnya.  Linguistik  India mulai dilirik  linguis  Eropa sejak  Sir  William  Jones  menghubungkan  antara  sejarah linguistik dengan bandingan bahasa, yang sebelumnya dikerjakan secara terpisah. Bukan hanya itu, ia mulai memperkenalkan  bahasa Sanskerta, yang juga  berakibat  linguistik deskriptif menunjukkan kontak yang erat dengan India kuno. Filippo  Sasseti  pada abad ke-16 dalam  Lingua  Sanscruta telah menulis secara menakjubkan hubungan antara kata-kata bahasa  Italia dengan Sanskerta. Persamaan  antara  bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Eropa telah pula  digambarkan oleh B. Schule (Jerman) dan Pere Coeurdoux  (Prancis). Tahun  1803  sarjana Jerman F. von  Schlegel  telah  mulai mengembangkan  studi bahasa Sanskerta di  Paris.  Demikian juga adiknya, W. von Schlegel pada tahun 1819. Di  samping itu, juga telah diketahui bahwa Saussure pada masa  studinya  telah mendapat pendidikan bahasa  Sanskerta.  Bahkan, kemudian  ia  mengajar bahasa  Sanskerta,  Gothik,  Jerman Tinggi  Kuno,  serta linguistik komparatif  Indo-Eropa  di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris. Berdasarkan  kenyataan tersebut, bisa jadi  Saussure  mengambil atau  terpengaruh buah pikiran Panini. Sayang memang,  hal ini  belum pernah diungkapkan oleh para linguis. Penyelidikan yang mendalam tampaknya perlu dilakukan untuk  mengungkap tabir masalah ini.
2.2 Dikotomi Diakronis dan Sinkronis
Saussure merasakan bahwa penyelidikan ilmiah  tentang bahasa tidak harus dilakukan secara historis sebab  penyelidikan historis, yang tentu  saja  bersifat  diakronis, tidak  sampai  membentuk  ilmu  bahasa  yang  sebenarnya. Menurutnya, studi ini tidak pernah memikirkan untuk  menelaah hakikat objek penelitiannya. Padahal, tanpa  kegiatan mendasar ini suatu ilmu tidak mampu membentuk metodenya.
Metode  linguistik historis hanya  mengecek  dokumen-dokumen  yang  tersedia.  Akan  tetapi,  dalam  menghadapi kasus-kasus  yang 'semrawut', cara demikian  tidak  cukup. Memang,  untuk dapat menelaah sejarah suatu langue  secara terinci harus dengan mengikuti arah waktu. Peneliti  harus memiliki potret bahasa yang tak terbatas, yang  diabadikan dari waktu ke waktu. Padahal, syarat tersebut tidak  mudah terpenuhi.
Ahli  bahasa-bahasa Roman, misalnya,  yang  beruntung menguasai bahasa Latin, yang merupakan titik tolak penelitian  mereka,  dan tidak memiliki sejumlah  besar  dokumen dari berbagai abad, menyatakan setiap kali tentang banyaknya  kekosongan  dalam  dokumen  mereka.  Ternyata  mereka terpaksa tidak mengikuti metode prospektif, yakni meneliti dokumen yang ada, tetapi mereka melakukan cara yang berlawanan,  yaitu mundur ke belakang dengan retrospeksi. Dari sudut  pandang  itu peneliti menempatkan  diri  pada  abad tertentu  bukan  untuk meneliti apa yang  dihasilkan  oleh suatu  bentuk, melainkan apa bentuk yang lebih  kuno  yang melahirkan bentuk tersebut.
Prospeksi menghasilkan deskripsi dan kritik berdasarkan  dokumen.  Sebaliknya,  retrospeksi  menuntut   metode rekonstruksi,  yang  berpegang pada  perbandingan.  Bentuk kuno  yang berdiri sendiri tidak mungkin  ditelusuri,  sedangkan  dua  bentuk  yang berbeda  tetapi  asalnya  sama, melalui perbandingan telah membuka pandangan kepada metode diakronis, yang  menghubungkan  bentuk-bentuk   tersebut dengan  suatu prototipe yang dapat direkonstruksi  melalui induksi. Dengan  demikian, linguistik  diakronis  mengharuskan dua perspektif, yakni perspektif yang mengikuti arah waktu dan  perspektif  retrospeksi,  yang  melawan  arah  waktu. Sebaliknya,  linguistik  sinkronis hanya  memerlukan  satu perspektif,  yakni penutur bahasa. Oleh karena itu,  hanya diperlukan satu metode.
Objek linguistik sinkronis adalah penyusunan prinsip-prinsip  bagi sistem idiosinkronis dan faktor-faktor  pembentuk  langue. Dalam linguistik sinkronis tercakup  'tata bahasa  umum' karena hanya di dalam keadaan  suatu  langue terjadi berbagai hubungan yang merupakan bidang pokok tata bahasa.
Berdasarkan hal itu, Kridalaksana (1988:11)  mengungkapkan  keuntungan  kajian  sinkronis  bila   dibandingkan dengan  diakronis. Pendekatan historis tidak dapat  dimanfaatkan   untuk  mempelajari  perkembangan   bentuk-bentuk bahasa secara mantap tentang hubungan sistematis di antara bentuk-bentuk  itu dalam tahap bahasa  sebelumnya.  Begitu pula, perbedaan di antara hubungan sistematis dalam berbagai  tahap  perkembangan  bahasa  tidak  dapat  dijelaskan melalui pendekatan historis.
Melihat  kenyataan  di atas, apakah  tinjauan  bahasa secara  diakronis perlu disingkarkan atau dihindari?  Tampaknya,  Saussure sendiri ingin mengungkapkan bahwa  studi diakronis  harus didahului oleh studi sinkronis,  meskipun hal  ini  tidak tampak secara  eksplisit  dalam  karyanya. Saussure  melihat bahwa para linguis sezamannya  dan  juga sebelumnya   hanya  memikirkan   perbandingan-perbandingan antarbahasa yang serumpun untuk melihat proto bahasa  yang diperbandingkan  itu. Mereka lupa (atau tidak tahu)  bahwa hakikat  studi  bahasa  adalah bahasa  itu  sendiri,  yang benar-benar  ada  dan hidup, dan bukan  bahasa  yang  kuno (atau bahkan telah mati).
Di  samping  itu, berdasarkan pada  studi  sinkronis, seakan-akan bahasa itu statis, tetap, tidak berubah. Padahal dari waktu ke waktu terbukti bahwa bahasa itu berubah. Hal  ini banyak terjadi pada bahasa-bahasa  nasional  yang dipakai  masyarakat negara berkembang, seperti  Indonesia. Ini bukan berarti bahasa Inggris, misalnya, tidak  berubah (berkembang). Apalagi, keadaan negara-negara di dunia  ini makin  transparan. Akibatnya, proses  peminjaman  leksikal terjadi  hampir  setiap  hari. Jika  perubahan  itu  tidak dicatat dan diteliti tentu sangat disayangkan. Untuk  itu, studi diakronis masih diperlukan.
Tidak  dibantah  pernyataan  bahwa  pemakaian  bahasa memiliki relevansi yang tinggi dengan keadaan  masyarakat. Munculnya tempaan kata-kata (baru) tertentu dan  persebarannya  (ekspansinya)  ke dalam bahasa lain  merupakan  hal yang wajar. Karena itu, bahasa bisa dipandang  merefleksikan  keaadaan  sosial masyarakat. Dengan  begitu,  jargon-jargon  politik, istilah-istilah di bidang ekonomi,  pemerintahan,  dan  sebagainya dapat dikaitkan  dengan  tokoh-tokoh  yang melatarbelakangi munculnya  istilah  tersebut. Dengan studi diakronis hal itu akan dapat diungkapkan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para filolog untuk  mengungkapkan  misteri kehidupan masyarakat masa  lampau  melalui naskah-naskah yang tertinggal.
2.3 Dikotomi Signifie dan Signifiant
Signe (tanda  bahasa) menurut  Saussure  (1988:147) adalah  kombinasi konsep dan gambaran  akustiknya,  tetapi dalam  bahasa sehari-hari istilah tersebut  umumnya  hanya menunjuk  pada gambaran  akustis, misalnya sebuah  kata  arbor. Orang lupa bahwa kalau arbor disebut tanda bahasa hanyalah bila  menyandang  konsep 'pohon', sehingga  gagasan  yang berasal  dari  bagian sensori  menumbuhkan  gagasan  dalam keseluruhan tanda.
Lebih  lanjut diungkapkan bahwa tanda  bahasa  adalah satuan psikis yang bermuka dua (konsep dan gambaran  akustis),  yang keduanya bersatu padu dan saling memicu.  Bila kata  Latin  arbor dicari maknanya, jelaslah  bahwa  hanya pendekatan  yang dilakukan oleh langue yang sesuai  dengan kenyataan.  Konsep  itulah yang  disebutnya  signifie dan gambaran akustis itu merupakan signifiant-nya.
Ada  dua prinsip tanda bahasa, yakni  tanda  bersifat arbitrer  (semena) dan signifiant bersifat  linier.  Dalam prinsip pertama, ikatan yang mempersatukan signifie dengan signifiant-nya  bersifat semena, atau tidak  ada  hubungan yang  hakiki antara signifie dengan signifiant-nya.  Dalam prinsip kedua diungkapkan bahwa  signifiant, yang  pada hakikatnya  auditif, berlangsung dalam waktu dan  memiliki ciri-ciri yang sama dengan waktu.
Hal pertama yang agak mengecilkan kemapanan  prinsip-prinsip  di atas, hal ini sebenarnya telah disadari  Saussure, adalah adanya anomatopae, yang kurang selaras dengan prinsip  pertama. Terhadap hal ini Saussure  mengungkapkan bahwa anomatopae tidak pernah merupakan unsur-unsur organis  di  dalam suatu sistem bahasa.  Lagi  pula  jumlahnya hanya sedikit (Saussure, 1988:149). Dari sanggahan pertama itu, dapat dipertanyakan lagi apakah yang bukan anomatopae itu  sebaliknya? Tentulah tidak.  Signifiant  dikatakannya merupakan  gambaran akustis. Hal ini tentu  berupa  bunyi. Demikian  juga  anomatopae, yang mengacu  kepada  gambaran bunyi peristiwa alam, tentulah menunjukkan gambaran  akustis  yang  berhubungan dengan konsep.  Sesedikit  apa  pun jumlahnya,  ini sebuah bukti, suatu kenyataan  yang  tidak bisa diabaikan. Apalagi, prinsip-prinsip yang  diajukannya bersifat umum. Belum lagi, penamaan-penamaan lainnya  yang berdasarkan  beberapa hal, misalnya nama  penemunya,  nama pabrik,  nama  peristiwa sejarah,  dan  lain-lain.  Akibat berkembangnya semantik, prinsip itu menjadi perlu  dipertanyakan.
Telah diungkapkan pula bahwa hubungan antara signifie dan  signifiant  bersifat erat  sebab  keduanya  merupakan kesatuan dua muka. Hal ini berarti pula bahwa bila  gambaran  akustis berubah, berubah pula  konsepnya.  Tampaknya, pandangan  ini  kurang memperhatikan realita  bahasa  yang berupa  homonim.  Dalam  homonim  jelas  gambaran  akustis beberapa kata sama, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sayang  sekali  Saussure  tidak  menunjukkan  batasan tanda secara jelas. Apakah menyangkut kata, frasa, klausa, kalimat,  atau  barangkali wacana, hal  ini  tidak  jelas. Namun,  dari uraiannya, yang memang sedikit  untuk  bagian ini,  terlihat bahwa contoh-contoh yang  diberikan  berupa kata. Hal inilah justru yang mimbulkan permasalahan.
Bila  tanda  hanya  mengacu  kepada  kata,  bagaimana dengan  konstruksi  yang berupa kalimat?  Verhaar  (1977), misalnya,  telah  membedakan  antara  makna,  maksud,  dan informasi.  Konsep  mengacu  yang  mana  bila  dihubungkan dengan  pernyataan Verhaar tersebut? Apakah hanya  mengacu ke  makna  atau semuanya? Padahal, signifiant itu secara konkret  bisa berupa kalimat; bahkan inilah  yang  terjadi dalam  komunikasi  wajar. Apalagi, tentu,  Saussure  tidak akan mengakui bahwa fonem atau suku kata merupakan  signifiant sebab tidak memiliki hubungan dengan konsep. Kalimat Dita  menendang bola dengan Bola ditendang  Dita,  ataupun dengan  Bola ditendang oleh Dita adalah berbeda  maknanya, tetapi mengadung informasi yang sama. Nah, konsep  mengacu pada  bagian yang mana? Apakah konsep hanya  mengacu  pada makna (istilah Verhaar) karena gambaran akustis  ketiganya berbeda?  Jika, itu yang diakui, misalnya, seberapa  batas signifiant tidak jelas dikemukakan.
Seperti halnya istilah langue dan parole, yang  diragukan  (setidak-tidaknya dalam makalah ini)  keorisinalannya, 'konsep' dasar signifie dan signifiant juga demikian. Masalahnya, jauh sebelum kedua istilah terakhir ini dikembangkan oleh Saussure, kaum Stoik pada abad ke-4 SM  telah pula mengungkapkan perbedaan antara semainon dan semainomenon atau lekton. Semainon mengacu kepada tanda atau simbol yang  berupa bunyi atau disebutnya sebagai materi  bahasa, sedangkan semainomenon atau lekton adalah makna, apa  yang disebut.  Berdasarkan  hal  ini,  jelas  bahwa  pengertian signifiant  sama dengan semainon dan signifie sama  dengan semainomenon.
Kemungkinan  sekali  pengaruh kaum Stoik  ini  sampai pada  Saussure melalui beberapa generasi linguistik.  Kaum Stoik berpengaruh pula pada kaum Alexandrian, di antaranya Dionysius Trax. Di zaman Romawi terlihat pula nama Varro, yang sebelumnya memperoleh didikan kaum Stoik yang bernama Crates.  Pada zaman pertengahan, kaum Modistae  tampaknya juga  memiliki cara pandang yang sama dengan  kaum  Stoik terhadap  bahasa;  bahkan  pengaruh  Aristotelles   terasa sekali.  Dalam  konsep kaum Modistae  ini  unsur  semantik mendapat  perhatian  penuh. Mereka juga  telah  membedakan antara tanda berupa bunyi dan konsep atau makna dari tanda tersebut.  Yang pertama disebutnya modi significandi  dan yang  kedua  disebut modi  inteligendi  (Parera,  1983:44; Wahab,  1990:8).  Konsep ini mirip dengan  signifiant dan signifie Saussure. Jadi, signifiant  sama  dengan  modi significandi  dan signifie sama dengan  modi  inteligendi. Pengaruh  kaum Modistae ini, dan tentu saja  Aristotelles, juga masih terasa pada zaman renaisance. Pada  gilirannya, kaum linguis historis juga banyak yang melirik  linguistik kuno tersebut.
2.4 Dikotomi Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Perbedaan  dan hubungan di antara unsur-unsur  bahasa berlangsung  di  dalam dua lingkungan yang  berbeda,  yang masing-masing  diturunkan oleh tataran  valensi  tertentu. Perbedaan  dan  hubungan itu berkaitan dengan  dua  bentuk dalam  kegiatan mental. Keduanya sangat  dibutuhkan  dalam kegiatan berbahasa. Hubungan antarunsur adakalanya asosiatif  (istilah ini kemudian oleh Louis  Hjemlslev,  seorang linguis Denmark diganti dengan paradigmatik), ada  kalanya sintagmatik.  Pengelompokan  secara asosiatif  dan  secara sintagmatik pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan  hubungan-hubungan  lazim  itulah  yang  membentuk  dan mengarahkan berfungsinya langue (Saussure, 1988:226).
Hubungan  sintagmatik adalah hubungan di antara  mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan ini  disebut hubungan  in praesentia. Hubungan itu didasari  oleh dua atau  sejumlah  istilah yang juga hadir dalam  suatu  seri yang efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah-istilah in absentia di dalam sederet mnemonis yang potensial.
Setiap mata rantai dalam rangkaian ujaran  mengingatkan orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau  berbeda  dengan yang lain dalam  bentuk  dan  makna. Inilah  yang disebut Saussure dengan  hubungan  asosiatif. Dengan demikian, hubungan ini bersifat in absentia  karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada pula yang tidak dalam ujaran.
Untuk menjelaskan perbedaan kedua macam hubungan itu, Saussure  menggunakan perbandingan dengan bagian  tertentu sebuah  bangunan,  yakni sebuah pilar. Pilar itu  di  satu pihak  berhubungan dengan atap yang ditunjangnya.  Pendampingan  kedua  satuan itu, yang hadir  secara  sejajar  di dalam  ruang dapat dibandingkan dengan hubungan  sintagmatik. Pada pihak lain, bila pilar itu bergaya dora,  mengingatkan  orang  pada gaya-gaya yang  lain  (misalnya  gaya ionia,  gaya  corintia, dsb.), yang  merupakan  unsur  tak hadir  dalam ruang. Hubungan yang demikian itu  dapat  dibandingkan dengan hubungan asosiatif.
Berkaitan dengan uraian di atas, bila sintagma  dikatakan Saussure dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas  batasnya,  yang jumlahnya sekurang-kurang  ada  dua satuan dan satuan itu dapat berupa fonem, suku kata, kata, morfem, frase, dan sebagainya, apakah hubungan  unsur-unsur yang  tidak berdekatan itu tidak bisa  dikatakan  hubungan sintagmatik, padahal unsur-unsur itu hadir, misalnya dalam kalimat  Dia tidak menemukan bukunya yang hilang dua  hari lalu.  Enklitik  -nya  mengacu dan  tentu  saja  memunyai hubungan  yang sangat erat dengan dia yang  mendahuluinya. Keberadaan  keduanya  berjauhan.  Sebenarnya, -nya dalam kalimat tersebut bukan hanya berhubungan dengan buku yang diikutinya secara langsung, melainkan juga dengan dia.
Di samping itu, berkaitan dengan istilah in absentia dalam hubungan paradigmatik, apakah dalam peristiwa  pelesapan  ('deletion'),  misalnya  pelesapan  subjek, dapat dikatakan   terdapat  hubungan paradigmatik?  Jelas dalam peristiwa ini ada unsur yang sengaja dilesapkan atau tidak dihadirkan, in absentia . Tentu saja, hal ini tidak dapat dikatakan paradigmatik.
2.5 Dikotomi Bentuk dan Substansi Bahasa
Menurut  Saussure (1988:205), peran langue yang  khas dalam  hubungannya  dengan  pikiran  bukanlah  menciptakan sarana bunyi materiel untuk pengungkapan gagasan,  melainkan  menjadi perantara di antara pikiran dan bunyi.  Dalam kondisi demikian, persatuan keduanya mau tidak mau  keluar sebagai  pembatasan yang timbal balik dari  satuan-satuan. Pikiran yang kodratnya kacau balau dipaksa untuk memperjelas  diri ketika terpilah. Jadi, tidak  ada  materialisasi pikiran  ataupun  spiritualisasi bunyi,  tetapi  yang  ada adalah  hubungan "pikiran-bunyi" yang mengakibatkan  pemilahan.  Langue mengolah satuan-satuannya sambil  membentuk diri di antara dua keadaan tersebut.
Langue  dapat  dibandingkan dengan  selembar  kertas. Pikiran  adalah bagian dari recto, sedangkan bunyi  adalah bagian  verso.  Orang tidak mungkin memotong  recto tanpa memotong  sekaligus  verso.  Dalam  langue  tidak  mungkin dipisahkan bunyi dari pikiran, maupun pikiran dari  bunyi. Linguistik bergerak di daerah perbatasan kedua unsur  yang saling berkombinasi. Kombinasi itu menghasilkan bentuk dan bukan substansi (Saussure, 1988:206).
Pandangan  tersebut memberi Saussure  kejelasan  atas arti  tanda bahasa yang arbitrer karena tidak  ada  sistem dari  luar  yang mengatur penggabungan bentuk  dan  makna. Lebih  lanjut, Saussure mengungkapkan bahwa sangat  keliru untuk  menganggap  unsur bahasa hanya  merupakan  gabungan bunyi dan konsep. Hal semacam itu berarti memisahkan unsur bahasa  dari  sistemnya dan memberikan kesan  bahwa  orang memulai  dari unsurnya dan baru kemudian membentuk  sistem dengan mengumpulkannya. Padahal, seharusnya dia mulai dari sistem  yang  utuh dan melalui analisis  diperoleh  unsur-unsurnya.
Berdasarkan  hal itu, dapat diungkapkan bahwa  bentuk (forma) mengacu kepada sistem relasi, sedangkan  substansi adalah bendanya, objek materiel bahasa. Sistem relasi  itu terungkap dalam hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.  Sistem  itu sendiri terjadi  dari  tingkat-tingkat struktur. Tiap-tiap tingkat terdiri atas unsur yang saling berkontras  dan berkombinasi untuk membentuk satuan   yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar pendekatan  strukturalisme.
Akankah  bahasa hanya merupakan sistem relasi,  tanpa memperhatikan substansinya. Sebenarnya, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sistem relasi itu dapat menimbulkan satuan unsur-unsur tertentu, bisa kata, morfem, frase, ataupun  kalimat.  Satuan-satuan  inilah  sebenarnya  yang disebut substansi. Jadi, rasanya kurang tepat bila dikatakan  bahwa  bahasa  adalah bentuk,  dan  bukan  substansi. Seharusnya,  bahasa  adalah  keduanya,  yakni   menyangkut bentuk dan substansi.
2.6 Dikotomi Bahasa sebagai Fakta Sosial dan Fakta Psikologis
Saussure  lebih menekankan bahwa bahasa adalah  fakta sosial.  Hal ini terjadi karena menurutnya bahasa  adalah sistem  tanda (Sampson, 1980: 56).  Sebagai sistem  tanda, bahasa  merupakan  kesadaran  masyarakat  (bersama) yang bersifat  arbitrer.  Karena sebagai  fakta  sosial,  tidak seorang pun yang dapat menguasai bahasa ibu dengan sempurna.
Menurut  penjelasan  ini bahwa seseorang  hanya  akan dapat  mengungkapkan  kalimat  tertentu  bila  dia  pernah mendengarnya.  Atau  dengan kata lain bahwa  kalimat  yang diungkapkannya itu telah ada di masyarakat. Apakah  kenyataannya demikian bila seseorang berbahasa. Manusia  adalah makhluk kreatif. Akibatnya, bisa saja manusia  menciptakan sesuatu  (dalam  hal ini kalimat), yang  sebelumnya  tidak ditemukan. Ini semua bukan fakta sosial, sebab  menyangkut kreativitas,  yang nota bene merupakan  fakta  psikologis. Dengan  demikian, bahasa bukan hanya merupakan  fakta  sosial, melainkan juga fakta psikologis.
3. Penutup
Demikianlah  beberapa pikiran Saussure  yang  termuat dalam Cours de Linguistique Generale, yang terbit pertama kali tahun 1916. Meskipun pandangan-pandangan itu telah lebih  sembilan  puluh tahun diungkapkan, ternyata  masih  ada beberapa pandangannya yang relevan hingga saat ini. Namun, ada  dua isu pokok yang dapat diangkat, yakni  (1)  adanya beberapa  konsep  yang telah kurang relevan  dilihat  dari sudut  pandang  linguistik saat ini dan  (2)  orisinalitas beberapa pandangan tersebut.
4. Daftar Pustaka

de  Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik  Umum. (Terjemahan  Hidayat,  Rahayu  S.)   Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. "Mongin-Ferdinand de  Saussure  (1857-1913)  Bapak Linguistik  Modern  dan Pelopor  Strukturalisme".  Dalam  de   Saussure, Ferdinand.  1988.  Pengantar  Linguistik   Umum. (Terjemahan  Hidayat,  Rahayu  S.)   Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.

Parera, Jos Daniel. 1983. Pengantar Linguistik Umum: Kisah Zaman. Ende: Nusa Indah.
Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics. Stanford: Stanford Univ. Press.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX.  Jakarta: P2LPTK.
Verhaar,  J.W.M. 1977. Pengantar  Linguistik.  Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.
Wahab, Abdul.  1990.  Butir-Butir  Linguistik. Surabaya: Airlangga Univ. Press.
Wahab, Abdul. 1991.  Isu  Linguistik: Pengajaran  Bahasa  dan Sastra. Surabaya: Airlangga Univ. Press.

Oleh : Bambang Yulianto

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner

-->